Ibu Berhak Mengeluh Ketika Lelah!
Konten [Tampil]
Namun, bagi saya, kadang mengeluh amat sangat membantu seorang ibu, ketika lelah.
So, tentu saja bagi saya, seorang ibu sangat berhak untuk mengeluh.
Dan saya, sering merasa kesal, mendengar larangan buat ibu untuk mengeluh.
Kadang juga kesal, ketika mengeluh disuruh sabar.
Seolah dalam hidup saya, selalu dipenuhi keluhan, dan saya nggak pernah sabar, hehehe *ketawa miris!.
Ibu Berhak Mengeluh, Karena Tak Punya Tombol 'Pause'
Mengeluh, sejatinya dilakukan semua orang dalam hidupnya.
Nggak hanya para ibu, tapi hampir semua orang.
Entahlah, mungkin semua orang yang jadi suka eh maksudnya sering atau sesekali mengeluh itu, terpengaruh oleh ibunya yang membesarkannya juga, jadi semacam lingkaran yang tak putus, hahaha.
Tapi, jika ingin seorang ibu menghentikan lingkaran keluhan itu, tidaklah bijak jika semuanya diberikan kepada ibu semata, yang harus berjuang seorang diri, memutus rantai keluhan tersebut.
Mengapa?
Kita semua tahu, tidak semua ibu beruntung dalam hidupnya bisa punya tombol 'pause' untuk profesinya sebagai 'ibu' atau 'ibu rumah tangga'.
Beberapa ibu, bahkan zaman sekarang, ada begitu banyak ibu yang harus menjalankan profesi tersebut, tanpa jeda.
Selama 24 jam dalam seminggu, seorang ibu harus mengerjakan hal yang itu-itu saja, jenuh.
Tapi, jenuh itu belum seberapa, dibandingkan rasa lelah tanpa kesempatan untuk beristrahat, karena profesinya yang tak bisa di 'pause'.
Lebih parah lagi, di zaman sekarang, banyak ibu yang terpaksa berprofesi ganda.
Sebagai ibu, sebagai ayah untuk anak-anaknya, juga sebagai pencari nafkah.
Di lain pihak, teori parenting memberondong ibu dengan tuntutan-tuntutan, yang sering bikin ibu sedih tak kepalang, karena merasa tak bisa memenuhi teori tersebut.
Anak-anak tak bisa dilatih montessori sejak dini (misalnya), bahkan sekadar menemani anak bermain dengan fokus pun, seringnya tak sanggup lagi, karena waktu dan tenaga yang sudah tak memungkinkan.
Dalam kelelahan yang teramat sangat, mencuatlah luka batin dari masa kecil, masalah mental yang timbul dari luka di masa kecil, memperparah keadaan diri, tubuh serta mental sang ibu.
Bisakah orang-orang bijak yang mengatakan 'jangan mengeluh', di luar sana membayangkan hal tersebut?
Saya adalah salah seorang dari banyaknya ibu yang mengalami hal itu.
Sungguh, kadang saya tak bisa lagi berpikir, harus gimana?
Setelah saya sedemikian galaknya membentak anak-anak, hanya karena mereka cari perhatian saya, dari waktu saya yang bahkan kondisi tubuh sering drop, saking kelelahan kurang tidur.
Mengurus rumah, memastikan anak-anak sehat dan tumbuh dengan kebiasaan baik.
Memastikan saya masih bisa mengisi rekening sendiri, karena harus membiayai diri sendiri, membiayai hal-hal urgent yang tidak terpenuhi dari yang seharusnya memenuhi hal itu.
Di sisi lain, saya juga manusia, butuh mengisi diri ini dengan segala haknya.
Hak untuk tidur cukup, yang mana sudah bertahun-tahun hak ini sangat tidak terpenuhi.
Hak untuk menikmati diri sendiri, menyendiri yang menjadi cara untuk menge-charge diri.
Beribadah, menjadi sangat challenging banget ketika di bulan Ramadan seperti sekarang.
Semua hal itu, tak pernah lagi bisa saya dapatkan dengan baik, lalu... saya dilarang mengeluh, malah disuruh bersyukur, bersabar?
Seolah semua hal yang saya lakukan selama bertahun-tahun itu, bukanlah sebuah ungkapan rasa sabar dan syukur?
Hmmm....
Saya rasa, saya bukanlah satu-satunya ibu yang berada di posisi tersebut, dan mungkin menjadi salah satu ibu dari sebagian yang kurang beruntung karena tak mendapatkan support sama sekali dari siapapun, saya benar-benar sendirian memikul semuanya.
