Perceraian, Seharusnya Sama Dengan Pernikahan, Butuh Dipersiapkan
Konten [Tampil]
Bahkan, BPS melaporkan dalam catatan, bahwa jumlah perceraian di Indonesia pada tahun 2021 mencapai angka 447.743.
Angka perceraian tersebut, dengan rincian sebanyak 110.400 cerai talak, dan sebanyak 337.343 cerai gugat.
Angka tersebut naik luar biasa lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2020 sebanyak 291.677, dan pada tahun 2019 sebanyak 493.002.
Sidoarjo, 24 Juni 2022
Penyebab Perceraian di Indonesia
Beberapa pakar mengatakan, salah satu penyebab perceraian menjadi lebih tinggi adalah, karena dampak dari pandemi.
Menurunnya ekonomi bahkan ada yang drastis, membuat banyak pasangan menjadi bermasalah dalam mengelola emosinya, sehingga berujung pada pertengkaran, mulai merasa saling tidak pengertian, dan ujung-ujungnya memilih langkah perceraian.
Kalau diperhatikan dengan seksama, sebenarnya ada beberapa penyebab perceraian yang banyak terjadi di Indonesia, di antaranya:
1. Masalah kurangnya keuangan atau ekonomi keluarga
Meskipun saya kurang begitu setuju dengan hal ini, namun tidak menampik kebenarannya juga, beberapa bahkan banyak perceraian yang terjadi setidaknya selama pandemi kemarin, terpicu dari masalah keuangan.
Masalah ini, biasanya bisa saling memicu, baik suami maupun istri.
Bermula dari istri yang kebingungan mengatur keuangan yang tiba-tiba berkurang, dan terus berkurang.
Lalu istri kemudian merasa stres, mengomel hingga marah-marah baik di depan suami.
Lalu suami jadi sumpek mendengarnya, lama-lama bosan bertemu istri, lalu istri semakin kesal, dan ujung-ujungnya mulai saling dengan sengaja menyakiti, dan jadilah berkembang ke hal-hal negatif lainnya, entah itu perselingkuhan dan semacamnya.
2. Kurang Komitmen Antara Suami maupun Istri
Kata orang, komitmen adalah hal utama dalam menjalankan pernikahan.
Kalau dipikir-pikir, iya juga sih ya.
Ketika pernikahan menghadapi masalah, maka komitmenlah yang membuat kedua pihak, baik suami maupun istri, untuk bertahan.
Komitmen adalah rasa tanggung jawab baik suami maupun istri, untuk sama-sama mempertahankan pernikahan. Dan dengan komitmen, seharusnya, baik suami maupun istri, mau mendedikasikan diri, menyediakan waktu, dan pastinya berusaha untuk saling memberikan kasih sayang.
Komitmen juga berarti, adalah usaha bersama, baik suami maupun istri, untuk mau berusaha memperbaiki apa yang salah dan kurang dalam hubungan pernikahan, dan tentu saja untuk itu, akan lebih mudah, jika ada kata 'saling'.
3. Kurang komunikasi dan waktu bersama
Saya selalu percaya, hubungan itu, akan lebih mudah dipertahankan jika selalu ada komunikasi dan waktu bersama.
Komunikasi dan waktu ini sangat berhubungan, karena seringnya pasangan suami istri beralasan, nggak ada waktu meski untuk sekadar berkomunikasi, saling mengabari satu sama lainnya.
Duh, nulis ini sambil menahan perih di hati, merindukan komunikasi intens dengan pasangan.
Saya nggak tahu pasti dengan lelaki ya, tapi kalau wanita atau istri, setelah menikah tuh sahabat terbaik wanita cuman suami.
Kebayang nggak sih, kalau nggak ada komunikasi antara keduanya? terlebih kalau istri seorang ibu rumah tangga, betapa kesepiannya.
Saya jadi ingat, ketika bermain game The SIM, di mana untuk bisa membuat subyek pemain dalam game The SIM, harus ada komunikasi intens di antara 2 orang, setelah komunikasi lancar, maka level permainan bisa dilanjutkan.
Itu sama aja dengan hubungan suami istri, ketika kurangnya komunikasi, maka segala hal buruk terjadi dalam pernikahan, baik itu prasangka yang membuat hal yang bukan masalah jadi sebuah masalah, apalagi masalah, yang kecilpun jadi meningkat lebih besar.
4. Hilangnya Cinta
Sejujurnya, menurut saya, cinta adalah modal utama pernikahan, meski banyak yang bilang, cinta itu sesaat, tapi bagi saya cinta itu adalah kuncinya.
Cinta itu menguatkan, sebagai bahan bakar untuk bisa mempertahankan komitmen.
