Bercerai Atau Bertahan? Begini Cara Saya Memutuskannya
Konten [Tampil]
Sayangnya, kadang realita tak seindah harapan, sehingga sampai juga di kondisi yang membuat kita harus memilih, bercerai atau bertahan dalam pernikahan yang mungkin tak lagi membahagiakan seperti impian kita.
Namun, seperti halnya memutuskan untuk menikah, memutuskan untuk berceraipun sama sulitnya, bahkan bisa dibilang jauh lebih sulit, terutama bagi seorang istri.
Ye kan, jika untuk memulai saja kita butuh banyak pertimbangan dan perhitungan, seharusnya untuk mengakhiri butuh 2 kali lipat, eh bahkan 3 kali lipat pertimbangan maupun perhitungan.
Karena sudah ada anak (jika memang sudah ada), ada pula keluarga yang dulunya kita perjuangkan untuk bisa saling menerima antara masing-masing keluarga.
Itu tidak mudah bukan, dan setelah semuanya bisa kita satukan, eh kita juga yang pisahkan kemudian.
Itulah mengapa, saya sangat mengerti jika ada banyak istri yang memilih bertahan dalam sebuah pernikahan, meskipun mungkin dia terlihat tidak bahagia, dan juga ketambahan cemooh orang lain, which is juga kebanyakan wanita, yang mengatakan dia adalah wanita yang bodoh, karena nggak mau pisah.
Dalam kasus saya sendiri, saking seringnya saya berbagi masalah rumah tangga, yang lalu dinilai (kadang) berlebihan oleh beberapa pembaca.
Padahal mah masalah rumah tangga itu amat sangat lumrah, saya yakin semua rumah tangga pasti mengalaminya.
Sering banget saya mendapatkan pertanyaan berulang bahwa, mengapa sih saya bertahan?
Banyak orang menganggap, saya terlalu cemen beralasan karena anak.
Tapi, sebenarnya bukan hanya karena anak loh, seorang istri memilih bertahan, karena saya punya seorang sahabat yang belum punya anak selama bertahun-tahun menikah, dan suaminya juga pengen disantet *eh, hahaha.
Maksudnya, banyak hal di diri sang suami yang bikin dia menderita, tapi sahabat saya itu memilih untuk bertahan.
Dan sepertinya, cuman saya satu-satunya yang selalu mendukungnya.
Eh sama orang tuanya ding, biar kata ortunya sering gemas liat anaknya yang kayak dipelet itu, tapi orang tuanya tetap menyayanginya, dan selalu support apapun keputusan anaknya.
How lucky dia bukan?
Oke balik ke tema utama kita, yaitu memilih bercerai atau bertahan, ketika pernikahan terasa tidak membahagiakan?
Untuk saya sendiri, masih memutuskan untuk bertahan sampai detik ini.
Kok bisa?
Mengapa harus bertahan?
Apa sih yang bikin saya memutuskan harus bertahan?
Off course saya nggak hanya asal memutuskan demikian, karena sejujurnya kalau ikutin diri, saya juga mau pisah woiii, bosan soalnya, hahaha.
Tapi saya akhirnya memutuskan untuk bertahan setelah melakukan beberapa cara ini.
1. Mengevaluasi Masalah Yang Terjadi Dalam Rumah Tangga
Sama seperti akan menikah, bercerai juga adalah sebuah keputusan penting, yang dampaknya bukan hanya pada diri kita sendiri, tapi juga anak, keluarga dan lingkungan kita.
I know, kita memang sangat perlu mencintai diri kita sendiri, dengan memutuskan sesuatu sesuai hati nurani kita.
Tapi, kita hidup di dunia ini juga sebagai mahluk sosial, di mana hal-hal di sekitar kita, juga seringnya mempengaruhi kebahagiaan kita.
That's why, memutuskan bercerai atau bertahan hanya dengan modal nekat itu sungguh sebuah hal yang semacam mengulang kesalahan yang sama buat saya.
Iya, karena saya kembali mengingat, betapa dulu saya menikah hanya dengan modal nekat aja, nggak ada persiapan sama sekali, bahkan tujuan menikah aja, demi menyenangkan orang tua yang ribut mulu nanya kapan saya nikah, hahaha.
