Bahagia itu Kita yang Ciptakan
Konten [Tampil]
Setiap membacanya, saya selalu manggut-manggut tanda menyetujui, terlebih jika membaca semua keterangan yang masuk akal tentang kalimat bahagia tersebut.
Saya rasa, semua yang dituliskan tersebut benar adanya, di mana memang kebahagiaan itu sejatinya kita yang ciptakan, bukan orang lain.
Karena bahagia itu datangnya dari hati, dan hati kita tentu saja hanya kita yang bisa merasakan serta mengontrolnya.
Sayangnya, ternyata dalam praktiknya, luar biasa menantangnya.
Sayangnya, ternyata dalam praktiknya, luar biasa menantangnya.
Terlebih bagi saya yang memang punya pikiran idealis, punya masa kecil yang selalu dituntut jadi orang sempurna.
Alhasil, semua pengertian saya tentang kebahagiaan di dalam hati, which is saya setuju, bahwa kebahagiaan itu kita yang ciptakan, malah semacam terjawab dengan sadis, oleh hati kecil saya yang mungkin merupakan sosok inner child saya yang suka protes aja kerjaannya.
Kalau Bahagia itu Kita yang Ciptakan, untuk Apa Kita Butuh Pasangan?
Iya, salah satu pikiran idealis saya mencoba menghalau kalimat bahwa bahagia itu kita yang ciptakan. Hati saya mengatakan, bukankah salah satu tujuan kita punya pasangan, agar kita bisa saling membahagiakan?
Dan saya berusaha keras untuk itu.
Berusaha melakukan semua hal agar hubungan kami bisa berjalan dengan baik.
Mengorbankan apapun, dengan tujuan agar kami bisa bersama.
Saya pikir, semua itu akan membahagiakan pasangan, dan sebaliknya saya menuntut pasangan juga harus membahagiakan saya, minimal harus melakukan hal yang sama seperti saya.
Iya kan, namanya juga hidup berpasangan, saling bekerja sama dengan baik, di mana masing-masing melakukan kontributor yang sama buat rumah tangga.
Awalnya sih, semua pikiran saya itu terjadi, pasangan manut aja diminta melakukan hal demikian, terlebih saya nggak nuntut yang aneh-aneh sebenarnya.
Yang saya tuntut itu hanyalah sesuatu yang biasa dan tentunya untuk kebenaran.
Sayangnya, seiring waktu, pasangan mulai kehilangan kesabaran.
Ye kan, pola asuh orang tuanya selama dia tumbuh kembang sejak kecil, sangat berbeda dengan apa yang saya harapkan sekarang.
Meskipun itu untuk kebaikan menurut saya, ternyata tidak mampu diikuti terus olehnya.
Dan begitulah, mulailah pasangan berulah.
Melanggar semua hal yang sudah sejak awal kami terapkan.
Memaksa menjadi dirinya sendiri, meski dirinya yang dia inginkan itu sungguh jauh dari hal yang baik dalam artian umum.
Misal, merokok.
Malas sholat.
Nggak sabaran terhadap anak, apalagi istri.
Dan masih banyak lagi, termasuk suka pergi sesukanya tanpa kabar.
Ditambah, semakin dia berulah, semakin jauhlah dia dari keberkahan rezeki, semakin seret pula rezekinya, semakin streslah dia, dan semakin menjadilah semua hal negatifnya.
Lalu tiba-tiba saya merasa dunia hancur.
Saya merasa tersiksa, sulit untuk bahagia, stres, bahkan mendekati atau mungkin sudah masuk tahapan depresi.
Mau pergi, pintu tertutup karena anak.
Mau bertahan, ruangannya penuh, sesak.
Mau mati, kok ya belum saatnya hahaha.
Ribet amat ya hidup itu? hahaha.
Saya menghabiskan bertahun-tahun meratapi nasib, menyalahkan kebodohan diri, mengapa mau mengorbankan masa depan, hanya untuk lelaki yang nggak punya masa depan mapan.
Karena betul apa kata orang tua, kalau cuman bermodal cinta, cintanya hilang, abis dah semuanya.