Saya udah merasakan, betapa sulitnya berkomitmen, ketika rasa cinta sudah hilang, terlebih ketika cinta hilang, tak ada yang mau berinisiatif memperbaikinya.
Kalau orang bilang, komitmen lebih penting, bagi saya cinta lebih penting.
Cinta itu yang bikin komitmen kuat, bukan sebaliknya.
5. Perbedaan Pendapat
Hilangnya cinta, akan membuat hal-hal yang awalnya bisa ditoleransi, menjadi sulit untuk ditoleransi.
Bahkan, hal itu sulit dipertahankan meski adanya komitmen, yang ada hanyalah pernikahan yang seperti zombie, tanpa nyawa.
Lalu, saat seperti itu, hal-hal yang berbeda, menjadi sangat krusial bagi suami dan istri, lalu mulailah merasa, kalau keduanya nggak cocok, selalu berbeda pendapat.
Padahal, nggak ada dua pasang manusia yang bisa sependapat melulu di dunia ini, hanya cinta yang meleburkan perbedaan itu.
Ujung-ujungnya, perceraianlah yang dipilih.
6. Terjadinya hal-hal yang merugikan suami maupun istri
Penyebab perceraian lainnya adalah, terjadinya hal-hal yang merugikan suami maupun istri, misal perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), salah satu pihak atau keduanya kecanduan hal-hal negatif, yang berujung pada perceraian.
Perceraian, Seharusnya sama dengan Pernikahan, Butuh Dipersiapkan
Memang sih, tak ada satu orangpun di dunia ini yang ingin mengalami perceraian, kecuali memang orang yang menikah karena kawin kontrak or sejenisnya.
Tapi pada kenyataannya, perceraian semakin sering terjadi.
Mirisnya lagi, ketika pertikaian dan pertengkaran terjadi, ketika masing-masing saling menyakiti.
Maka hanya sedikit pasangan yang memilih untuk bertahan.
Mengapa?
Kalau saya perhatikan, hal itu terjadi karena pola pikir orang-orang zaman sekarang yang berbeda.
Sikap feminisme yang kuat, sikap yang seringnya disebabkan karena belum juga bisa berdamai dengan rasa sakit hati seseorang, membuat orang tersebut selalu menilai masalah orang lain sama seperti dia, dan kadang menginginkan orang lain, sama seperti yang dilakukannya.
Misal, ketika akhirnya memilih bercerai, tapi ternyata belum bisa berdamai dengan perpisahan tersebut, ketika melihat atau mendengar kisah yang serupa, i mean kisah pertengkaran pasangan suami istri, keluhan istri (seringnya) terhadap suaminya, seketika yang telah bercerai, memberikan pendapat untuk segera bercerai juga.
Menurut yang sudah bercerai, setiap wanita berhak bahagia, namun banyak yang lupa, biar kata sama-sama wanita, tapi pola bahagianya belum tentu sama kan?
Lebih mirisnya lagi, banyak orang atau wanita, yang memilih bertahan dalam pernikahannya, bertahannya pun nggak cuman asal bertahan, tapi berjuang untuk memperbaikinya, demi anak-anak.
Banyak banget yang menghujat keputusan tersebut.
"Jangan memilih bertahan demi anak!"
Demikian kata banyak orang, khususnya wanita yang kebanyakan telah memilih perceraian.
Padahal ya, adalah sebuah keputusan mulia, jika ada seorang istri yang memilih bertahan demi anak, karena banyak hal yang sulit untuk dihadapinya, salah satunya, nggak semua wanita punya support sistem yang baik seperti wanita lainnya.
Jarang banget ada yang memberikan kekuatan ketika seseorang wanita berada di masalah pernikahan yang di ujung tanduk.
Padahal, banyak wanita yang sangat membutuhkan hal tersebut.
Akibatnya, kebanyakan wanita terburu-buru memutuskan untuk menjalani perceraian, dan lebih miris lagi adalah, ketika bermasalah, yang pertama kali dilakukan oleh banyak wanita adalah, ke pengadilan buat menggugat cerai.
Dan yang menyemangatinya hanya akan berkata,
"Semangat, rezeki mah selalu ada!"
Demikian kata mereka, kepada wanita yang sebenarnya berat untuk menjalani perceraian karena nggak punya support sistem dan keuangan yang baik.
Lebih lucu lagi, kita pasti bisa melihat di mana-mana, di media sosial, bagaimana orang yang mengejek atau menganggap bodoh, orang yang menikah dengan nekat.
Apalagi dengan taaruf atau sejenisnya.
Katanya, menikah itu nggak modal cinta saja, nggak makan cinta saja.
Butuh direncanakan, butuh dipersiapkan.
