Perawat Home Care yang Jasanya Jadi Pilihan Pasien Anti Ribet, Namun... (part 01)
Perawat home care yang memberikan jasa layanan perawatan medis kepada pasien di rumah, ternyata ada loh di Surabaya.
Dan hal ini terjadi pada keluarga yang saya kenal, namun demi kenyamaan semua pihak yang terlibat, saya nggak akan tuliskan, info siapa keluarga yang memakai jasa tersebut, siapa perawatnya, dan berasal dari instansi mana?
Karena sejujurnya, saya nggak tahu, hal ini legal atau enggak, mengingat dari berbagai info, ternyata perawat memang diperbolehkan membuka praktik pribadi, namun dengan beberapa syarat dan izin yang harus dia penuhi.
Memakai Jasa Perawat Home Care karena Salah Mengenali Dokter yang Ternyata Perawat
Jadi ceritanya beberapa hari lalu saya menjenguk keluarga yang ibunya drop sehingga nggak bisa ngapa-ngapain, menurut keluarganya, si ibu terkena gejala stroke ringan.
Namun saya yang seringnya memaknai stroke dengan gejala yang berat, yang bikin penderitanya sampai kehilangan sebagian fungsi sarafnya, dan mengakibatkan kelumpuhan yang kadang separuh badan, mencoba melihat kondisi si ibu pasien.
Baca juga : Operasi yang ditanggung BPJS, simak di sini
Alhamdulillah sih secara kasat mata, nggak ada yang terlalu mengkhawatirkan. Tapi emang kondisi dalamnya yang lumayan mengkhawatirkan. Si ibu nggak bisa bicara, nggak bisa menelan, bahkan sekadar mengangkat tangan dengan benar, atau menggerakan kakinya pun sulit.
Keluarganya mengatakan, bahwa mereka memakai jasa dokter, yang infonya mereka peroleh dari ART yang bekerja di rumah mereka. ART tersebut memang bekerja membersihkan dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga di beberapa rumah, selain rumah si ibu tersebut, setiap harinya.
Dan salah satu rumah lain tempatnya bekerja adalah, rumah di mana si yang katanya 'dokter' tersebut juga merawat pasien, dengan gejala yang sama persis kayak ibu tersebut, gejala stroke ringan.
Saya lega, setidaknya si ibu udah ditangani oleh tenaga medis, jadi penanganannya insha Allah udah benar.
Namun, suami dari si ibu yang mengenal keluarga saya basic-nya perawat, seringnya menganggap, saya ini juga mengerti banget tentang kesehatan, dan si bapak lalu menunjukan obat-obatan yang dikonsumsi si ibu.
Saya bingung dong, ya kali saya hafal semua jenis obat-obatan, apalagi obat stroke kan, karena Alhamdulillah keluarga saya nggak ada yang sampai kena stroke, semoga kami sehat selalu, aamiin.
Tapi demi menyenangkan si Bapak, diam-diam saya googling deh, jenis obat yang dikonsumsi ibu, karena setelah sibuk ubek-ubek meja di samping ranjang si ibu, nggak ada resep sama sekali yang saya temukan.
Obat pertama adalah untuk lambung, saya lupa dong obat apa namanya, tapi memang itu buat lambung, diberikan 30 menit sebelum makan, dan karena si ibu nggak bisa menelan, akhirnya dipasangin selang melalui hidungnya yang nyambung ke lambungnya.
Tentu saja, karena makanan harus masuk dari selang, maka makanan yang diberikan adalah makanan super cair, yang sukses bikin perut ibu sering kembung.
Yang kedua obat Citicoline 500mg, menurut anaknya obat ini diberikan 2 kali sehari, pagi dan sore. Segera saya googling, apa itu obat Citicoline?
