Sekolah untuk Mencerdaskan Semua Anak Indonesia
Sekolah, seharusnya untuk mencerdaskan semua anak, bukan hanya sekadar memfasilitasi anak yang udah cerdas. Setidaknya itu menjadi sebuah renungan buat saya.
Nggak tahu ya kalau di sekolah negeri. Dulu waktu kecil, sih nggak terlalu merasakan ada masalah. Maklum saya termasuk anak yang lumayan cerdas, *uhuk.
Tapi, setelah menjadi parents dan menyekolahkan anak-anak sendiri. Saya jadi berpikir, kasian ya anak-anak yang memang biasa aja. Apalagi kalau berasal dari keluarga kurang mampu.
Sudahlah nggak punya kecerdasan khususnya dalam hal intelektual pendidikan. Parents-nya nggak mampu untuk memberikan fasilitas tambahan, kelar deh hidup ya begitu-begitu saja terus.
Tentang Sekolah yang Bagus Karena Memfasilitasi Anak Cerdas
Eyangnya anak-anak kan sakit, sebagai menantu untuk mertua, saya dan juga anak-anak sering mengunjungi beliau, biar semangat sembuh. Di sana ketemulah dengan budhe-budhe anak-anak.
Dan cewek-cewek eh salah, mamak-mamak pada ngumpul, apalagi karakternya hampir sama. Sama-sama introvert, ya udah ngobrol deh ngalor ngidul, semacam menemukan teman seperjuangan kan ye.
Salah satu bahan omongan, off course lah tentang anak-anak, mamak-mamak gitu loh!
Si budhe bercerita, bahwa anaknya masuk kategori siswa atau murid eligible di sekolahnya (sekolah swasta Islam di Surabaya).
Tapi, urutan kedua sih, di mana anaknya dapat privilege masuk ke universitas negeri tanpa test (enak banget ya anak-anak zaman sekarang).
Sayangnya, ada kuota pembatasan, baik universitas, maupun kuota jurusan yang dipilih. Dan anak si budhe ini, harus menunggu giliran. Setelah siswa eligible gelombang pertama memilih dulu, baru deh bisa memilih sisa kuota yang ada.
Apa itu siswa eligible?
Mungkin parents ada yang bertanya-tanya, apaan tuh siswa eligible?
Eligible berasal dari bahasa Inggris yang artinya 'memenuhi syarat'.
Sedangkan siswa eligible adalah siswa yang dinyatakan memenuhi syarat untuk dapat mengikuti SNBP (Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi).
Nah, untuk kuota ini, setiap sekolah punya batasan kuota, berdasarkan akreditasi sekolah. Semakin tinggi akreditasi sekolah, semakin banyak kuota siswa eligible yang berhak mendapatkan privilege tersebut.
Hubungan siswa eligible dengan ambisi sekolah
Lalu apa hubungannya siswa eligible dengan sekolah yang hanya memfasilitasi anak cerdas?. Ya itu tadi, gara-gara anak budhe masuk golongan siswa berprestasi. Ibunya jadi terus menerus didesak sekolah untuk segera memilih kuota yang tersedia.
Sementara, kuota yang diharapkan anaknya, tidak ada alias masih harus menanti sisa pilihan siswa eligible kelompok pertama.
Dan karena itu juga, anaknya jadi malas ribet dan akhirnya menolak privilege nanggung tersebut, hehehe. Ibunya sih terlihat menyayangkan hal tersebut, tapi memang kesemuanya dikembalikan ke anaknya.
Dan mulailah kami membahas tentang sekolah yang terlihat sangat peduli dengan siswanya, setidaknya untuk sekolah swasta ya.
Hal ini sebenarnya sudah terpikirkan sejak si Kakak pertama kali masuk SDI Raudlatul Jannah Sidoarjo, 6 tahun lalu. Kala itu kami juga rada stres mengurusi masalah pendaftaran si Kakak masuk SDI tersebut.
Sudahlah kami masuknya secara indent, langsung bayar pulak, meski dicicil, wakakakak. Maksudnya, pembayarannya jauh hari sebelum pendaftaran umum dibuka, gitu loh.
