Jika Pernikahan Tidak Bahagia dan Tak Ada Pilihan Keluar
"Apa kabarmu wahai wanita, apakah kau bahagia dalam pernikahanmu?"
Tulisan ungkapan seperti ini terbaca di tulisan lama saya pada platform kompasiana dengan judul, "Perempuan, Pernikahan, dan Impian serta Kodratnya"
Artikel yang saya tulis di tahun 2019 itu ternyata pernah dipilih sebagai artikel utama, oleh editor platform tersebut. Dan ketika membaca ulang, saya terharu, kok bisa gitu ya, tulisan lama saya, menghibur hati saya saat ini, hehehe.
Ketika Wanita Tak Punya Pilihan Untuk Keluar Dari Pernikahan Tidak Bahagia
Kalau ada yang membaca atau mendengar pertanyaan maupun pernyataan,
"Jika pernikahan tidak bahagia"
Mungkin banyak orang akan cepat-cepat menjawab atau nyelutuk,
"Ya move on dong! seumur hidup itu terlalu lama!"
Baca juga : Seumur Hidup Itu Terlalu Lama dan Cara Bijak Menyikapinya
Tapi nggak semua orang menyadari, bahwa tidak semua wanita punya pilihan untuk move on. Sebagian d antaranya tak punya pilihan untuk itu, tak ada tempat pulang, sementara anak-anak bergantung padanya.
Anak-anak yang selama ini masih bisa hidup dan bersekolah berkat ayah mereka yang masih mau bertanggung jawab dengan kehidupan mereka.
Mungkin akan banyak juga wanita lain yang mengatakan,
"Anak-anak justru hanya akan tersiksa melihat ibunya yang tak bahagia, karena anak tak butuh ibu yang sempurna, mereka butuh ibu yang bahagia"
Sebagian wanita lain mungkin akan menambahkan,
"Makanya, wanita itu nggak boleh hanya diam menanti uang dari suami, wanita wajib bekerja mencari uang, agar punya value dan dihargai suaminya!"
Sound familier kan ye?
Hampir ada di semua platform medsos, di mana para wanita menyuarakan hal tersebut. Kenyataannya, sejak dulu, sejak sebelum menikah, hingga menikah dan punya anak saya jadi ibu bekerja, Alhamdulillah selalu menghasilkan uang.
Bahkan, ketika akhirnya saya menyerah dengan semua drama ibu bekerja di luar karena anak-anak ternyata jauh lebih butuh saya ketimbang kerjaan saya. Toh sejak saat itu saya juga nggak pernah benar-benar terdiam dan nggak menghasilkan uang juga.
Selalu! saya selalu menghasilkan uang, meskipun untuk hal-hal yang receh, puluhan ribu, ratusan ribu bahkan jutaan.
Tapi kenyataannya, sekuat apapun saya berusaha, emang belum waktunya saya bisa benar-benar mandiri secara finansial. Iya, kalau untuk diri sendiri, insya Allah bisa.
Tapi untuk membiayai anak-anak sendiri, apalagi dua anak sekaligus yang sudah membutuhkan dana pendidikan? dengan tak punya aset sama sekali, tak punya keluarga sama sekali.
Hanya ingin kunyanyikan,
"Tak segampang itu.....!"
Banyak orang mengatakan ini itu, membandingkan dengan wanita yang berani mengambil keputusan bercerai dengan pasangan toksik. Tapi tidak semua wanita mau masuk dan mengetahui kondisi sebenarnya wanita yang bercerai tersebut.
Kenyataannya, tidak semua wanita yang bercerai auto happy, sebagaimana toksiknya hubungannya dengan mantan suaminya. Mungkin ada, tapi hanya satu berbanding ribuan wanita.
Kebanyakan wanita yang bercerai harus melewati masa-masa penuh kelabilan mental terlebih dahulu. Up and down mood menemaninya melewati semua hal-hal yang mungkin berkembang jadi trauma.
