Makna Rumah dan Tentang Impian, Harapan serta Kenyataan
Konten [Tampil]
Termasuk saya, ada masa di saat saya memaknai bahwa rumah adalah sebuah pencapaian hidup dan balas budi kepada orang-orang tercinta.
Namun seiring waktu, pemaknaan saya terhadap rumah jadi berubah, yang bukan hanya sekadar bermakna pencapaian, tapi lebih luas dan mendalam.
Berisi sebuah kehangatan, kenyamanan dan sebuah penerimaan diri dengan damai.
Duh, dalam banget ya kata-katanya, hahaha.
Tapi, beneran sih, kalau ngomongin tentang rumah, saya jadi pengen menceritakan sebuah kisah yang mungkin bisa dibilang lebay, atau juga bisa dibilang mengharu biru (oleh saya sih, hahaha)
Cerita Impian Tentang Rumah Tinggal dan Kenyataannya
Kalau ngomongin rumah tinggal, siapa sih yang nggak pengen punya rumah tinggal sendiri?
Bahkan, bukan hanya jika kita sudah berkeluarga, ketika masih single pun, banyak loh orang yang mendambakan tinggal di rumah sendiri.
Bukan sekadar tinggal di rumah yang merupakan hak milik sendiri, bahkan bisa tinggal di sebuah rumah sewaan atau kontrakan pun, sudah jadi sebuah impian sejak masih remaja.
Setidaknya itu saya, dan saya yakin banyak orang, yang juga berpikiran sama dengan saya.
Iya kan? Iya in aja deh, hehehe.
Sejak kecil, dengan segala impian saya menjadi wanita karir yang sukses di kota besar, punya rumah sendiri itu udah include dalam impian saya.
Dan demikianlah, ketika lulus kuliah, harapan besar muncul di benak, dengan berbekalkan ijazah sarjana, saya rasa sudah cukup untuk mulai berkecimpung mengumpulkan pundi-pundi keuangan agar bisa membeli impian masa kecil, yaitu punya rumah sendiri.
Sayang di sayang, ternyata kenyataan tidaklah seindah harapan.
Setelah lulus, barulah saya sadari, ternyata cari uang itu susahnyaaaaaaa minta ampun.
Terlebih, mencari uang tanpa restu dari orang tua, yang mana mereka berharap saya bisa balik ke Buton, tinggal di dekat mereka, jadi PNS dan beli rumah di sana.
Tak perlu saya jelaskan secara panjang lebar di sini, sudah pernah dan sering saya tuliskan di blog reyneraea.com tentang bagaimana saya kurang sreg tinggal di Buton, dan bahagianya tinggal di Jawa.
Jadinya saya bertahan, serta berniat membuktikan, kalau saya juga bisa sukses di Jawa, bisa sukses tanpa harus menjadi PNS seperti yang diinginkan oleh orang tua.
Kenyataannya, ternyata sulit banget.
Setahun menganggur setelah lulus kuliah, tanpa support sistem sama sekali lagi dari orang tua.
Lalu akhirnya dapat kerjaan dengan gaji di bawah UMR.
Hal itu tentu saja merupakan sebuah masalah dalam merealisasikan impian punya rumah sendiri.
Boro-boro mau beli rumah sendiri ya, buat bayar kos dan kebutuhan makan sehari-hari aja, nyaris nggak cukup.
Ketika keadaan ekonomi saya mulai sedikit stabil, dalam artia cukup untuk biaya hidup sehari-hari, masalah lainnya muncul.
Waktu itu, saya berpikir untuk bisa ambil KPR rumah di Surabaya atau Sidoarjo, mumpung status saya sebagai karyawan tetap di sebuah perusahaan, akan memudahkan pengurusan KPR rumah.
Sayangnya, saya masih galau dan bingung.
Lantaran kepikiran orang tua yang nggak pernah benar-benar merestui saya tinggal jauh dari mereka.
