Pengalaman Anak Khitan di Masa PPKM Darurat
Konten [Tampil]
Parenting By Rey - Pengalaman khitan si kakak di masa PPKM darurat diberlakukan di Jawa dan Bali, merupakan pengalaman yang bukan saja akan membekas di ingatan si Kakak.
Tapi maminya juga bakalan selalu mengingatnya sampai nanti, karena sungguh begitu banyak drama perasaan deg-degan dan galau yang dirasakan.
Ceritanya, si kakak kan udah lama pengen sunat atau khitan, gara-garanya hampir semua teman sekelasnya udah pada sunat.
Dan setelah berkali dan lama tertunda, akhirnya saya bertekat akan mewujudkan keinginan si kakak, persis di masa liburan kenaikan kelasnya.
Namun, setelah saya browsing sana sini, minta rekomendasi teman-teman di medsos, jadinya malah ketemu ama acara sunat massal gartis yang diselenggarakan oleh sebuah klinik di Surabaya.
Sayangnya, ketika saya coba isi form yang tersedia, eh udah penuh dong, hahaha.
Ya udahlah, lagian saya nggak tahu, sunat massal gratis itu pakai metode apa?
Entar metode jadul yang bikin anak rewel setelah sunat, duh sedih saya.
Karena saya dulu pernah punya adik lelaki, yang sunat di usia sekitar 9 atau 10 tahun ya?
Sunatnya pakai metode lama kan, abis sunat dia rewel yang sumpah bikin kesal banget, hahaha.
Lalu, ketika saya buka instagram, tiba-tiba saya dapat notifikasi di tag oleh seorang sahabat dunia maya, mamahfaza.
Dan ketika saya klik, ternyata info sebuah event khitan bareng-bareng yang diselenggarakan di sebuah hotel di Surabaya.
Yang menarik, khitannya pakai metode terkini, dengan klaim nggak terlalu sakit, nggak pakai jarum, anak-anak bisa langsung beraktifitas setelah disunat.
Yang menarik, khitannya pakai metode terkini, dengan klaim nggak terlalu sakit, nggak pakai jarum, anak-anak bisa langsung beraktifitas setelah disunat.
Wah asyik banget tuh, karena saya malas banget urus anak sakit dan rewel, hahaha.
Segera saya menghubungi kontak yang ada di banner tersebut, dan ternyata disambut dengan baik oleh kontaknya, lalu saya dikirimin beberapa info tentang acara tersebut, metode yang dipakai, dan juga biaya serta fasilitasnya.
Ya udah, setelah berdiskusi dengan paksu (atau dengan kata lain, kasih tau, hahaha), akhirnya saya segera mengisi form ikut serta, yang kemudian beberapa waktu kemudian, saya dimasukan ke grup WA buat koordinasi event khitan bersama itu.
Drama Akibat PPKM Darurat
Udah fix waktu khitan si kakak yaitu tanggal 10 Juli 2021, di hotel Fave Rungkut, Surabaya.
Meskipun agak bete, karena mengingat jadwalnya udah berdekatan dengan waktu si kakak masuk sekolah.
Sebenarnya 2 minggu sebelumnya, ada jadwal khitan bersama yang diselenggarakan oleh pihak penyelenggara, yaitu Mitra Sunatan.
Tapi lokasinya di Taman Safari.
Duh kebayang deh berapa biaya, tenaga dan waktu yang harus kami keluarkan untuk ke sana.
Jadilah terpaksa memilih jadwal di hotel Fave Rungkut ini.
Yang menghibur saya adalah, karena membaca keterangan, bahwa anak bisa langsung beraktifitas usai disunat, itu berarti si kakak nggak bakal kesakitan banget buat ikutan pembelajaran di minggu pertama masuk sekolah.
Namun, jeder! sebuah drama terjadi.
Minggu menjelang waktu khitannya, tiba-tiba pemerintah mengumumkan PPKM darurat untuk Jawa dan Bali.
Mau ditunda sih pas dengar berita ini awalnya, tapi saya diam aja dulu, toh panitianya juga nggak kasih info ke peserta, acaranya jadi atau enggak?