Ibu Berhak Mengeluh, Jangan Disuruh Sabar dan Bersyukur Saja!
Dalam kekalutan, yang telah melampaui rasa lelah tak boleh istrahat, karena tak ada tombol 'pause'. Saya jadi teringat masa-masa kelelahan, yang pernah saya alami dulu, sebelum saya menikah dan punya anak.
Dulu, saya juga pernah merasa kelelahan, tapi saya baru menyadari hal itu setelah nggak lagi berada di masa itu.
Yaitu, ketika pertama kali saya bekerja di sebuah proyek pelebaran jalan tol.
Saya direkrut sebagai drafter sebenarnya, karena hanya itu posisi yang kosong, yang bisa saya isi, sebagai seorang yang bisa dibilang fresh graduate.
Tapi, saya terbiasa terlalu bersemangat dalam bekerja.
Bisa dibilang semacam masa Manic dalam sebuah masa dalam Bipolar Disorder.
Meski saya belum pernah didiagnosa sebagai penderita Bipolar sih ya.
Karena hal itu, semua pekerjaan saya kerjakan dengan semangat, diawali dengan penasaran akan kerjaan orang lain, lalu diberi kesempatan membantu orang tersebut, sampai lama-lama saya tenggelam terlalu dalam pada kerjaan tersebut.
Saya kurus kering, meski setiap hari makanan kami sangat penuh nutrisi dan lemak, hahaha.
Berkali-kali jatuh pingsan, sampai dibawa ke berbagai pemeriksaan medis, yang Alhamdulillah saya sehat secara jasmani.
Intinya, suasana itu, seharusnya adalah sebuah momen yang saya bisa saya gambarkan sebagai momen kelelahan dalam hidup saya.
Tapi, percaya atau enggak?
Saya tak pernah merasa, kalau momen itu saya kelelahan.
Lama saya berpikir, sampai akhirnya saya menyimpulkan, karena ketika itu, selelah apapun saya.
Tapi, saya bahagia menjalankannya, karena saya suka pekerjaan itu.
Dan yang paling penting, meski lelah, tapi tubuh saya sama sekali nggak kehilangan haknya untuk istrahat.
Berkali-kali saya lembur, pulang tengah malam, tapi sampai kos, saya mandi, ganti baju, lalu tidur dengan lelap.
Besoknya, bangun sholat, bisa istrahat tiduran sebentar, menunggu waktu mepet ke kantor, mandi, ganti baju dan berangkat, tak perlu repot menyiapkan sarapan, karena saya sarapan di luar.
Iya, ISTRAHAT!
Itu kuncinya!
Saya jadi ingin membagikan sebuah visualisasi yang bisa kita bayangkan bersama, tentang alasan mengapa para ibu harus diperbolehkan dan dimaklumkan ketika mengeluh, dan jangan langsung disuruh SABAR atau BERSYUKUR.
Dalam sebuah perkantoran atau dunia kerja, kita tahu pasti, betapa melelahkannya bekerja dikejar target dan di bawah tekanan atasan atau target tersebut.
Namun, dalam dunia kerja, ada yang dinamakan waktu istrahat, yang biasanya hampir semua kantor, memilih waktu pukul 12 siang, untuk istrahat sekaligus melakukan hal-hal yang tubuh serta diri butuhkan.
Makan dengan tenang, sholat dengan khusyuk bagi muslim, bersantai mengistrahatkan otak sejenak, untuk bisa memulai kembali rutinitas dikejar target.
Oh bukan hanya itu, di banyak perkantoran sering diadakan yang namanya gathering, pelatihan yang biasanya sepaket dengan refreshing.
Kebayang nggak sih, jika para pekerja di luar sana, termasuk di perkantoran, ketika pukul 12 siang, dilarang istrahat?
Ketika kepala serasa nyaris pecah dengan pekerjaan yang dihadapi selama berjam-jam tersebut.
Rasanya ingin istrahat, namun datanglah orang yang mengatakan,
"Jangan mengeluh! sabar aja, nanti juga dapat gaji! bersyukur! di luar sana banyak loh pengangguran yang berharap dapat kerjaan tapi belum dapat kerjaan!"Coba deh bayangkan narasi di atas, terutama ketika sedang lelah bekerja di kantor, atau menjelang pukul 11.55, di mana 5 menit lagi masuk jam istrahat, tapi bos datang menagih kerjaan dengan cepat.
Apa kira-kira yang ada di benak para pekerja?
