Ternyata Merelakan Pilihan Minat Bakat Anak Itu Lumayan Berat
Konten [Tampil]
Di Parenting By Rey kali ini, saya akan bercerita atau curhat tentang bagaimana rasanya merelakan pilihan anak, meskipun untuk sebuah pilihan akan minat bakat di kegiatan ekstra kurikuler anak di sekolah.
Cerita si Kakak Darrell Mengeksplore Minat Bakatnya Melaluyi Ekstra Kurikuler Sekolah
Jadi, ceritanya di sekolah si Kakak Darrell, memang ada kegiatan ekstra kurikuler, dan jujur yang bikin kami mantap menyekolahkan si Kakak di sana dulunya adalah, karena ada ekstra Robotica.
Udah kebayang dong ya, si Kakak bakalan senang banget dengan ekstra itu, karena ketika kecil dulu, si Kakak suka banget bongkar pasang sesuatu, dan kami sebagai parents menilai dia suka hal-hal berbau robotica.
Kenyataannya, setelah si Kakak masuk sekolah tersebut, ternyata ekstra robotica yang dimaksud, tidaklah seaktif ekstra lainnya, kayak Futsal dan semacamnya.
Alhasil, ketika kelas 1, si Kakak Darrell memilih ekstra Futsal, dan kami mendukung aja pilihan si Kakak.
Sayangnya, nggak lama kemudian, saya menyadari ternyata si Kakak Darrell itu, bermasalah dengan keseimbangannya, bukan karena ada kelainan serius sih, Alhamdulillah.
Tapi karena si Kakak yang memang ketika bayi, melewati tahapan merangkaknya.
Dampaknya dia jadi kurang baik dalam hal keseimbangan, yang mengakibatkan dia jatuh bolak balik mulu, sampai-sampai gigi depannya mendarat manja terus di lantai dan semacamnya, sampai akhirnya gigi depannya tanggal sebelum waktunya, hingga akhirnya juga gigi permanen bagian depannya oun ikutan tanggal.
Setelah itu, saya sempat melarang si Kakak ikut ekstra futsal, dan menyarankan dia ikut ekstra karate.
Alasannya, agar dia terlatih akan keseimbangannya, karena di ekstra karate kan diajarkan tentang bagaimana mengatur kuda-kuda untuk keseimbangan.
Dulu, meski si Kakak kesal, karena nggak suka ekstra karate itu keras banget menurutnya, tapi seingat saya dia patuh dan mengikuti ekstra itu selama 1 tahun lamanya.
Kalau nggak salah, setelah setahun, dia memohon untuk balik ke ekstra futsal, dan karena nggak tega, saya membiarkan aja dia kembali ke ekstra kesukaannya tersebut.
Si Kakak begitu bahagia, dan meminta dibelikan baju serta sepatu futsal.
Dia juga menyukai pemain-pemain sepak bola, lalu mengatakan ke saya, kalau cita-citanya mau jadi pemain bola.
Meskipun jujur, kadang saya sedikit meragukan hal itu, lah si Kakak aja kalau lari kadang miring-miring, malas olahraga, lebih suka membaca, tepatnya sih dulu saya membatasi banget dia main keluar, pasca jantung saya hampir copot, ketika suatu sore, dia pulang main dengan kondisi mulutnya berlumuran darah, dia jatuh karena nabrak mobil yang diparkir, dan gusinya sobek parah dong, huhuhu
Ya ampunnnn, shock banget saya.
Karena itulah saya jadi semakin membatasi si Kakak untuk main di luar, sampai akhirnya pandemi datang, dan makin nggak bisa keluar deh mereka.
Karena itulah saya jadi semakin membatasi si Kakak untuk main di luar, sampai akhirnya pandemi datang, dan makin nggak bisa keluar deh mereka.
Selama pandemi, biarpun dia jarang bisa main futsal atau bola, tapi kecintaannya terhadap bola masih terus ada, cuman tetep aja maminya ini sangsi, karena dia jarang mau gerak, sebatas naik sepeda pun malas.
Kalau disuruh naik sepeda, ujung-ujungnya nongkrong di lapangan dekat tempat kami, bikin deg-degan aja karena banyak yang nggak pakai masker.
Hampir 3 tahun terkurung di rumah saja, akhirnya si Kakak kembali ke sekolah, dan selama tahun ajaran baru ini, sekolahnya udah masuk 100% PTM dan Full Day School, yang mana ekstrapun juga mulai diadakan.