Nantilah di hari kedua PPKM darurat diadakan, admin dari grup peserta khitan bersama tersebut mengatakan bahwa acara akan tetap dilanjutkan, dan mereka akan menerapkan beberapa protokol kesehatan yang ketat, seperti membatasi hanya 5 anak per 30 menit, dan setiap peserta diharapkan WAJIB hadir di jam yang telah ditentukan, untuk mencegah kerumunan.
Meski udah ada keterangan seperti itu, tapi tetap saja saya masih was-was, terlebih berita tentang penyebaran covid-19 varian baru di Surabaya udah mengkhawatirkan, setiap hari petugas di makam kewalahan mengurus jenazah yang meninggal karena covid-19.
Belum lagi ditambah, jalan-jalan di Surabaya banyak yang ditutup, sementara kami tinggalnya di perbatasan Surabaya dan Sidoarjo.
Lama bingung mikirin, akhirnya curhat di grup blogger, dan dapat masukan, agar diteruskan aja niatnya, dengan memperhatikan prokes yang sangat ketat.
Karena ini menyangkut anak, takutnya ditunda, anak malah jadi malas lagi kalau disuruh sunat.
Ya udah, terasa adem hati, dan mulai semangat untuk lanjutin aja, jangan ditunda.
Namun, masalahnya belum selesai sampai di situ.
Lupa, sejak hari ke berapa PPKM darurat diberlakukan, tiba-tiba jalan akses utama masuk ke Surabaya, ditutup oleh polisi.
Di grup pun heboh dengan keluhan teman-teman yang masih harus kerja di Surabaya, tapi rumahnya di luar Surabaya, mau nangis katanya muter-muter cari jalan masuk di jalan-jalan kecil gitu.
Mulai lagi deh saya bingung.
Bisa nggak sih kami sampai di tempat khitan bersama, di hari H?
Lalu ada ide muncul, kenapa nggak nginap aja semalam di hotel Fave Rungkut?
Kan kebetulan jadwal kakak di khitan pukul 10 pagi, sementara hotel kan check out-nya pukul 12 siang? Pas lah, abis khitan langsung pulang.
Namun di sisi lain, sebuah pemikiran dari kabar kalau beberapa pasien covid-19 di Surabaya, memilih hotel sebagai tempat isolasi mandirinya.
Duh kan parno, masa kita sehotel dengan orang yang positif covid-19?
Untungnya seorang teman memberikan ide, agar saya menanyakan, apakah hotel tersebut juga menerima orang isolasi mandiri?
Dan tuing!
Seketika saya dapat ide segar, maka saya telponlah hotel Fave Rungkut, dengan terlebih dahulu bertanya, apakah hotel tersebut menerima orang yang mau isolasi mandiri?
Langsung ditolak dengan tegas dong ama yang terima telpon, hahaha.
Syukurlah, berarti memang insha Allah hotel Fave Rungkut bebas dari orang positif, kecuali OTG.
Si penerima telpon juga mengatakan, bahwa orang hanya boleh menginap dengan kondisi sehat tanpa syarat selama 3 hari.
Jika ada yang ingin menginap lebih dari 3 hari, maka diwajibkan melampirkan hasil negatif PCR.
Lega rasanya!
Saya lalu jujur menceritakan akan kegalauan saya, eh siapa sangka si penerima telpon malah menawarkan spesial rate menginap semalam di hotel Fave Rungkut dengan harga 220ribu, tanpa breakfast?
Ya udah, fix deh, kami menginap saja di hotel, biar besoknya mudah dan ga terburu-buru.
Terlebih memang masuk ke Surabaya agak rempong.
Kami berangkat sorenya, naik motor agar mudah mencari jalan tembusan, jika memang kami nggak boleh masuk Surabaya.
Dan ternyata, memang sih di akses utama bundaran Waru, jalan menuju Surabaya ditutup, tapi kami bisa lewat dengan mudah dari jalan Brigjen Katamso atau biasa orang sebut, daerah pabrik paku.
Drama Kecil di Hari H dan Akhirnya si Kakak Khitan / Sunat
Dan begitulah, singkat cerita, kami sampai di hotel Fave Rungkut, tepat menjelang Magrib.