Ternyata ada test masuk sekolahnya dong. Dan tebak, si Kakak nggak lulus. Dan just it! nggak ada informasi lanjutan dari pihak sekolah.
Saya nganga dong ya. Ini apa-apaan udah bayar lunas, dan si Kakak nggak lulus, pegimana cobak?
Ternyata, si Kakak disuruh ikut test ulang. Tapi sebenarnya udah kayak 'hanya formalitas' sih ya. Justru kepala sekolah atau kepala yayasan ya dulu, lebih banyak ngobrol ke kami, masalah si Kakak nggak lulus.
Bentar, saya mau nyinyir,
"Hayoooo... siapa nih yang bilang, anak-anak jangan diforsir kasih pelajaran dulu sejak dini, masuk SD ada test nya woiiii, calistung, hafalan surat pendek dll, wakakakak!"
Namun setelah mengobrol sama si bapak tersebut, saya jadi mengerti, tujuan sekolah memang bagus. Tapi ada miris-mirisnya juga sih jadinya.
Maksudnya gini, alasan sekolah mengadakan test masuk SDI misalnya, agar menyaring cuman anak-anak yang siap aja yang bisa masuk di sekolah tersebut.
Karena kalau belum siap, kasian anaknya.
Tapi dasar si Rey overthinking ya, di sisi benak saya lainnya, pemikiran itu berbunyi,
"Di sini cuman menerima anak cerdas, yang bodoh dan terbelakang, sono cari sekolah yang biasah ajah!"
Wakakakaka.
It's doesn't means si Kakak bodoh yak, i mean sekolahnya cuman menerima siswa yang sebenarnya udah cerdas.
Lalu muncul di benak saya.
TERUS, KALAU EMANG SISWANYA UDAH CERDAS, APA HEBATNYA SEKOLAH ITU YAK!
I mean, di mana esensi dan makna bahwa pendidikan itu untuk mencerdaskan bangsa, anak-anak bangsa. Pendidikan di sekolah, seharusnya kan membuat anak yang belum tahu, menjadi lebih tau iya nggak?
Bukan anak yang udah tahu, tapi dipoles lagi, terus lebih berprestasi, dan di'branding'kan dengan.
LIAT NIH, SEKOLAH KAMI AHLINYA MENCETAK GENERASI LUAR BIASA!
PRETLAH!
Sekolah Seharusnya Mencerdaskan Semua Anak, Bukan Hanya Memfasilitasi Anak Cerdas
Beberapa waktu lalu, saya sekilas melihat konten. Yang mana konten awalnya sih bermula dari berita ibu Sri Mulyani Indrawati meminta para penerima beasiswa LPDP di Jerman. Untuk segera pulang di Indonesia.
Para penerima beasiswa tersebut memang banyak yang sudah lulus, tapi memutuskan untuk tinggal di Jerman.
Dari situlah netizen berdebat, kalau sebenarnya beasiswa LPDP itu nanggung. Karena kenyataannya semacam memfasilitasi anak orang kaya, untuk bisa sekolah ke Jerman. Lah kan syaratnya banyak, salah satunya harus bisa bahasa Jerman.
Butuh modal untuk kursus kan ye!
Perdebatan makin melebar, setelah seseorang mengatakan, bahwa orang-orang mah hanya bisa mengkritik pemerintah. Mbok ya kalau nggak punya uang buat syaratnya, usaha kek! jangan malas!.
Karuan saja dia diserang netizen lainnya, di mana mereka mengatakan. Bahwa si pembuat konten kayaknya belum pernah tahu apa itu kemiskinan struktural di Indonesia.
Nah menurut saya, salah satu penyebab kemiskinan struktural ini, karena makna dari pendidikan itu, sudah menghilang.
Bayangin aja nih ya, anak-anak yang terlahir di bawah garis kemiskinan. Sudahlah ayah ibunya kurang nutrisi, sejak dalam kandungan juga nggak bisa mendapatkan nutrisi buat otaknya. Layaknya orang kaya lainnya.