Sampai akhirnya saya menikah, dan memutuskan menetap di Surabaya.
Seminggu tinggal di rumah mertua, lalu pindah ke sebuah kamar kos khusus pasutri selama beberapa bulan.
Sampai akhirnya saya hamil, dan kamipun memutuskan tinggal di sebuah rumah kontrakan, sesuai budget yang kami punyai.
Setelah punya anak, impian bisa punya rumah sendiri semakin mengabur.
Biaya kebutuhan anak sejak bayi ternyata sangatlah menguras isi rekening.
Bahkan, gaji saya dan suami digabungkan pun, hanya cukup untuk kebutuhan kami sehari-hari serta bayar kontrakan.
Hal ini semakin sulit, ketika saya akhirnya memutuskan jadi ibu rumah tangga.
Pemasukan utama hanya melalui suami saja, tanpa support dari orang tua kami.
Rasanya sedih dan sedikit iri, ketika melihat beberapa teman yang menikah, langsung bisa punya rumah sendiri, karena support orang tua masing-masing.
Ada yang menikah, lalu dibantuin uang muka dari orang tuanya masing-masing.
Ada pula yang dibelikan rumah langsung oleh orang tuanya masing-masing.
Ada pula, yang bisa menabung dan membeli rumah sendiri, meski harus KPR, tapi orang tuanya membantu untuk biaya renovasi rumah minimal pembuatan dapur.
Sementara kami, sebagai pasangan yang harus mandiri sejak awal.
Orang tua saya berhenti meng-support keuangan buat saya sejak kelulusan kuliah saya.
Sementara, orang tua suami, masih fokus membiayai adik-adik suami yang masih kuliah.
Terpaksa kami harus mengandalkan diri sendiri untuk impian punya rumah tinggal sendiri.
Berdamai dan Menemukan Makna Rumah Untukku pada Anak-Anak
Dalam perjalanannya, berbagai perasaan kami alami tentang impian punya rumah tinggal sendiri tersebut.
Dari yang sedih karena bertahun-tahun menikah, tapi belum bisa punya rumah tinggal sendiri, galau memikirkan kami harus punya rumah tinggal di mana?
FYI, 2 tahun pertama pernikahan kami, dihabiskan dengan masih galau memilih, apakah tetap di Surabaya, atau pulang ke Buton agar orang tua saya bahagia?
Lalu di atas 2 tahun kemudian, kami galau karena pekerjaan suami yang terus berpindah-pindah, dan saya ogah disuruh tinggal menetap sendiri di sebuah kota, namun harus berjauhan dengan suami.
Iya, saya dulu anti LDM (Long Distance Marriage) tingkat dewa!
Nantilah ketika si Kakak Darrell mulai masuk SD, seketika saya mulai berdamai dengan LDM, karena memang udah nggak bisa bebas mengikuti suami ke manapun dia bekerja, di samping itu juga suami belum kunjung punya pekerjaan tetap yang membuat dia bisa bertahan lebih dari setahun dalam sebuah pekerjaan atau proyek.
Ikutan suami tinggal di Jombang |
Kebayang dong, kalau saya terus memaksa ikutan, yang ada kasian si Kakak, harus pindah sekolah setiap tahunnya, dan kebayang juga berapa pengeluaran yang kami harus siapkan untuk biaya pindah-pindah sekolah dan tempat tinggal setiap tahunnya.
Meskipun tak bisa mengikuti suami ke manapun dia bekerja, bahkan terakhir kami akhirnya harus LDM beda pulau, di mana saya harus benar-benar sendirian mengurus anak-anak, tanpa bantuan siapapun, termasuk keluarga, karena saya juga nggak terlalu dekat dengan keluarga suami.
Tetap saja kami belum bisa merealisasikan impian punya rumah tinggal sendiri, dan harus puas dengan tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana hingga bertahun-tahun.
Kalau ditanya gimana rasanya tinggal di rumah kontrakan, hingga bertahun-tahun setelah menikah?