Oh, tentu saja suasana seperti di atas, terjadi nyaris setiap hari kepada banyak ibu, di mana ketika lelah dan ngantuk, oh bahkan sedang tak enak badan atau merasa sakit sekalipun, hak tubuh untuk istrahat tak bisa serta merta bisa diberikan.
Terutama bagi yang punya anak balita, di mana anak-anak masih sangat bergantung pada ibunya.
Sungguh, itu tak bisa dibayangkan, selain ibu yang mengalaminya langsung.
So, please deh!
Berhenti membungkam ibu yang mengeluh.
Berhenti membungkam ibu yang mengeluh.
Terlebih dengan nasihat sok bijak.
Sabar!
Oh jangan sembarangan menyuruh ibu bersabar, karena percayalah... level sabar seorang ibu itu, even seorang ibu yang terlihat galak, jauh di atas orang yang hanya menilai saja.
Bersyukur!
Di luar sana banyak orang yang berjuang menanti dua garis merah atau yang menantikan kehadiran sang buah hati.
Hei!
Mengapa sih seorang ibu yang punya anak, harus bertanggung jawab terhadap ibu lainnya yang belum punya anak? apa hubungannya?
Jika seorang wanita yang masih berjuang menanti buah hati, diberikan hal yang sama, memangnya bakalan bisa menghadapi dengan tulus?
Misal, ketika seorang wanita yang sedih karena usaha mempunyai anak untuk ke sekian kalinya. Lalu datanglah kita menasihati.
"Jangan bersedih, di luar sana banyak ibu yang kelelahan karena udah punya anak, dan ternyata tidak seindah yang dilihat!"
Bisakah kita bayangkan gimana perasaan wanita tersebut?
Jadi, jika perasaan wanita lain, pekerja di luar sana, begitu penting.
Mengapa ibu yang sesungguhnya sebagai sumbu dunia, yang berperan langsung membentuk karakter penerus manusia di bumi ini, sedemikian tak pentingnya?
Ibu Berhak Mengeluh, Ketika Lelah, Karena Lelah!
Point-nya adalah.
Ibu tak hanya mengeluh begitu saja kok.
Tapi ibu mengeluh karena kelelahan, dan tak punya waktu istrahat seperti para profesi lainnya.
Memang, tidak setiap saat ibu tak bisa istrahat.
Tapi, seringnya ibu berada di momen tersebut.
Ketika rasa kantuk menyerang karena kelelahan, tapi belum bisa segera tidur karena masih fokus ke anak-anak.
Bahkan tak jarang, ketika lapar melanda, tak bisa langsung makan seperti sebelum punya anak.
Ibu itu sarat akan kelelahan.
Terutama ibu-ibu di masa sekarang yang menjalani semua tanpa support, bahkan dari orang-orang terdekatnya.
Banyak yang bilang, ibu di zaman dulu anaknya lebih banyak, tapi nggak pernah ngeluh.
Kata siapa?
Bukankah ibu zaman dahulu itu, mengasuh anak-anak yang sekarang menjadi ibu juga?
Lalu, bagaimana bisa mental ibu-ibu di zaman sekarang sedemikian lemahnya di mata orang awam, jika dia diasuh oleh ibu yang tak pernah mengeluh di zaman dulu?
Ibu berhak mengeluh.
Dan ibu berhak tak mendengarkan kata SABAR dan SYUKUR untuk jawaban atas keluhannya yang sebenarnya ingin melepaskan beban lelah kahir batinnya.
Karena, para pekerja lainnya, kalau capek ya istrahat.
Apalagi sedang sakit.
Tak pernah kan disuruh bersyukur dan sabar menjalani kerjaannya sambil lelah dan sakit?
Itu, untuk profesi lainnya.
Bagaimana dengan profesi seorang ibu, yang merupakan sumbu dari kehidupan, yang berperan sangat penting membangun karakter para penerus manusia di dunia ini?
How about you, Parents?
Sidoarjo, 20 April 2022
Sumber: pengalaman pribadi
Gambar: Canva edit by Rey dan dokumen pribadi
Semua orang punya hak yang sama, ibu ayah, suami istri. Jika beban terasa berat dan butuh penyaluran, siapapun boleh mengeluh.
ReplyDeleteHanya, kalau saya sih mencoba untuk tidak mengeluh dalam situasi seperti apapun. Bagi saya mengeluh tidak memecahkan masalah dan bahkan kalau dilakukan di tempat dan cara yang tidak tepat, rentan menimbulkan masalah baru.
Saya lebih memilih jalan lain daripada mengeluarkan keluhan.