Karenanya, ketika akan memutuskan hal tentang perceraian, maka wajib ada evaluasi dengan cara menjawab beberapa pertanyaan umum, yang muncul di benak saya akibat dari keadaan yang saya alami sekian waktu terakhir ini.
Yaitu:
Masihkah saya mencintainya?
I know, ini adalah klise banget, apalagi ditanyakan kepada seseorang yang sedang berada di masa kecewa-kecewanya terhadap pasangan.
Sudah pasti saya bakalan cepat-cepat menjawab,
"Saya bahkan udah .... eneg, benar-benar eneg!"
Hahaha.
Tapi, bukan demikian cara menjawabnya, melainkan dengan memikirkan hal tersebut dalam hati kecil, dan membiarkan hati kecil menjawabnya dengan jujur.
Kalau saya, mencoba menjawab pertanyaan itu dengan melihat kembali semua perjalanan hidup saya, tepatnya ketika saya berada dalam kemelut rumah tangga.
Saya udah merasa bahkan mulai menjadi single mother, seharusnya saya kan udah bahagia ya?
Namun mengapa saya masih terus uring-uringan?
Bukankah saya seharusnya bahagia dengan nggak ada sosok yang selalu bikin sakit hati, ketika bertemu?
Apa sebenarnya masalah yang terjadi dalam rumah tangga?
Mencoba sekali lagi melihat dengan kepala dingin, sebenarnya apa sih masalah yang ada dalam rumah tangga?
Benarkah karena pasangan yang salah?
Atau mungkin masalah timbul karena ekspektasi saya yang terlalu berlebihan?
Tentu saja pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur, melibatkan hati kecil yang tak akan pernah berbohong.
Bagaimana cara menyelamatkan pernikahan?
Apakah memang harus pasangan yang berubah, atau bisa saja diselamatkan dengan cara mengubah diri sendiri?
Misal mengubah pola pikir, sehingga masalah yang ada bisa dengan mudah diselesaikan.
Karena mengubah pasangan itu amat sangat sulit dan nyaris tidak memungkinkan, akan tetapi mengubah diri sendiri adalah sesuatu yang masih dalam kontrol power diri kita sendiri.
Usaha apa yang sudah saya lakukan?
Memutuskan menyerah? tentunya karena udah nggak ada jalan lain kan ya.
Coba memikirkan lagi, benarnya saya udah berusaha sepenuhnya untuk menyelamatkan pernikahan?
Atau masih berkutat dalam hal ego dan pikiran sendiri?
Karena menganggap masalah akan selesai jika pasangan yang berubah?
Apakah saya benar-benar bahagia tanpa dia?
Pertanyaan ini sepertinya nyambung banget ama pertanyaan pertama di atas.
Jika memang udah nggak cinta, seharusnya saya bahagia tanpa dia.
Tentu saja, definisi bahagia itu yang harus kita sadari terlebih dahulu.
Dan saya rasa untuk para wanita seperti saya, definisi bahagia adalah hati yang tenang.
Benarkah hati jadi tenang, jika nggak ada pasangan?
Sudah siapkah saya menjadi single mother secara keseluruhan?
Harus banget disadari dan dipahami, bahwa single mother itu tidaklah mudah, butuh perjuangan banget.
Yang nggak kalah luar biasa dibanding dengan bertahan pada pernikahan (yang menurut kita) adalah neraka.
Terlebih dengan kurang tegasnya hukum perlindungan anak di Indonesia, membuat kebanyakan single mother jadi harus menanggung hidup anak, jika ayahnya lepas tangan.
Bukan hanya menanggung biaya hidup anak, tapi juga terpaksa harus jadi ayah buat anak
Itu belum termasuk, godaan menjadi single mother itu luar biasa.
Saya sudah merasakan, even belum resmi jadi single mother, hahaha.
Sudah siapkah saya menghadapi masalah finansial setelah berpisah?
Kalau punya pemasukan rutin sih, mungkin masalah ini nggak akan jadi sebuah problem yang berat.