Sebenarnya jawabannya, asyik-asyik saja sih!.
Yang nggak asyik itu ketika telinga menangkap banyak omongan orang lain, baik keluarga terutama orang tua, maupun orang lain yang nggak ada hubungan darah sama sekali.
Orang tua, dengan alasan ingin melihat anaknya tenang, dengan punya rumah tinggal milik sendiri, selalu saja bertanya, kapan beli rumah?
Dan orang lain bertanya, kok udah bertahun-tahun menikah, nggak mau beli rumah juga?
Padahal harga rumah setiap tahunnya naik dengan drastisnya?
Herannya, semua orang cuman bertanya, tapi nggak ada satupun yang mau nyumbang 500 juta aja kek, hahahaha.
Seringnya, saya menanggapi pertanyaan seperti itu dengan candaan.
Tapi jujur, lama kelamaan mengganggu pikiran juga, apalagi kalau yang nanya adalah orang tua atau keluarga.
Kadang kalau udah nggak bisa nahan kesal, saya jawab aja dengan asal,
"Jangan tanya saya dong, tanya Tuhan sana, kapan Dia mau kasih saya uang 1 milyar aja, atau setidaknya dia tunjukin cara nyata biar bisa dapetin 1 milyar dalam setahun, biar bisa beli rumah seperti impian kalian!"
Impian mereka dong, udah bukan impian saya lagi, saking kesalnya dengar pertanyaan berulang tentang kapan beli rumah tinggal milik pribadi?
Untungnya, saya tidak berlama-lama memendam rasa kesal seperti itu.
Seiring waktu, saya mencoba berdamai dengan semua pertanyaan orang lain tentang rumah tinggal milik sendiri.
Yang otomatis bikin saya juga ikut berdamai dengan impian punya rumah tinggal sendiri yang belum kunjung bisa diraih.
Seiring waktu, saya belajar berdamai, dengan memaknai bahwa rumah tinggal, bukan sekadar rumah yang kita tinggali harus milik sendiri, harus mutlak tinggal di situ selamanya.
Karena ternyata, toh Tuhan tidak menempatkan kondisi saya harus tinggal di rumah kontrakan selama bertahun-tahun tanpa alasan.
Semua kondisi ini sungguhlah yang terbaik buat saya.
Dan Tuhan Maha Mengetahui apa yang terbaik buat hamba-Nya kan.
Saya yang introvert, saya yang menyukai tempat yang tenang, damai, jauh dari tetangga terlalu 'ramah' dan kepo, tentu saja kadang bermasalah, jika bertetangga dengan orang-orang ekstrovert yang memaksa saya, sebagai introvert, harus bisa seperti mereka.
Dan itulah salah satunya alasan, mengapa saya masih diberikan kondisi harus tinggal di rumah kontrakan selama bertahun-tahun, agar jika saya tidak betah, bisa dengan mudah pindah ke tempat yang baru, yang sesuai dengan karakter saya, agar bisa merasakan kenyamanan yang sebagaimana karakter saya mengartikan kedamaian itu.
Sering Pindah Rumah, Tak Masalah, Tapi Juga ada Masalah Beserta Solusinya
Seiring waktu, demikianlah keadaan saya.
Bertahun-tahun menikah, masih tinggal di rumah kontrakan, dan sering berpindah rumah.
Tidak masalah sih, pindah rumah buat saya dan anak-anak adalah seni untuk me-refresh pikiran, pindah ke lingkungan baru, meninggalkan hal-hal yang kami nggak sukai di lingkungan lama.
Dan Alhamdulillah, anak-anak juga menikmatinya, dan itulah yang paling penting buat saya.
Iya, seiring waktu, saya akhirnya menemukan makna rumah untuk saya sesungguhnya, yaitu bersama anak-anak, tempat mengukir cerita bersama anak-anak setiap saat.