Perjalanan lancar tanpa cegatan, meskipun kejebak macet di beberapa titik.
Dan setelah check in, kami lalu menuju kamar di lantai 5 (mengenai review hotel akan saya tulis di blog www.reyneraea.com ya).
Malamnya, panitia memberikan info, bahwa lokasi khitannya ada di ruang Bromo lantai U1.
Dan peserta diarahkan harus melewati lift.
Keesokan harinya, tepat di pukul 10.00 kurang 3 menit, segera kami keluar kamar dan menuju lantai U1. Ternyata sesampainya di sana, lumayan ramai.
Sedikit kebingungan, karena nggak ada yang menyambut dan mengarahkan kami.
Kami hanya ikutan orang-orang memasuki sebuah ruangan, dan setibanya di dalam, saya liat ada orang di meja panitia yang sepertinya masih daftar, tentu saja saya segera sabar menunggu giliran, dan memilih antri agak jauh dari kerumunan.
Agak lama menunggu, yang daftar belum terlihat selesai juga.
Tiba-tiba ada sekelompok keluarga masuk dan langsung menuju meja dan langsung dilayani oleh panitianya.
Duh mulai bete deh saya.
Bagaimana enggak?
Saya kan parno banget dengan namanya penyebaran virus di masa begini, jadi yang namanya bergerombol itu sangat saya hindari.
Saya tetap mau ikutan, karena saya percaya, panitia akan mengatur sebaik mungkin, agar patuh prokes!
Lah kenyataannya, main serobot juga, dan santai aja dilayani.
Saya langsung ikutan mendekat ke meja panitia meski tetap jaga jarak, dan mengatakan kalau saya udah datang sejak tadi, jadwal anak saya pukul 10 pagi, dan saya menunggu dipanggil nggak kunjung dipanggil.
Baru deh si panitia melayani, saya disuruh mengisi sebuah formulir yang isinya tentang riwayat kesehatan anak, apa punya alergi dan semacamnya?
Setelah itu saya diminta membayar, dan untungnya kok udah saya siapkan uang cash Rp. 1,3 juta (untuk paket biasa / Ruby, dengan metode Super Ring), karena ternyata mereka nggak nyediakan mesin gesek.
Setelah bayar, saya dikasih sebuah tas bingkisan, isinya ada 1 celana sunat, sertifikat, obat-obatan dan kartu bermain di Trans Studio Mini.
Saya lalu bertanya harus ke mana, ternyata disuruh ke dalam, dan menunggu giliran.
Ternyata tempatnya cuman disekat biasa, sehingga kita bisa melihat dengan jelas semua anak yang sedang disunat, mau pingsan rasanya, antara geli liat kemaluan anak-anak, plus ngeri juga bayangin darah, hahaha.
Nggak ada yang menunjukan kami harus ke mana, akhirnya kami berinisiatif untuk duduk aja nunggu antrian di dekat anak yang keliatannya akan selesai disunat.
Dan benar saja, nggak lama kemudian, anak yang tangguh banget, datang sunat hanya ditemani ibunya, telah selesai.
Takjub deh, bisa-bisanya abis sunat malah pake celana kayak biasa, hahaha.
Setelah anak dan ibunya itu berlalu, kami lalu mendekat kepada yang sunat, nggak tau deh, itu dokter, perawat atau apa.
Orangnya terlihat kurang ramah, alias kurang senyum, tapi lumayan banyak juga menjelaskan ini itu.
Si kakak diminta melepas celananya dan naik ke meja yang tersedia.
Lalu seketika saya sedikit sebal juga liatnya.
Bagaimana tidak?
Ranjangnya nggak dibersihin dulu dong!
Padahal kan dilapisi mens pad gitu, dan saya liat ada banyak mens pad cadangan di dekat itu, tapi nggak diganti, huhuhu.
FYI, orang yang masuk hotel tersebut, cuman diperiksa suhu tubuh aja, apa kabar ya kalau ada OTG.
Dan apa gunanya PPKM darurat, prokes ketat, kalau hal demikian aja nggak diperhatikan.