Dan ketika bercerai, tak ada tuh atau bisa dibilang, sangat jarang yang menyarankan wanita mempersiapkan perceraiannya dengan baik, padahal kita pasti tahu, bercerai adalah sebuah keputusan halal yang sangat dibenci Tuhan, bahkan di agama lain tidak diperbolehkan.
Sementara, kita semua tahu, khususnya yang beragama Islam ya, menikah adalah ibadah, membuka pintu rezeki.
Tapi kenyataannya, pemikiran modern kaum feminisme zaman now, malah berlaku sebaliknya.
Yang menikah apalagi kalau buru-buru, dibilang bodoh dan terbelakang.
Sementara yang bermasalah sama pernikahannya, disuruh cepat-cepat, bahkan meski pihak istri belum punya pegangan hidup di kemudian hari.
Lucu banget sih menurut saya.
Lalu bagaimana sih seharusnya?
Well, ini hanya opini saya.
Tapi menurut saya, banyak pemikiran zaman now yang sangat terbalik.
Bagaimana bisa, seseorang yang akan menikah, jadi ribet dengan berbagai persiapan ini itu, sementara yang mau bercerai, khususnya yang punya anak ya, malah disemangatin untuk bersegera?
Bagaimana mungkin ketika akan masuk menjalani ibadah dan sesuatu yang Allah sukai, disuruh persiapan ini itu, sementara untuk hal yang Allah benci, malah disegerakan?
Akan lebih bijak, jika wanita yang ingin menjalani perceraian, mempersiapkan dulu hidupnya setelah bercerai, terutama seorang istri yang nggak punya persiapan finansial, nggak ada support sistem dan semacamnya.
Daripada sibuk mengurus ini itu di pengadilan secepat mungkin, akan lebih baik kalau sibuk memberdayakan diri agar lebih mandiri dan bisa membuat dirinya lebih berdamai pada kegagalan.
Jadinya, ketika akhirnya memang harus bercerai, risiko buruk perceraian akan lebih diminimalisir, khususnya dampaknya terhadap anak.
Entah itu dengan cara istri memberdayakan diri untuk bisa lebih mandiri, entah sekolah lagi, atau cari penghasilan.
Sehingga ketika perceraian benar-benar terjadi, khususnya bagi wanita, akan bisa membuat hidupnya jadi lebih baik.
Karena, apa gunanya bercerai kan, kalau akhirnya membuat diri kita tidak lebih bahagia?
Bukankah Tuhan membenci perceraian?
Seharusnya, jika Tuhan membenci perceraian, Dia pasti akan selalu memudahkan niat kita untuk memperbaiki pernikahan, meskipun mungkin awalnya, belum ada kata saling.
Tapi, dengan bantuan-Nya, insha Allah ke depannya bukan hanya saling, tapi hubungan keduanya akan lebih kuat lagi.
Demikianlah opini dan pemikiran saya, tentang perceraian, yang seharusnya dipersiapkan terlebih dahulu, khususnya buat wanita.
Karena kalau pernikahan yang insha Allah diberkahi Allah, kita seolah nggak yakin Tuhan akan memberikan rezeki dan jalan, sampai kita sedemikian detail-nya mempersiapkan ini itunya.
Lalu mengapa, ketika bercerai, kita maunya buru-buru, dan menganggap kalau Tuhan akan memberikan rezeki?
Hmm...
Karena sesungguhnya, bercerai atau bertahan itu, sama aja sulit dan tantangannya, apalagi kalau enggak dipersiapkan.
Itu opini saya ya, parents.
Bukan mutlak benar tentang hal perceraian, karena kita semua tahu, seharusnya semua orang punya alasan kuat dalam menjalani perceraian.
Namun, sebijaknya orang terluar, memberikan nasihat yang bijak, bukan semata karena terbawa perasaan yang sama-sama pernah terluka.
How about you, Parents? menyikapi perceraian?
- Pengalaman dan opini pribadi
- https://www.kompas.com/tren/read/2022/03/09/062500765/10-daerah-dengan-angka-perceraian-tertinggi-di-indonesia diakses 24 Juni 2022
Jujurly artikel ini berat banget buat aku mbak, karena di pernikahan katolik itu ga kenal perceraian, menikah sampai maut memisahkan, boleh menikah lagi kalau pasangannya meninggal. Berat bgt sebenernya hihihi.
ReplyDeletePasti bukan perkara mudah ya perceraian ini, apalagi kalau udah ada anak, salut bgt sama mreka yg udah cerai tp tetep bisa akur satu sama lain, wlpn kita ga tau apa yg dirasakan di hatinya.
Iyaaa, ada loh yang kayak gini, biasanya yang udah menemukan pasangannya lagi masing-masing tuh, kek Anang KD
Deleteperceraian memang momok bagi sebagian besar masyarakat. karena efeknya yang panjang bagi anak
Delete