Baca juga : Obat Batuk Alami untuk Anak yang Aman
Dari website Alodokter saya menemukan keterangan bahwa, citicolin atau citicoline adalah obat yang digunakan untuk mengatasi gangguan memori atau perilaku yang disebabkan oleh penuaan, stroke, maupun cedera kepala. Obat ini juga bisa digunakan untuk meningkatkan daya penglihatan pasien glaukoma.
Citicoline sendiri sebenarnya merupakan bahan kimia yang secara alami ada di otak, di mana dia bekerja untuk meningkatkan jumlah zat kimia di dalam otak, bernama phosphatidylcholine. Dan zat ini punya peranan yang sangat penting dalam melindungi fungsi otak.
Saya lega, setidaknya obatnya sih masuk akal, sang ibu memang semacam kehilangan kesadaran sejak awal drop semingguan sebelumnya.
Yang ketiga ada obat kapsul Mecobalamin 500mg, obat ini sama dengan Citicoline, diberikan 2 kali sehari sesudah makan.
Masih dari website Alodokter, saya jadi tahu bahwa, mecobalamin atau bisa disebut methylcobalamin adalah salah satu bentuk vitamin B12, di mana punya peranan penting terhadap pembentukan sel darah merah, metabolisme sel tubuh, sel saraf, dan produksi DNA.
Methylcobalamin atau mecobalamin seringnya dipakai untuk mengatasi kekurangan vitamin B12. Di mana, jika terjadi kekurangan atau defisiensi vitamin B12, dapat menyebabkan neuropati perifer, anemia megaloblastik, maupun glositis.
Oke, saya lega dong, semua obat yang diberikan memang berfungsi untuk menangani gejala yang dialami sang ibu, terlebih jenis obat-obatan tersebut, fungsinya semacam nutrisi tambahan, jadinya saya tenang.
Selain obat tersebut, sang ibu juga dipasangin infus, namun ketika itu cairan infus yang digunakan hanyalah cairan infus biasa yaitu cairan infus NaCl.
Aman dong ya, meskipun sang ibu masih sering meringis, yang katanya perutnya sakit, paha dan kaki kanannya juga sakit. Tapi masih wajar sih ya, perut ibu kan isinya makanan cair doang, sementara kaki kanan ibu emang pernah dioperasi dan dikasih pen, karena tulangnya pernah patah.
Kaki sang ibu mungkin nyeri karena ibu sama sekali nggak bisa menggerakan kakinya, dan itu udah masuk minggu kedua beliau terbaring pasrah tak bergerak seperti itu, wajah sih kalau akhirnya kaku dan nyeri, dan untuk meredakannya, saya mencoba mengusap perut dan kakinya, dan Alhamdulillah sedikit membantu.
Akhirnya Mengenali Bahwa yang Merawat Bukan Dokter, Tapi Perawat yang Bekerja di sebuah RS Pemerintah di Surabaya
Sebenarnya saya nggak berani ikut campur tentang siapa yang merawat si ibu, tapi salah satu anaknya memberikan nama lengkap si 'dokter' tersebut, sang anak mengeluh, dia penasaran dengan profil sang dokter, karena mereka sama sekali nggak terlalu mengenal dokter tersebut, bahkan si dokter juga tidak pernah mengenalkan diri, atau sekadar membuka maskernya, ketika berkunjung.
Baca juga : Daftar Obat Sirup yang Dilarang Beredar
Sang anak cuman mengatakan, kalau si 'dokter' tersebut pernah datang mengunjungi ibu, di mana ketika itu dia sedang memakai pakaian putih, dengan tulisan nama RS pemerintah tersebut di bagian bajunya.
Karena si anak mengutarakan rasa penasarannya, alih-alih saya mencari nama asli si dokter di media sosial, which is emang susah banget karena namanya sangat pasaran, hahaha.
Saya malah meminta nomor HPnya, dan mengeceknya di aplikasi Get Contact, dan tadaaa..... keluarlah begitu banyak tag namanya yang tersimpan di aplikasi tersebut.