Untungnya sih, saya nggak tahan liat prosesnya, jadi si kakak ditemani papinya, saya membelakangi, dan masih mendengar si tukang sunatnya bicara tentang si kakak yang mandinya nggak bersih.
Iya sih, si kakak kan udah gede, saya udah nggak pernah mau bersihin kemaluannya.
Jadi yang bisa saya lakukan adalah, mengingatkan dia untuk mandi yang bersih seluruh tubuh.
Tapi dasar anak-anak ya.
Mandinya sih lama, tapi ngelamun dan main sabun di kamar mandi, bukannya mandi dengan bersih, sehingga lipatan di bagian penisnya kotor, huhuhu.
Proses khitannya nggak lama, mungkin sekitar 10 -15 menitan kali ya.
Prosesnya gimana?
Kagak tauk, hahaha.
Yang jelas, saya sempat liat sekilas, kalau si kakak tuh kayak ditembakin sebuah anestesi gitu sebanyak 4 kali ke penisnya, kata kakak sedikit sakit, dan dia juga kaget.
Jadi tetep sakit ya, kata siapa nggak sakit.
Suer loh, saya benci banget orang yang selalu bilang luka itu nggak sakit.
Dicubit aja sakit woi, apalagi luka, duh!
Setelah selesai, saya baru balik, tapi nggak terlalu merhatiin kondisi penis si kakak, sejujurnya sayapun bingung, perasaan kok yang dilukain cuman tengahnya doang ya? hahaha.
Kata si papi, ya iyalah, memangnya mau dipotong semua? hahaha.
Setelah si kakak pakai celana (langsung bisa pakai celana dalam biasa dan celana panjang woiii, keren).
Saya lalu mendatangi si tukang sunat dan nanya tentang obat-obatan yang ada, ternyata nggak ada anti biotik.
Cuman dikasih Altran 500mg (Asam Mefenamat) 3x1 hari, Bufacaryl (Deksa, Dexchrol) 2x1 hari, yang sukses bikin kakak teler berjam-jam, tertidur saking ngantuknya.
Dan Meloxicam 1x1 hari aja.
Juga ada 2 salep.
Yang kayaknya mereka racik sendiri, salah satunya mengandung semacam anestesi gitu dioleskan di bagian luar luka, dan satunya dioleskan di bagian dalam luka.
Setelah foto-foto, dan dikasih keterangan harus ini itu, kami segera pamit pulang ke kamar.
Dan si kakak masih jalan dengan biasa.
Sampai di kamar, barulah anestesinya mulai hilang dan mulai terasa pedih.
Buru-buru saya memberikan semua obat yang diberikan.
Si papi membantunya mengolesi dengan salep.
Tepat pukul 12 siang, kamipun pulang dengan naik taksi online.
Perawatan Setelah Khitan Anak
Untungnya, khitannya di hari Sabtu, dan papinya bisa izin nggak masuk kerja, so selama abis khitan, sampai keesokan harinya, yang urus papinya dong, hahaha.
Ya kali, saya yang olesin salep, hahaha.
Karena udah sejak si kakak masuk SD, saya menerapkan dia belajar malu akan aurat.
Nggak terlalu banyak drama, si kakak sama sekali nggak rewel.
Mungkin karena memang nggak seberapa sakit kali ya, karena obatnya banyak, hahaha.
Bahkan di hari Sabtu sore, dia mandi berendam air hangat dengan dikasih cairan Dettol.
Oleh tukang sunatnya dipesanin harus berani basahin lukanya, biar bisa lepas cepat ringnya.
Besoknya di hari Minggu, pun juga si kakak mau mandi, papinya sih masih bantuin mengolesin salep, sampai Minggu siang, si kakak diminta mengolesi sendiri.
Dan akhirnya, sampai papinya berangkat kerja di hari Senin, si kakak bisa mengurusin dirinya sendiri, rajin membersihkan, mengeringkan dan mengolesi salep setiap kali habis pipis.
Dan hingga hari ini, 5 hari pasca khitan, nggak ada keluhan berarti, selain kata si kakak mulai perih ketika kena air, sepertinya ringnya udah mulai mau lepas.