Di bulan pertama tahun ajaran baru, semua anak bebas memilih ikut ekstra apa saja, biar nantinya tahu yang mana ekstra yang disukai anak-anak nanti?
Di bulan pertama tahun ajaran baru, semua anak bebas memilih ikut ekstra apa saja, biar nantinya tahu yang mana ekstra yang disukai anak-anak nanti?
Jujur, melihat ketidak seriusan si Kakak akan futsal, ditambah jujur sayapun nggak suka bola, kalau mau di-support itu agak sulit, karena butuh biaya lebih dan harus diantar jemput ke klub atau semacamnya kan.
Sayapun menyarankan dia coba hal-hal lain, kayak coding, atau semacamnya.
Sayapun menyarankan dia coba hal-hal lain, kayak coding, atau semacamnya.
Pokoknya yang berhubungan sama komputer deh, karena kalau masalah itu, biarpun mungkin modalnya juga lumayan besar buat beli perangkat komputer, tapi saya masih menganggap kalau itu lebih baik, karena maminya pun bisa bantuin belajar dan ajarin dia dari rumah.
Eh si Kakak nurut sih, tapi cuman sekali aja, dia belajar scratch di sekolah, pulang ke rumah dia langsung praktik, jadilah 1 game sederhana, abis itu bosan, astaga, hahaha.
Minggu terakhir percobaan ekstra, eh mereka malah nggak bisa masuk karena kelasnya lock down paska ditemukan 1 murid positif Covid-19, dan akhirnya form pilihan ekstrapun dimulai, dan tebak apa pilihan si Kakak?
Minggu terakhir percobaan ekstra, eh mereka malah nggak bisa masuk karena kelasnya lock down paska ditemukan 1 murid positif Covid-19, dan akhirnya form pilihan ekstrapun dimulai, dan tebak apa pilihan si Kakak?
Dia pilih ekstra cooking dong, wakakakaka.
Why.... oh why...?
Why.... oh why...?
Kenapa sih si Kakak selalu milih ekstra yang maminya kagak suka?
Maksudnya kan dengan itu, bikin saya nggak bisa totalitas support dia, you know kan ye, maminya ini benci banget ama dapur, dan mungkin juga maminya lebih suka hal-hal berbau IT ya, pengennya anaknya ikutan suka IT.
Tapi, segimananya pun, saya tetap berusaha mendukung, dengan membiarkan si Kakak memilih ekstra cooking, dan berjanji akan support penuh, termasuk menyediakan alat dan bahan jika dibutuhkan dalam praktik ketika ekstra nanti.
Biar kata dalam hati amsih ada sedikit ganjalan, karena pengennya tuh si Kakak bisa menekuni hal-hal yang menjadi minat dan bakatnya sejak kecil, dan mami bakalan berjuang keras, kaki di kepala atau pun sebaliknya, untuk mendukung, agar minat bakatnya terasah sejak kecil.
Atuh mah si Kakak, maminya suka komputer, nyanyi, baca, nulis.
Dan dia cuman menyamai kesukaan mami dalam hal membaca aja, ya ya ya
Tips Agar Ikhlas Mendukung Pilihan Minat Bakat Anak
Sebenarnya saya pun belum yakin kalau si Kakak berminat sama cooking atau masak, meski di rumah sering juga dia kepengen masak, pengen doang, tapi maunya sama mami.
Yang bisa dia masak cuman nasi, telur dadar, telur mata sapi dengan sejuta drama karena dia takut kena cipratan minyak, mie instan baik goreng maupun kuah.
Lainnya sih belum bisa, eh tepatnya belum pernah dibolehin maminya untuk eksperimen.
Tapi, we'll see nanti deh, kalau dia udah masuk ekstra cooking yang dipilihnya.
Dan saya, meski awalnya kepengen agar si Kakak mau memilih ekstra yang mami juga bisa bantu, kayak menulis, atau sesuatu tentang IT (bilang aja yang bisa menghasilkan duit, Rey! hahaha).
Tapi, akhirnya memilih untuk mendukung apapun yang Kakak mau lakukan dan kerjakan.
Yang bisa saya pesankan adalah, agar dia bersungguh-sungguh mengeksplor apa yang dikerjakannya, biar tahu apakah memang bidang itu menjadi minat bakatnya, atau cuman hobi sesaat?