Ada beberapa orang yang menyimpan nomor kontaknya dengan nama Dokter R*****, tapi nggak sedikit juga yang menyimpan kontaknya dengan nama Mas Perawat R*****, Perawat RS D* ******* R*****, bahkan ada yang menyimpan kontaknya dengan nama Mas R***** kasur angin.
Btw, si ibu dibaringkan pada kasur angin, yang menurut keluarga itu rekomendasi dari sang 'dokter'.
Saya lalu menyimpulkan bahwa si Bapak yang yang merawat sang ibu itu bukan dokter, dan sesuai dengan kecurigaan saya, karena:
- Tidak ada copy resep sama sekali yang diberikan, menurut keluarga si ibu, sang dokter mengenakan biaya jasanya, include dengan obat-obatan. Jadi keluarga nggak perlu ribet beli obat, semua dikasih si bapak, termasuk alat bantu untuk memasukan makanan di dalam selang, seperti alat suntik spuit besar, yang konon nggak bisa dibeli bebas.
- Keluarga tidak tahu, obat apa yang diberikan sang 'dokter', karena dokternya juga nggak menjelaskan obat itu untuk apa, padahal yang paling penting adalah, wajib tahu apa aja yang dimasukan ke tubuh pasien.
- Tidak ada rekam medis, tidak ada catatan, semua pakai ingatan semata, dan sebalnya juga jadwal kunjungannya tidak teratur.
- Yang jadi masalah adalah, setiap kunjungannya si bapak tersebut memberikan obat dalam bentuk injeksi, yang keluarga juga nggak tahu itu obat apa?
Meski akhirnya penemuan saya tentang kejelasan si bapak yang besar dugaan saya bukan dokter itu, keluarga, khususnya suami si ibu bersikeras akan memakai jasanya terus, alasannya meski dia bukan dokter, tapi pasiennya, dalam hal ini si ibu, mulai menunjukan perubahan yang signifikan ke arah yang baik.
Dari yang awalnya bahkan nggak kenal siapapun di sampingnya, mulai mengenali meski samar, pun juga udah mulai bisa angkat tangan dan kakinya.
Sejujurnya lagi, saya sama sekali nggak masalah si ibu dirawat siapapun, karena (siapalah akoh kan ye!), udahlah saya juga nggak ikutan bayar jasa si bapak tersebut kan ye, hahaha. Cuman saya sih berharap si bapak bisa memberikan perawatan yang lumayan profesional ya, setidaknya ada catatan dari setiap kunjungannya, jadi lebih akurat lagi merekam kemajuan perkembangan pasien, ye kan?
Terutama, obat-obatan apa saja yang sudah dia berikan kepada pasien, khususnya obat injeksi yang botolnya dia ambil lagi, dengan alasan akan membuangnya di limbah medis RS.
Beruntung, saya sempat bertemu langsung dengan si Bapak yang dikira seorang dokter, dan tidak menolak meski semua keluarga memanggilnya 'DOK' itu.
Saya yang udah yakin dia bukan dokter, tentu saja nggak mau panggil dok, tapi saya manggilnya Mas.
Si Mas tersebut berusia sekitar 40tahunan, dengan tinggi standar sekitar 160-170an, tubuh yang sedikit gempal dan berisi, rambut dipotong pendek.
Baca juga : Gagal Ginjal Akut Pada Anak yang Semakin Mengkhawatirkan
Dia datang dengan mengendarai mobil Yaris berwarna silver kalau nggak salah, dan ketika melihat penampilan dan peralatan yang dibawanya, udah langsung yakin, dia bukan dokter.
Si bapak tersebut datang dengan tampilan mata yang ngantuk, memakai masker yang di bagian mulutnya udah basah kuyup, dan dia juga terbatuk-batuk, yang sukses bikin saya parno banget.