Tapi, kalau yang nggak punya pemasukan rutin kayak saya?
Dan jangan mengatakan, yakin deh nanti juga bakal ada rezekinya anak.
Etdah, bukannya sekarang tuh lagi musimnya financial planing?
Bayangin aja, mau punya anak, banyak yang ogah, saking takut nggak bisa menanggung biaya pendidikan yang mahalnya minta ampun sekarang.
Padahal, mau punya anak kan berarti punya pasangan, means membesarkan dan menyekolahkan anak berdua dengan pasangan.
Lah ini membesarkan anak seorang diri kok malah bermodalkan nekat, dengan kalimat penghibur diri,
"Yakin deh, nanti juga ada rezekinya anak!"
Saya rasa ini adalah sebuah pola pikir yang salah, bagaimana mungkin kita bisa mengandalkan Tuhan ketika kita sendiri aja?
Sementara saat berdua malah punya power sendiri?
Jangan-jangan masalah yang terjadi di rumah tangga adalah akibat dari tidak pernah melibatkan Tuhan?
So, bagi saya, mempersiapkan finansial sebelum berpisah itu penting banget, dan tentu saja menjadi salah satu pertimbangan memutuskan bercerai atau bertahan.
Usaha apa yang saya persiapkan untuk meminimalis dampak buruk perceraian pada anak?
Sama dengan mempersiapkan finansial buat anak, mempersiapkan kondisi kesehatan mental anak juga wajib dipikirkan.
Sanggupkah saya menjaga kesehatan mental anak? bagaimana caranya?
Bagaimana mungkin saya bisa bahagia, kalau dengan perceraian malah bikin mental anak terganggu.
2. Memetakan Permasalahan Penyebab Ketidak bahagiaan Dalam Rumah Tangga
Ye kan, tidak semua permasalahan rumah tangga itu sama, pasti beda.
Karenanya, saya mencoba memetakan, sebenarnya masalahnya apa sih?
Apakah masalah itu membuat saya rugi besar?
Bagi saya, ada beberapa masalah yang memang berat untuk diperjuangkan.
Misal,
Pertama: pasangan adalah seorang yang temperamen.
Yang sering main pukul atau menyiksa fisik.
Lucky me, dijodohkan ama laki-laki yang memilih kabur ketimbang mukul saya.
Lagian, si Rey dipukul?
Kayaknya udah lama deh ada yang dipenjara, saking saya pasti melawan woi, biar kata akhirnya nangis dan teriak, hahahaha.
Kalau pasangan temperamen?
Duh itu berat banget buat diperjuangkan, karena resikonya fisik kita kena bonyok mulu dong ya.
Kecuali memang kitanya jago ilmu bela diri, atau memang si pasangan nggak berani mukul wanita, kayak bapak saya misalnya.
Bapak saya tuh orangnya temperamen banget, suka mukul anaknya, suka bentak mama, tapi seumur hidupnya, sedikitpun dia nggak berani menyentuh mama dengan kasar.
Bapak memilih mukul benda ketimbang mukul mama.
Ini sih masih boleh lah diperjuangkan, asal si pasangan memang mau diperjuangkan sih ya.
Kedua: pasangan bukan seseorang dengan hobi selingkuh
Saya nggak tahu pasti dan yakin pasti kalau pak suami itu nggak pernah selingkuh sih ya, orang komunikasi kami buruk sekali.
Tapi selama kenal dia dulunya, memang dia bukanlah seseorang yang hobi selingkuh.
Dan saya belum pernah menemukan langsung bukti dia selingkuh, kecuali chat-chat ama para wanita kesepian, hahaha.
Terus, kalau memang dia selingkuh di luar sana, tanpa sepengetahuan saya?
Ya biarin ajah, itu mah urusannya ama Tuhan, hahaha.
Menurut saya, pasangan yang doyan selingkuh itu, pasti ketahuan kok, apalagi kalau selingkuhnya udah jauh banget, pas ketemu yang klob ganjennya misalnya, hahaha.
As we know kan ye, lelaki selingkuh itu urusannya cuman satu.
Apa itu?
Ya enaena lah!
Apa lagi? hahaha.