Kalau ada masa depannya kan, setidaknya kamu hanya berjuang untuk dirimu sendiri, tidak untuk anak-anakmu yang seharusnya jadi tanggungan ayahnya.
Saya merasa jauh dari bahagia.
Sosok pasangan yang telah saya titipkan semua kebahagiaan, harapan dan semangat hidup, telah hilang.
Saya sungguh merasa tak bahagia, tapi saya nggak bisa pergi.
Seharusnya, pasangan adalah tempat saya mendapatkan kebahagiaan.
Seharusnya demikian.
Itulah pikiran saya dulunya.
Bahagia itu Kita yang Ciptakan, Berhenti Mengharapkan dan Menyalahkan Pasangan Karenanya
Saya nggak tahu, sejak kapan tepatnya, tiba-tiba saya mulai belajar memahami, bahwa bahagia itu ya kita yang ciptakan, bukan anak, ataupun suami.
Entahlah, sejak kapan.
Mungkin karena saya terlampau lelah kali ya.
Dan saya pernah pulang ke Buton, lalu bertemu dengan banyak teman-teman wanita.
Saya bahagia banget, bisa merasakan hal yang seumur hidup jarang saya rasakan.
Bisa bebas kumpul sama teman-teman lama, biarpun saya tetap bawa anak-anak.
Ketemu teman-teman dan pulang malam, tanpa ada yang marahin, tanpa ada yang judge, itu adalah sebuah hal yang belum pernah saya rasakan seumur hidup.
Terlebih ketika ketemu teman-teman tersebut, kami banyak bertukar cerita macam-macam, tertawa bersama.
Dan ketika pulang, saya merasa lelah tapi plong luar biasa.
Mungkin di situlah tolok ukur saya mulai berpikir, bahwa sebenarnya hidup ini indah dan mudah.
Sayanya aja yang terlalu memaksakan dan menitipkan kemudahan dan kebahagiaan saya pada orang lain, dalam hal ini suami atau pasangan.
Sejak saat itu pula, sedikit demi sedikit pikiran saya terbuka, mulai lagi menerapkan beberapa hal yang saya pernah pelajari tentang mengendalikan emosi dan semacamnya, demi ketenangan diri.
Seperti latihan breathing atau bernapas untuk bisa pausing ketika emosi melanda.
Lalu, mulai lagi membiasakan komunikasi asertif, yaitu komunikasi yang fokus kepada 1 masalah dan solusi, bukannya komunikasi lebay, muter ke mana-mana, hahaha.
Sedikit demi sedikit, saya mulai bisa menanamkan dalam pikiran, bahwa hidup ini indah, bahagia itu mudah, karena bahagia itu saya yang ciptakan, bukan suami maupun anak-anak saya.
Jadi, saat suami menyebalkan, saya udah bisa pausing atau mengambil jeda, bernafas dengan panjang, agar hati nggak kebawa emosi, lalu setelah tenang saya bicarakan dengan asertif atau to the point.
Alhamdulillah, meski belum sempurna, karena memang masalah mental ini sungguh jauh lebih mengerikan penyembuhannya ketimbang masalah fisik.
Tapi, pola pikir sederhana, menganggap bahwa bahagia itu dari saya sendiri, amat sangat membantu kehidupan saya jadi lebih baik.
Saya jadi tidak terlalu sibuk baper dan sakit hati ketika suami tidak bisa menjadi seperti yang saya inginkan.
Saya jadi tidak terlalu sibuk baper dan sakit hati ketika suami tidak bisa menjadi seperti yang saya inginkan.
Well, off course kadang masih suka ngomel.
Tapi udah jauh lebih baik dari sebelumnya.
Bayangkan ya dampaknya.
Ketika sekitar 3 tahun terakhir ini, saya menghabiskan waktu dengan menangis sedih bahkan sampai depresi.
Saya bisa bangkit, hanya dengan cara mengubah pola pikir, bahwa diri saya ya saya yang berkuasa penuh.
So, mengapa saya nggak perintahkan saja otak saya untuk berbahagia?
Nantinya otak akan menuntun saya kepada hal-hal sederhana yang bikin saya bahagia.
Sesederhana menikmati hari-hari saya tanpa adanya penyesalan.