Jadi, makna rumah untuk saya yang terpenting adalah, bukan status kepemilikannya, tapi kebersamaan saya dan anak-anak yang menikmati tempat tinggal tersebut.
Jadi, mau di manapun tempatnya, harus berpindah beberapa kalipun, bukanlah menjadi masalah besar bagi kami.
Dan mengenai hal-hal lainnya, tentang manfaat punya rumah tinggal sendiri.
Bukanlah sebuah hal yang harus kami jadikan patokan kebahagiaan.
Kami bahagia memaknai rumah tempat kami bertinggal, di manapun itu.
Asalkan bersama anak-anak, ada saya dan anak-anak.
Bersama kami mengukir cerita di dalam rumah tinggal tersebut setiap harinya.
Itu udah cukup, bahkan lebih dari cukup, Alhamdulillah.
Namun, semua ketercukupan kebahagiaan kami tersebut, bukan berarti tanpa masalah sama sekali.
Ada sih masalahnya, yaitu ketika kami harus sering pindah rumah tinggal kontrakan, dengan berbagai alasan.
Masalahnya adalah, ya ampuuunnn ribet juga dong angkut-angkut barang.
Encok pegal linu dah badan mengangkat semua perabotan yang memang kebanyakan terbuat dari kayu.
Bukan hanya masalah bobotnya yang luar biasa, namun juga karena perabotan kayu yang kami punyai memang bukanlah perabotan kayu asli, jadi kalau sering diangkat-angkat, berdampak pada perabotan yang jadi mudah rusak.
Dan karena itu pula, sering banget terjadi, setiap kali kami pindahan rumah tinggal, banyak perabotan yang terpaksa ditinggalkan, karena rusak dan nggak bisa diangkut lagi.
Padahal, dengan 2 orang anak usia aktif, tentunya sangat butuh perabotan, khususnya storage untuk menyimpan banyak barang, khususnya mainan dan barang anak-anak, agar rumah bisa terlihat rapi, juga melatih dan membiasakan anak-anak sadar akan kerapian barangnya sendiri.
Karena satu masalah ini, saya jadi berpikir untuk lebih memilih perabotan dengan bahan plastik, dengan alasan perabotan plastik lebih ringan bobotnya dibandingkan dengan kayu.
Pun juga lebih tahan jika diangkut ke mana-mana.
Namun, bukan perabotan plastik yang asal ya, tentu saja yang bahannya lebih bagus, disainnya juga lebih kece, sehingga lebih awet atau tahan lama digunakan, kayak produk-produk perabotan rumah tangga dari Olymplast.
Olymplast, Juara Rapikan Rumah dan Praktis untuk yang Sering Berpindah Rumah
Tentang Olymplast
Ada yang kenal dengan brand Olymplast?
Sini kenalan yuk.
Olymplast adalah sebuah brand yang menjadi solusi dari kebutuhan perabotan rumah tangga dengan bahan baku plastik, untuk seluruh keluarga Indonesia, dan diproduksi oleh PT. Cahaya Bintang Plastindo.
Olymplast telah berdiri sejak tahun 2015 di kota Gresik, Jatim.
Dan seiring waktu, telah berekspansi ke kabupaten Lamongan sejak tahun 2018, dan kemudian mempunyai karyawan yang hingga saat ini telah mencapai lebih dari 1,000 orang.
Sebagai anak perusahaan dari PT. Graha Multi Bintang, yang menjadi holding company dalam merek-merek furniture ternama Nasional, dan bagian dari Olympic Furniture Group.
Menjadikan Olymplast, sebagai brand yang menjadi favorit banyak keluarga Indonesia, khususnya dalam mengisi perabotan rumahnya masing-masing.
Dengan komitmen dan visinya dalam menyediakan produk-produk terbaik dan modern, untuk mempercantik rumah, dan tentunya dapat memberikan manfaat lebih buat keluarga Indonesia
Karena Olymplast menyadari, bahwa rumah adalah tempat ternyaman untuk semua anggota keluarga dalam menghabiskan sebagian besar waktunya.