Si bapak emang ramah banget, cuman tas bawaannya sangat tidak mencerminkan dokter, tasnya lusuh, obat-obatannya berantakan dan disimpan begitu saja di dalam tas, i mean kalau dia nebus obat di apotik, seharusnya kan obatnya lebih rapi, terlihat obat yang baru diambil dari packingan yang bagus. dan yang jelas ada tulisan keterangan cara mengkonsumsinya, yang biasa diberi kertas kecil dengan logo apotik tempat menjual obat tersebut.
Tapi enggak dong, bahkan obat yang dia berikan untuk dikonsumsi setiap hari, keterangannya ditulis di kemasan obat pakai spidol hitam gede.
Ketika datang, si bapak mencoba mengetes respon si ibu, dengan cara meminta ibu melihat dan mengikuti gerakan jarinya pakai bola mata, tanpa harus menggerakkan kepala.
Dan Alhamdulillah si ibu sangat mengerti dengan respon baik dan positif banget, berikutnya si Bapak mengganti botol infus si ibu dengan cairan yang agak beda, yaitu cairan Dextrose Monohydrate and Sodium Chloride Infusion.
Cairan infus yang diberikan |
Saya cuman memperhatikan si bapak tersebut mengganti cairan infus, bahkan dengan ramah mengajari suami si ibu tentang bagaimana caranya mengatasi cairan infus yang tidak bisa mengalir lancar.
Namun, ada yang sedikit aneh, ketika si Bapak membalikan botol infus, di mana tulisan keterangan di botolnya dibalik ke arah dinding, katanya biar cairannya nggak mantul.
Setelah si Bapak pergi, saya yang penasaran dengan aksinya, langsung membalikan dan membaca keterangan di botol infus itu, dan langsung paham maksudnya sambil ngakak.
Ternyata, si Bapak itu sedang menyembunyikan keterangan yang ada di botol tersebut, di mana di bagian bawah botol itu, masih terlihat jelas, bahwa botol infus itu milik pasien lain di RS tempat dia bekerja, nggak tahu itu sisa, atau memang dia ambil begitu saja, hahaha.
Ada keterangan farmasi tempat cairan infus itu berasal, which is berasal dari farmasi RS tersebut, ada keterangan nama pasien, tanggal pasien dirawat, aturan pakai dll.
Agak miris sih jadinya, antara mikirin para pasien di RS, terutama bagi pasien yang nggak bisa ditungguin keluarganya, atau ditungguin keluarganya tapi keluarganya sangat-sangat awam terhadap kesehatan dan prosedur serta haknya di RS.
Iya sih kalau cairan itu gratis, dan itu sisa pemakaian, gimana kalau ternyata cairan itu bayar, dan ternyata itu nggak diberikan ke pasien sesuai ketentuan yang berlaku.
Dan masalahnya lagi, dari aplikasi Get Contact, saya tahu kalau si Bapak itu sepertinya bekerja sebagai perawat di ruangan yang digunakan untuk merawat pasien lansia, seperti gejala stroke, parkinson, demensia dan sebagainya.
Tapi sudahlah, yang penting cairannya asli, dan nggak kadaluarsa, masalah dosa jika memang itu nggak diperoleh sebagaimana meskinya, biar ditanggung si Bapak perawat itu.
Setelah pasang cairan infus, si Bapak mulai membuka tas lusuhnya, dan sibuk mengaduk-ngaduk isinya yang berantakan, mencari obat-obatan injeksi.
Saya yang tumbuh besar melihat mama saya yang sejak zaman jebot berprofesi sebagai perawat, tapi keterampilan dan job-nya melingkupi bidan (menangani bumil dan ibu melahirkan) juga dokter, tapi peralatan medisnya amat sangat rapi dan bersih, jadi gimana gitu perasaannya liat isi tas lusuh si Bapak.
Tapi, tetep saja mulut saya nggak bisa diam, saya tanya deh itu obat apa? dan apa gunanya? Seketika semua terdiam, dan saya baru menyadari kalau ternyata selama berhari-hari, nggak ada satu orangpun yang pernah bertanya, si ibu itu dikasih obat apa? dan apa fungsinya?