Pas lahir, kemampuan berpikirnya ya biasa saja, bahkan mungkin terbilang di bawah standar sekolah. (kita abaikan saja dulu masalah semua anak itu pintar dan unik ya, ini bahasnya lain!).
Karena keterbatasannya tersebut, dia nggak bisa dong bersekolah di sekolah yang punya program terbaik. Masuklah dia di sekolah gratis.
Karena gratis, ya tentu saja kalah jauh sama sekolah-sekolah yang akreditasinya bagus, padahal dibantu oleh anak-anak yang sudah cerdas dari sononya!.
Dan begitulah, udahlah hidup di bawah garis kemiskinan, disekolahkan demi mengubah nasib, tapi karena sekolahnya nggak bisa terlalu memfasilitasi dengan lebih. Jadilah biasa-biasa aja terus.
Sementara di mana-mana digaungkan kurikulum internasional demi persaingan global. Anak yang terlahir dari kalangan ekonomi bawah, cuman bisa berharap dapat viral, biar menghasilkan uang, wakakaka.
Terus netizen protes,
"Ih anak yang juara matematika sedunia nggak viral, anak yang nangis alay malah viral!"
Ya iyalah, anak yang jago matematika itu juga bukan orang biasa, ibunya ya guru. Kalau yang nggak punya privilege di bidang pendidikan, ya mau nggak mau cuman mengandalkan viral aja, apapun kontennya.
What i'm trying to say adalah, menyedihkan sih melihat esensi pendidikan di sekolah sekarang, yang makin ke sini, makin jadi alat untuk memperlebar kesenjangan sosial.
Anak-anak cerdas itu memang patut difasilitasi agar lebih bersinar. Tapi anak-anak yang biasa bahkan masih kurang, seharusnyalah juga diperhitungkan.
Sekolah yang saya tahu, sebagai tempat untuk mencerdaskan anak bangsa, seharusnya lebih merata dan kembali pada maknanya. Membuat anak yang nggak tahu, menjadi tahu.
Bukan semata, membuat anak yang sudah tahu, menjadi lebih tahu.
Dan bukanlah sebuah kebanggaan jika ada sekolah yang bangga dengan nilai akreditasinya terlihat mentereng. Lah mereka mencetak anak yang memang udah cerdas.
Hebatnya di mana cobak?
Sekolah hebat itu, jika bisa membuat anak-anak yang biasa aja, khususnya dalam pendidikan, menjadi luar biasa.
Iya nggak sih?
Kesimpulan dan Penutup
Btw, tulisan ini bukanlah sebuah tulisan ilmiah ya, hanya berisi opini dan pemikiran saya yang takjub dengan kemiskinan struktural. Dan saya rasa salah satu penyebabnya ya, karena pendidikan di sekolah, belum sepenuhnya mampu membuat semua anak jadi cerdas.
Yang sekolah bisa lakukan adalah, menggosok 'berlian', biar sekolah terlihat hebat, dan pemasukan bagi pengelola dll jadi makin lancar *uhuk!.
Dan saya pikir, kita harus berterima kasih dengan aturan zonasi sekolah dasar negeri yang ada. Di mana, saya berharap kuota zonasi ini diperhatikan, agar pendidikan bisa lebih merata.
Apalah gunanya pendidikan di Indonesia jika cuman 2-3 orang yang luar biasa. Sementara 2-3 juta orang lainnya hidup di bawah garis kemiskinan dan kebodohan?
Sidoarjo, 15 Februari 2023
Sumber: opini dan pengalaman pribadi
Gambar: Canva edit by Rey
Demikianlah artikel tentang kondisi pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia, yang seharusnya bisa mencerdaskan semua anak. Bukan hanya anak cerdas saja yang dicerdaskan kembali. Semoga menginspirasi.
Saya benci budaya ranking di sekolah yang bikin ortu menuntut anak untuk kejar ranking tanpa mau tahu proses anaknya sendiri apalagi mengapresiasi anaknya. Kita perlu bangun sekolah yang bagus buat semua orang. Bukan untuk anak yang haus pengakuan.
ReplyDeletehihihihi betul banget, dulu saya juga dituntut jadi juara 1 :D
Delete