Ketiga: pasangan tidak mau bertanggung jawab dengan nafkah sama sekali
Duh pasangan kayak gini, buat apa dipertahankan ya.
Apalagi suami seharusnya bertanggung jawab menafkahi kan ye.
Ini malah nggak mau bertanggung jawab sama sekali, dan abai terhadap nafkah.
Pak suami, biarpun kadang nggak peduli, tapi dia masih punya sedikit rasa tanggung jawab, setidaknya buat anaknya.
Hal itu yang membuat saya merasa punya kekuatan untuk semangat memperjuankan pilihan yang udah ditunjukan oleh Tuhan.
Keempat: pasangan ngotot menceraikan
Ini mah memang parah ya, kalau pasangan ngotot menceraikan, apalagi udah mentalak berulang kali, waduh itu mah udah masuk kategori dosa kalau diteruskan.
Berbeda dengan pak suami, dia selalu semangat nyuruh saya untuk gugat cerai, tapi melempem dan kabur kalau saya minta ditalak.
Padahal ya, bagi saya talak itu jauh lebih utama ketimbang urus gugat cerai.
Karena dengan talak, saya udah nggak berdosa lagi untuk melangkah menentukan hidup sendiri.
Lah kalau pasangan aja nggak mau nalak, trus saya ngotot cerai apapun alasannya, dosanya di saya dong ya, hiks.
Saya rasa, selain dari pada 4 masalah di atas, semuanya masih sangat bisa dan pantas untuk diperjuangkan.
Apalagi, kalau Tuhan udah ngasih petunjuk, bahwa bertahan adalah jalan terbaik buat kita.
3. Menyusun daftar plus minus bercerai atau bertahan
Hitung-hitungan mulu ya, tapi buat saya hal ini amat membantu, setidaknya menyemangati saya untuk terus maju berjuang di jalan pilihan.
Yup, buat saya, memutuskan sesuatu dengan pilihan bercabang itu, sangat wajib diurai dulu plus minusnya, jadi tahu mana yang lebih memungkinkan untuk dipilih.
Karena, kita memilih tentunya untuk menjadi lebih baik kan ya, kalau tetap buruk, lalu buat apa harus memilih hal tersebut?
Sama juga dengan pilihan bercerai atau bertahan?
Wajib banget saya susun dengan jujur, apa sih plus minus dari 2 pilihan tersebut?
Misal, dengan bercerai:
Plusnya : nggak perlu lagi berantem untuk masalah yang sekarang, bebas menentukan jalan sendiri, punya pilihan hidup lain, dan lainnya.
Minusnya : nggak bisa ketemu anak setiap saat seperti sekarang karena hidup akan berbeda, mungkin akan sedih melihat anak sedih nggak bisa kayak anak-anak lainnya, mungkin masih akan berantem masalah lain misalnya tentang nafkah anak dan pembagian waktu dengan anak, dan lainnya.
Lalu dengan bertahan:
Plusnya : melihat anak bahagia masih punya orang tua lengkap bisa jadi penyemangat untuk memperbaiki, bisa fokus meneruskan apa yang saya lakukan sekarang dengan lebih baik, masih bisa meraih surga dengan memperbaiki diri untuk patuh kepada suami, dan lainnya.
Minusnya : mungkin masih harus berjuang dalam rasa sesak dengan keadaan suami yang tidak sesuai harapan, kalau gagal berjuang bakalan berantem lagi dan stres lagi, dan lain sebagainya.
Intinya saya tulis semua plus minus dari dua pilihan tersebut, dan saya bandingkan keduanya.
Mana sih yang lebih berat dijalani?
Meskipun semua masih dalam penilaian semata, tapi setidaknya saya punya bayangan tentang masa depan, nggak cuman modal nekat aja.
Ye kan, seperti yang saya katakan, kalau menikah saja akan terasa sulit jika cuman modal nekat, apalagi dengan bercerai, terlebih kalau udah punya anak.
4. Shalat Istikharah
Sejujurnya, saya nggak pernah benar-benar melibatkan Tuhan, ketika dulu saya menikah dengan pak suami. Saya hanya berdoa dengan egois ke Tuhan, agar saya dijodohkan ama dia, harus.