Oh ya, setelah habis sunat, si kakak minta pakai sarung, tapi nggak lama, abis itu dia memilih pakai celana seperti biasa.
Celana sunatnya gimana?
Dipake sih sekali, tapi hanya 15 menitan kali, langsung dibuka, katanya nggak nyaman sama sekali, mending pake celana dalam biasa, hahaha.
Ternyata kalau pakai metode sunat modern, nggak usah pake celana sunat juga nggak masalah kok.
Kesan ikut khitan bersama Mitra Sunatan
Over all, sebenarnya cukup puas dengan pengerjaannya.
Hanya kecewa aja di beberapa waktu, misal peserta nggak diatur sesuai prokes, sehingga jaga jarak hanya impian.
Entah mungkin panitianya sedikit kali ya.
Tapi, sebagai peserta yang juga bukan ikutan secara gratis, tapi bayar dengan biaya yang lumayun eh lumayan, rasanya kurang sreg dengan cara kerja demikian.
Pun juga, pas pandemi juga, seharusnya yang namanya steril itu wajib diperhatikan.
Apalagi di masa PPKM darurat di mana angka penyebaran virus Covid-19 varian delta meningkat, wajib banget dah steril.
Ganti kek menspad-nya, meskipun nggak terlihat kotor.
Apakah worth it dengan biaya segitu?
Saya udah browsing sih di tempat lain, di Sidoarjo itu ada yang terkenal dengan sunat metode modern, yaitu dokter Sonny.
Tapi biaya buat super ring juga hampir sama, sekitar 1 jutaan juga.
Nah di acara kemaren, bayar 1,3 juta untuk paket yang paling murah, tapi si kakak happy karena dapat kartu main di trans studio mini senilai Rp. 300ribu.
Jadi kan, biaya sunatnya memang sekitar 1 juta saja kan?
So, menurut saya sih, podho wae.
Lalu bagaimana kesan tentang metode khitan super ring?
Menarik sih ya, bebas drama banget anaknya.
Nggak ada rewel atau semacamnya.
Dan sangat berbeda dengan metode kuno dulu, sekarang abis sunat, anak bahkan bisa mandi bebas dan bahkan berenang loh.
Demikianlah pengalaman saya tentang khitan anak pada masa PPK darurat yang penuh drama, tapi juga penuh rasa syukur.
Ada yang pernah ikutan event sunatan bersama kayak gini?
Sidoarjo, 14 Juli 2021
Sumber: pengalaman pribadi
Gambar: dokumen pribadi
Waaah selamat atas khitanan anaknya yaa mbak Rey. Cukup senang membacanya. Drama-drama riweh terjadi di masa ppkm,untung saja tidak menghalangi acara sunatannnya. Kalo kata orang zaman dulu, Anaknya skrg udah sunat, jadi udah boleh azan di masjid nih heheee
ReplyDeleteMakasih ya, wah iya kah?
DeleteJadi kudu sunat dulu ya biar sah adzannya hahaha.
Anak saya senang banget tuh kalau adzan, sayang udah mau 2 taun ga pernah ke masjid 😅
Selamat atas Khitanan Darel mak Rey... Tak kira Dayyan yang Khitanan, Oohh ternyata Darel kakaknya.😊😊
ReplyDeleteAnakku yang laki2 malah belum, Padahal aku sudah persiapkan, Kata emaknya nunggu sampai umurnya 6 tahun jalan dulu baru boleh...😊😊 Akhirnya gw pake lagi tuh duitnya..😆😆🤣🤣🤣🤣
Dayyan kan masih 3 taun KangSat.
DeleteHahaha, iya juga nih, si kakak ini udah lama mau sunat, duitnya kepake Mulu, akhirnya baru bisa sekarang 😅
Sekarang khitan mudah prosesnya. Cepat dan tak perlu segala adat macam dulu. Sekejapan je udah siap. Alhamdulillah..selamat sudah. Kena berpantang betul betul tu.
ReplyDeleteBener, dulu tuh kasian banget anak-anak abis khitan :)
Delete