Padahal, pasien dan keluarganya tuh berhak tahu apa saja tindakan medis yang dilakukan ke tubuh pasien, bahkan kalau tidak salah, dalam kode etik keperawatan, mau segimanapun kondisi pasien, perawat atau nakes WAJIB izin dulu ketika memberikan tindakan medis, setidaknya izin ke keluarganya.
Si Bapak sedikit berubah air mukanya, dengan suara yang sedikit berubah dia bertanya,
"Sampeyan dari medis?"
Saya menjawab bukan! tapi saya selalu punya kebiasaan untuk menanyakan apa saja tindakan medis yang diberikan ke pasien, baik ke diri saya, maupun ke keluarga.
Tapi, untunglah si Bapak mau sedikit bersabar, dan memberitahukan obat injeksi apa saja yang diberikan ke si ibu, sayang sekali saya nggak berkesempatan mengingat semua jenis obat tersebut, hanya Citicoline yang saya ingat, ternyata selain melalui tablet, si Bapak juga memberikan tambahan citicoline injeksi ke si ibu.
Baca juga : 6 Penyakit Menular di Sekolah yang mengintai Anak-Anak
Beserta 2 jenis obat lainnya yang saya lupa namanya apa.
Namun, masih ada yang mengganggu pikiran saya, yaitu mengenai dosis. Mengingat si Bapak hanya memberikan injeksi tersebut ketika dia berkunjung melihat keadaan pasien, dan masalahnya adalah jadwal kunjungannya nggak menentu, bahkan pernah sehari dia nggak bisa datang.
Saya nanya dong, gimana cara pemberian dosisnya? karena jadwal kunjungannya nggak menentu?
Eh si Bapak menjawab, kalau dia sudah memperkirakan jika memang nggak memungkinkan datang, dia akan memberikan double dosis sekali injeksi (UWOWWWW!).
Menurut si Bapak itu nggak masalah, dan biasa mereka lakukan kepada pasien yang ada di RS.
Saya cuman bisa ternganga mendengarnya, terlebih ketika saya browsing, terdapat keterangan bahwa dosis citicoline tidak boleh digandakan, ya...ya...ya..
Penutup
Sebenarnya masih ada kelanjutan tindakan yang diberikan perawat home care, yang saya nggak tahu persis, apakah dia punya izin praktik atau enggak, apakah itu legal ketika melayani pasien home care, tapi obat yang diberikan merupakan sisa obat dari pasien di RS?
Dan apakah semua tindakannya yang jujur bikin shock itu, sesuai prosedur?
Entahlah.
Sayangnya, orang awam memang sulit mengerti tentang alur kesehatan sebenarnya, terlebih kalau nggak punya akses ke dalam pihak kesehatan atau rumah sakit.
Kebanyakan pasien dan keluarganya hanya bisa pasrah dan nurut dengan tindakan siapapun itu, yang terlihat memakai seragam putih, meskipun belum tentu dia kompeten atau setidaknya benar-benar bekerja dengan hati dan berhati-hati, karena ini menyangkut nyawa manusia, meskipun lansia.
Nyatanya, hal ekstrim dilakukan oleh si perawat home care tersebut loh, selain double dosis sekali injeksi, akan saya ceritakan di cerita memakai jasa perawat home care part 02 ya.
Sidoarjo, 19 Januari 2023
#KamisSehat
Sumber: pengalaman pribadi
Gambar: dokpri dan Canva edit by Rey
Demikianlah artikel tentang cerita memakai jasa perawat home care di Surabaya, yang jujur bikin deg-degan abis, semoga bermanfaat.
Post a Comment for "Perawat Home Care yang Jasanya Jadi Pilihan Pasien Anti Ribet, Namun... (part 01) "
Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)