Dan secara detail, beberapa tips yang saya lakukan untuk ikhlas mendukung minat bakat anak adalah:
1. Menyadari kalau anak punya hidupnya sendiri dan dia berhak untuk itu
Saya sadar kalau anak punya keinginan untuk hidupnya sendiri, dan dia berhak untuk menentukan hal itu. Karena menekuni minat bakatnya, tentu saja berhubungan dengan masa depan anak.
Dan masa depan anak adalah miliknya sendiri, bukan saya meski sebagai ibu yang melahirkan dan membesarkannya.
2. Menyadari kalau anak berhak mengeksplor apa yang menjadi minat bakatnya sendiri
Selain anak punya dan berhak atas masa depannya, anak juga punya hak untuk mengenali dirinya sendiri, termasuk dalam mengeksplor apapun yang dia sukai, agar benar-benar mengetahui, apa sih minat dan bakatnya?
Karenanya, membiarkan si Kakak Darrell milih ekstra yang meski sesungguhnya bikin saya ternganga, tapi menyadari kalau itu adalah hak dia untuk mengeksplor, dan kewajiban saya mendukung sepenuhnya.
3. Karena sadar, orang tua dulu juga tak pernah memaksakan kehendak untuk masa depan saya
Hal yang paling mendasar dari semua keikhlasan saya adalah, karena saya juga dibesarkan oleh orang tua, yang biar kata galaknya minta ampun, tapi sejak kecil saya sudah diberi kebebasan memilih pendidikan untuk masa depan sendiri.
Jadi, sejak sekolah, memilih terdampar di STM, dan hingga kuliah teknik Sipil di Surabaya, itu adalah murni pilihan dan keinginan saya, bapak yang galak nggak melarang sama sekali jika untuk hal-hal yang positif.
Dan pola asuh positif demikian, yang bikin saya tersemangati menirunya.
Karena jika menjalani hidup sesuai pilihan sendiri, meskipun mungkin tidak seindah bayangan, tapi rasanya luar biasa bahagia.
Penutup
Ini cuman curhat sih sebenarnya, not a big deal, bukan tips yang paten juga.
Tapi, buat saya merekam semua perasaan nano-nano saya untuk mendukung apapun pilihan anak-anak itu, wajib didokumentasikan dalam bentuk tulisan.
Saya rasa, suatu hari nanti, saya bakalan membaca ulang tulisan ini, dan mungkin akan saya pakai untuk lebih menyemangati diri, selalu mengsupport anak, apapun pilihannya nanti.
Termasuk ketika anak memilih pasangan hidupnya nanti kali ya.
Hastagaaahhhh, anaknya masih berusia 11 tahun, Mak! hahaha.
Eh usia 11 tahun, kalau ternyata dia menikah usia 25 atau 27 tahun, kan kurang 14-16 tahun lagi tuh *eh, hahaha.
Demikianlah.
Kalau parents punya cerita yang sama nggak? ketika memutuskan untuk ikhlas merelakan pilihan minat bakat anak, meski nggak sesuai dengan keinginan kita?
Sidoarjo, 20 Agustus 2022
Sumber: pengalaman dan opini pribadi
Gambar: Canva dan dokpri
Aku belajar dari pengalaman Rey. Dulu papa itu mendikte apapun yang menyangkut pelajaran dan sekolah ke kami bersaudara . Aku ga suka IPA, lebih kuat di IPS. Jadi pas ujian penjurusan kls 3 SMU, sengaja jelek2in IPA, supaya gagal. Nilai rata2ku cuma 6. iPS 9.5. berhasil dong masuk IPS.
ReplyDeleteTapi pas tau, dia DTG ke sekolah, bicara Ama wali kelas, dan minta aku dimasukin ke IPA. Dulukan sekolahku semacam sekolah khusu utk anak2 yg ortunya kerja di oil company Arun. Jadi bisa dibilang ortunya punya kuasa juga dlm menentukan jurusan gini. Guruku mau bilang apa, aku nangis2 depan papa dan guru, ttp aja hrs masuk IPA. Aku ga semangat belajar pas 3 SMU.
Belajar dari situ, aku ga mau kayak papa. Anak2 harus menentukan sendiri apa yg mereka suka dan kuasai. Aku hanya support. Drpd ntr mereka tersiksa belajarnya, yg lebih parah hubungan ortu dan anak jadi dingin. Krn itu hubunganku Ama papa skr. Jujurnya aku jauuuuuuh LBH Deket Ama mertua drpd ortu sendiri 😄