Bahkan tidak jarang banyak wanita yang setelah bercerai malah terjebak dengan cinta yang salah (lagi). Hanya karena tidak mampu menjalani masa-masa perjuangan mental kehilangannya yang kelam.
Saya menyaksikan, termasuk mendengarkan beberapa wanita yang memang ketika bercerai semacam kehilangan arah. Bahkan beberapa wanita akhirnya kehilangan pekerjaannya karena semua pergolakan mentalnya akhirnya mempengaruhi kinerjanya ketika bekerja.
Sebagian juga akhirnya berselisih dengan orang tuanya, hanya karena akhirnya si wanita kembali ke rumah ortunya, lalu menjalani hari-hari stres yang bikin ortunya lama-lama eneg juga.
Baca juga : Masalah Single Mom, Bercerai, Tinggal di Rumah Ortu, Lalu Tidak Akur dengan Ortu
Begitulah, seharusnya para wanita yang katanya ingin bahagia itu. Yang katanya seumur hidup itu terlalu lama untuk menunggu kebahagiaan dengan pasangan toksik. Yang katanya anak-anak hanya butuh ibu yang bahagia itu, menimbang baik buruknya, dengan menge-list plus minus bertahan atau bercerai.
Baca juga : Bertahan atau Bercerai? Begini Cara Saya Memutuskannya
Dengan demikian, target bahagia itu akan lebih mudah dicapai. Dan tidak membuat dirinya, terlebih anak-anaknya semakin penuh bekas luka di hati.
Cara Menyikapi Pernikahan Tidak Bahagia dan Tak Ada Pilihan Keluar Ala MamiRey
Lalu bagaimana menyikapinya? masa iya bertahan terus dalam kehidupan yang penuh penderitaan itu? Masa iya membuang waktu seumur hidup untuk akhirnya tak kunjung bahagia?
Jawabannya begini,....
Pertama, kebahagiaan itu bukanlah tujuan tapi hal yang harus kita jalani.
Kedua, tak ada hidup yang bahagia mulu, sedihnya nggak ada. Gimana kita bisa merasakan kebahagiaan, kalau kita tak pernah merasakan kesedihan, gimana cobak bedainnya? ye nggak?
Pada akhirnya, saya belajar menerima kalau semua ini adalah sebuah jalan hidup yang harus dijalani dengan ikhlas.
Baca juga : Bahagia itu, Kita yang Ciptakan
Yup,
Satu, belajar menerima.
Dua, belajar ikhlas.
Toh juga Alhamdulillahnya nih, pernikahan tidak bahagia dalam hidup saya, bukanlah diakibatkan oleh sesuatu yang ekstrim dan dzalim terhadap diri sendiri. Misal, punya suami yang sering bertindak kasar seperti menganiaya ketika marah. Juga bukan karena suami doyan judi atau mabuk-mabukan.
Doyan selingkuh juga nggak yang iya-iya banget (soalnya saya nggak tahu kelakuannya sekarang di luar, dan saya malas tahu, hahaha).
Masalahnya cuman (eh apa? cuman?), eh maksudnya masalahnya berat tapi masih bisa dijalani tanpa bikin mati segera, *eh, hahaha.
Yaitu masalah sejuta pasangan suami istri, kesalahan komunikasi yang tepat. Ditambah pola pikir yang makin hari makin berbeda.
Memang sih nggak ringan juga, masalah beda pola pikir ini akhirnya berkembang jadi beda prinsip, which is itu jadi masalah besar bagi pasangan suami istri.
Tapi, karena memang nggak ada eh maksudnya, belum ada pilihan lain selain menjalani, ya mau nggak mau hanya ada pilihan bertahan dan bahagia.
Bagaimana caranya bahagia dalam pernikahan yang toksik? ya dengan menerima dan kompromi. Itu ala saya ya, nggak mutlak dijadikan hal yang benar dan wajib bagi semua wanita.
Secara detail, mungkin begini:
1. Niatkan untuk kebaikan
Semua hal di dunia ini memang akan lebih baik jika dimulai dengan sebuah niat. Bahkan sebagai muslim misalnya, shalat kita hanya bisa diterima kalau ada niat yang jelas sebelum shalat dimulai.