Sungguh doa yang egois dan sok tauk, hahaha.
Hasilnya, pernikahannya sungguh luwar biasa penuh tantangan.
Mungkin itu yang membuat saya berhenti capek mikirin masa depan, toh itu urusan yang Maha Pencipta kan ye.
Yang saya lakukan adalah, nanya aja ke Tuhan, jalan mana nih yang harus saya pilih?
Biar lebih mudah dan kuat dijalani, karena saya sangat yakin, pilihan Tuhan adalah yang paling baik.
Demikianlah, seingat saya, 2 kali saya shalat istikharah dengan khusu', dan petunjuk yang saya dapatkan ya selalu dibawa ke kondisi saya untuk bertahan.
Btw, kalau dengar-dengar ceramah para ustadz, sebaiknya shalat istikharah itu jangan diulang.
I mean, kalau kita udah merasa yakin dengan petunjuk yang kita dapatkan, lalu kita mulai berjuang untuk pilihan itu, saat kita merasa itu sulit, jangan lagi ulang shalatnya.
Yang ada kita akan semakin ragu.
Tapi itu CMIIW ya, sila deh nanya ke yang lebih mengerti.
Nah, di posisi saya, 2 kali dong saya shalat istikharah.
Pertama kalinya saya udah yakin dengan petunjuk yang langsung.
Oh ya, btw petunjuk itu datang setelah saya shalat 3 kali kalau ga salah.
Lalu, berjuanglah saya, mencoba beberapa cara untuk memperbaiki hubungan kami.
Nyatanya, sulit dong ya.
Berat banget.
Saya hampir putus asa, dan memilih shalat lagi dong, bimbang lagi karenanya, hahaha.
Eh hanya 2 kali shalat, pas abis shalat dan berdoa, petunjuk langsung datang di depan saya dong.
Dan saya akhirnya memahami, kalau memang pilihan ini yang terbaik, dan bukan berarti pilihan Tuhan adalah jalan yang mudah.
Tidak Maemurnah!
Pilihan Tuhan itu, hanyalah yang terbaik dan terberkah buat kita, insha Allah.
Tapi butuh perjuangan kita juga.
Menurut elo! kita udah dikasih petunjuk, lalu kita dikasih hasil gitu?
Jadi begitulah, sekalian menjawab banyak pertanyaan teman-teman, mengapa saya masih bertahan? mengapa nggak cerai aja?
Ya disuruh Tuhan dong.
Pegimana? hahahaha.
Demikianlah, selain karena memang udah yakin dengan petunjuk dari Tuhan, bahwa bertahan adalah yang terbaik buat saya, hal itu semakin bikin saya tambah yakin, karena ketika menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan dari poin 1 sampai 3, jawabannya kebanyakan selalu memihak pada pilihan untuk bertahan.
Terlebih, masalah kami memang bukan masalah yang memang udah nggak bisa dipertahankan dan diperbaiki seperti masalah pada poin nomor 2 di atas.
Meskipun juga, bukan berarti masalahnya kecil dan ringan.
Berat juga dong ya buat saya.
Tapi, masih bisa diselesaikan meski dimulai dari satu pihak saja, yaitu saya duluan.
Dan tentu saja ini nggak mudah.
Pasti ada drama naik turunnya mental saya.
Namun setidaknya, saya udah tahu pasti, jalan mana yang saya ambil dan akan saya perjuangkan.
Bukan karena bertahan dalam penderitaan ya.
Tapi berjuang untuk kebahagiaan dalam kebersamaan.
Meski harus melompat setinggi mungkin, tapi yakin akan lebih baik, karena memperjuangkan kebaikan.Insha Allah.
So parents, adakah yang saat ini berada di posisi galau memilih bercerai atau bertahan?
Mungkin cara-cara saya di atas bisa sedikit meringankan dan menghadirkan pencerahan di pikiran parents.
Semoga bermanfaat.
Sidoarjo, 18 Juni 2021
Sidoarjo, 18 Juni 2021
Sumber: pengalaman pribadi
Gambar: Canva edit by Rey
Kadang-kadang hidup itu memang rumit. Terutama berhadapan dengan dua pilihan. Selamat siang, ananda Rey.