Hal yang sulit saya lakukan sejak 3 tahunan belakangan ini.
Saya bisa bangun tidur dengan bahagia, tanpa merasa ada yang perlu saya sesali.
Dan terus berusaha menikmati detik demi detik kehidupan yang masih diberikan Tuhan kepada saya.
Yup, buat saya, mencintai diri sendiri dan melepaskan diri dari hubungan yang kita anggap toksik itu, tidak semata pergi dari pasangan, dan memulai hidup sendiri, sambil mengambil tanggung jawab baru.
Tapi, mengubah pola pikir, demi kebahagiaan dan kedamaian hati itu udah jadi sebuah hal paling top dalam self love.
Saya hebat.
Saya berarti.
Saya terberkahi.
Saya bahagia, karena saya menguasai diri dan hati saya sepenuhnya untuk menyuruh diri berbahagia.
Saya tak butuh suami hanya agar saya bahagia.
Saya hanya butuh suami sebagai partner yang telah saya pilih.
So, apapun yang suami lakukan, saya udah mulai bisa menghargai.
Karena, besar kecilnya kebaikan yang suami berikan itu hanya bonus.
Karena hati saya udah penuh kebahagiaan, yang telah bisa saya ciptakan sendiri.
Jadi, bahagia itu kita yang ciptakan, maka berhentilah mengharapkan dan menyalahkan pasangan yang menurut kita tak bisa membuat kita bahagia.
Demikianlah, how about you, Parents?
Tulisan ini diikut sertakan dalam tema mingguan grup 1M1C yaitu: BAHAGIA.
Tulisan ini diikut sertakan dalam tema mingguan grup 1M1C yaitu: BAHAGIA.
Sidoarjo, 9 Juli 2021
Sumber: pengalaman pribadi
Gambar: canva edit by Rey
Kalau dalam bahasa saya, "cintai diri sendiri dulu sampai orang lain bisa ikut mencintai kita" sayangnya banyak orang masih insecure dan menganggap dicintai orang lain sebagai obat.
ReplyDeleteNah iyaaa, kalau kita mencintai diri sendiri, kita bakal merasa selesai dengan diri sendiri, lalu saat mencintai orang lain, udah ga terlalu mikirin harapan lebih ke orang tersebut :)
Deletebahagia kita yang ciptakan, setujuhh
ReplyDeletenggak perlu didikte orang lain untuk mencapai kebahagiaan versi kita, karena kita yang tau gimana caranya
Betul syekaleh :)
DeleteAku masih single sih. Tapi, orang tua dan kakak-kakakku juga mewanti-wantiku untuk tidak terlalu menuntut jika aku kelak punya pasangan karena setiap orang memiliki background yang berbeda-beda, termasuk pola asuh.
ReplyDeleteAku dulu merasa nggak siap untuk itu tapi semakin ke sini aku semakin siap untuk tidak pemilih dan tidak menuntut andaikata mendapatkan yang tidak sesuai kelak. Hanya saja sampe sekarang masih single. Huahaha... Mungkin karena aku terlalu sibuk atau gimana, I dunno.
Thanks for sharing Kak, aku makin terbuka perihal pasangan. Bahkan ini nggak cuman untuk pasangan, tapi juga untuk hidup bermasyarakat dan kerja.
Kereenn say, itu luar biasa, telah menyiapkan diri, bahkan sebelum ketemu yang dinanti :)
DeleteYup bener banget bahagia memang kita yang menentukan, bukan berarti kita tidak butuh pasangan akan tetapi saat kita memilih pasangan disitu lah kita dihadapkan akan sebuah pilihan.. mau lanjut atau tidak. Jika dilanjutkan namun kita memilih pasangannya yang salah maka semuanya akan berantakan.
ReplyDeleteSemangat, semoga dipertemukan dengan pasangan yang saling mendewasakan :)
DeletePengalaman tu membuatkan kita lebih kuat dan lebih menyayangi diri. Ya, setuju bahagia itu kita boleh cipta tanpa perlu mengharapkan orang lain. Bahagia terletak pada hati kita :)
ReplyDeleteBetul banget, tak perlu berharap banget sama orang lain,biar ga sakit hati :)
Delete