Tempat berbagi semuanya, dan mengukir cerita bersama keluarga selalu.
Keunggulan Olymplast
Olymplast hadir dengan beberapa keunggulannya, yang terus terjaga karena telah menjadi sebuah misi utama bagi brand ini, yaitu:
- Kualitas material terbaik, karena menggunakan material pilihan terbaik untuk semua produk yang dihasilkannya.
- Kualitas desain yang terbaik dan modern, karena selalu mengembangkan desainnya sesuai dengan inovasi terkini dan juga sesuai dengan kebutuhan konsumennya.
- Kualitas fungsi yang terbaik dan memuaskan, di mana semua produknya menganding nilai fungsional tinggi.
- Kualitas tahan lama, karena selalu fokus kepada uji standard dan kontrol yang ketat demi menciptakan produk yang awet atau tahan lama.
Produk-Produk Olymplast Juaranya Rapikan Rumah
Pada penasaran nggak sih, apa aja sih produk-produk yang diproduksi oleh Olymplast untuk keluarga Indonesia yang tentunya sangat bermanfaat untuk merapikan rumah?
Ada banyak banget ya.
Mulai dari kursi, tempat penyimpanan, kabinet, lemari pakaian, laci, meja, peralatan rumah tangga lainnya, hingga peralatan khusus anak-anak.
Yang pasti, kesemua perabotan rumah tangga tersebut, terbuat dari bahan yang terbaik, kuat, kokoh dan awet.
Dan tentunya dengan desain yang modern, baik bentuk maupun warnanya nggak norak, tetap terlihat mewah meski terbuat dari bahan plastik.
Dan salah satu perabot yang menjadi favorit saya adalah tempat penyimpanan atau storage, maupun kabinet.
Perabotan ini, amat sangat membantu banget untuk menampung berbagai barang-barang yang selalu berantakan di mana-mana, seperti mainan anak-anak maupun peralatan anak-anak lainnya.
Dan perabotan dari Olymplast ini juga sangat membantu membuat anak-anak terbiasa rajin beberes peralatan main dan belajarnya selepas beraktifitas di rumah.
Sehingga, meski ada 2 anak yang sedang aktif-aktifnya, tapi bukan berarti rumah senantiasa berantakan tak pernah rapi.
Karena Olymplast Juaranya Rapikan Rumah.
Penutup
Seiring dengan berbagai cerita kehidupan yang telah saya lewati, membuat saya sadar kalau tak semua impian bisa seindah realisasinya.
Namun, bukan berarti realisasi yang tak sesuai impian itu, adalah sebuah hal yang salah dan kurang.
Seperti impian punya rumah tinggal dengan hak milik sendiri, yang belum juga kesampaian.
Seringnya di mata banyak orang, itu adalah sebuah hal yang kurang dan salah.
Tapi, buat saya, kondisi itu sama sekali tidak mengurangi makna rumah untuk saya.
Karena makna rumah yang sesungguhnya adalah, kebahagiaan dan kebersamaan dengan anak-anak.
Bersama mengukir cerita dalam aktifitas di dalam rumah yang nyaman dan rapi, tentunya.
Dan untuk kerapian rumah, saya serahkan ke Olymplast, yang sangat cocok buat kami yang sering berpindah rumah tinggal, karena lebih ringkas berbahan plastik, tapi tetap awet.
Begitulah makna rumah untuk saya, dan saya bersama anak-anak, memaknainya juga dalam manfaat Olymplast juaranya rapikan rumah.
Sidoarjo, 09 Desember 2022
Sumber:
- pengalaman dan opini pribadi
- https://olymplast.co.id/
Gambar: Canva edit by Rey, dokpri dan https://olymplast.co.id/
He he .... Ujung2nya jualan, dapat duit. Dasar rezeki ya ananda Rey.
ReplyDelete