ReplyDeleteBetul sekali Bu, jadi membingungkan hahaha
Deletembak rey,
ReplyDeletekadang jujur aku pengen gitu selepas dirimu kalau cerita disosmed,
terserah orang mau bilang apa, setidaknya hatinya lega..
tapi aku gak bisa, jadi kalau nulis pasti aku private. terlebih aku jg bukan orang yang open ke orang lain,
gak tau kenapa, kalau udah ada orang yg terlalu deket. buru buru aku jaga jarak.
permasalahan rumah tangga juga jadi hal yg tabu banget
pengen gitu cerita ke orang tua dan dunia kalau bisa, tapi balik lagi. banyak pertimbangan.
makasih tulisannya mba.... seperti menasehati tanpa harus aku curhat panjang lebar. heheheh
aku juga memilih bertahan semoga tetap kuat dan waras menghadapinya
hehehe
Sejujurnya, saya juga malu cerita masalah rumah tangga di medsos, apalagi di blog, tapi kalau yang sering baca post saya di tema marriage sebelumnya, isinya hal-hal yang baik aja, membanggakan suami dan semacamnya.
DeleteKalau akhirnya saya dibilang blak-blakan di medsos, itu semua karena udah mentok sebenarnya pikiran, udah ga tau lagi mau ngapain.
Saya rasa, setiap orang punya cara masing-masing untuk membuatnya tetep hidup waras, ada yang lari ke merokok, lari ke minum minuman keras, lari ke perselingkuhan.
Sayangnya saya belum bisa kayak gitu, dan akhirnya mutusin curhat di medsos, hahaha.
Sayangnya memang masih jarang sih yang punya cara kayak saya, jadi banyak yang menilai buruknya aja, tanpa tau bagaimana 'sisi' di dalamnya :D
Saya juga sebenarnya ga suka cerita ke ortu, tapi akhirnya saya hampir meledak dengan permasalahan saya tersebut.
Curhat di medsos membuat saya masih hidup, dan Alhamdulillah bisa lebih membaik sekarang :D
Semangat ya buat kita semua :*
Mba Rey ... banyak kata yang ingin kuungkapkan tapi takut panjang kaya kereta api ... Saya tersentil dengan jawaban di suruh Tuhan. Semoga Mba, saya, dan yang sedang berada di fase bertahan atau melepaskan bisa tetap kuat. We are strong women 💪
ReplyDeleteHahaha, iya say.
DeleteKalau Tuhan udah berkehendak, apalah yang bisa kita lakukan.
Yang bisa saya lakukan hanyalah meyakini, kalau semua pilihan Tuhan itu adalah yang paling baik buat saya, aamiin :)
Mbak, aku penasaran...jawaban/petunjuk hasil istikhoroh itu wujudnya kaya apa sih? Mimpi? Atau tetiba ada suatu scene yang membuat hati tersentil, "Oh jadi ini jawabannya,"
ReplyDeleteAnyway, kudoakan yang tebaik buat kalian apa pun keputusan kalian sekeluarga.
Kalau saya baca, macam-macam Mas, ada yang lewat mimpi, ada yang tiba-tiba hatinya yakin aja dan itu kerasanya kayak nyata.
DeleteNah kalau saya, terakhir kali sholat Istikharah itu, pas abis sholat, berdoa, pas buka mata (saya berdoa biasanya sambil tutup mata), lah kok ada mobil berhenti di depan pagar, mertua datang dan memberikan kabar baik :D
Saya jadi kayak dijawab sama Allah, bertahanlah, keluarganya aja peduli sama kamu, meski tidak selamanya seperti keinginanmu, dan berita bahagianya itu terlaksana tanpa halangan, pokoknya lancar banget.
Sejak saat itu saya milih bertahan apapun kesulitannya, palingan kalau bermasalah yang berat lagi, saya nggak nanya lagi sama Allah, tapi minta dikuatkan.
Setidaknya saya udah tau, tujuan saya apa, nggak lagi terombang ambing, mau gimana :D