Nah, demikian juga dengan saya yang memulai hidup dalam 'bertahan pada pernikahan tidak bahagia'.
Dalam bertahan, saya niatkan untuk kebaikan, ngomong ke Allah bahwa saya bertahan demi anak-anak, saya bertahan karena ingin anak-anak terus sekolah dengan baik. Saya bertahan, untuk kebaikan menjaga hubungan yang dulunya sudah diikrarkan di depan Allah.
Dengan demikian, saya punya tujuan dalam menjalani kehidupan tersebut.
Baca juga : Mengapa Wanita Memilih Bertahan Meski Pernikahannya Tidak Bahagia
2. Bergantung pada Allah, yakin akan selalu diberi jalan keluar dari semua masalah
Karena sudah berniat baik, dan niatnya insya Allah ke Tuhan, dan niatnya untuk kebaikan, berikutnya saya yakin, Allah akan selalu membantu dan memberikan jalan keluar terbaik.
Dan kenyataannya emang seperti itu. Sesulit apapun permasalahan yang berulang kali terjadi dan bikin saya kecewa, sakit hati, bahkan marah. Pada akhirnya ada jalan keluar yang kemudian bikin hati saya tenang, dan masalah yang saya hadapi teratasi meski tanpa kehadiran pasangan.
Dan yang lebih penting adalah, hati saya akhirnya bisa tenang. Bukankah itu yang paling utama?
3. Belajar manajemen emosi dan mental
Ini yang paling berat ya sebenarnya, tapi pada akhirnya bisa kok, karena diusahakan dan terbiasa. Dengan dibantu keyakinan akan poin 1 dan 2 di atas.
Pelan-pelan saya belajar manajemen emosi dan mental saya. Belajar mengarahkan emosi negatif ke hal-hal lain yang bisa menjadi hal positif, menulis misalnya.
Dan lama-lama sudah menjadi sebuah kebiasaan yang work ke saya. Di mana ketika hati saya merasa sedang tak baik-baik saja, maka saya akan menulis tentang perasaan hati ke blog atau platform medsos lainnya.
Dan Alhamdulillah itu berhasil menenangkan sih, karena semacam saya punya teman ngobrol yang bisa mendengarkan dengan seksama tanpa tapi.
4. Belajar memahami bahwa bahagia itu saya yang ciptakan dan bertanggung jawab
Yang paling penting juga adalah, ketika saya merasa berada di 'pernikahan tidak bahagia', seketika hati dan pikiran menampik,
"Bukankah orang yang paling bertanggung jawab pada kebahagiaan saya, adalah diri saya sendiri?"
Lama-lama jadi kebiasaan, ketika saya merasa tidak bahagia, maka saya tidak perlu ngenes menanti orang lain untuk membuat saya bahagia. Tapi saya langsung mencari sendiri bagaimana agar saya kembali bahagia.
Dan trust me, itu jauuuhhh lebih mudah, karena toh yang mengendalikan diri kita kan, ya diri kita sendiri.
Baca juga : Istri Bahagia, Rezeki Suami Lancar, Begini Maksudnya
5. Fokus ke diri sendiri dan anak
Cara termudah untuk stay happy, karena bahagia itu tanggung jawab kita sendiri adalah jangan nambah masalah! hahaha.
Selama puluhan tahun saya hidup di dunia, Alhamdulillah di usia senior ini, saya udah berhasil untuk fokus ke keluarga kecil saja. Jadi, mau ada masalah orang lain begini kek, mau begitu kek.
Mau tetangga begini kek, mau si Anu begitu kek, mau teman baik katanya memanfaatkan kebaikan saya aja kek.
Jujur saya udah nggak terlalu mempedulikan hal itu, alias hal-hal demikian udah nggak pernah bikin hati saya susah lagi.
Nah, hal ini juga saya adaptasi dengan mengatasi masalah dengan pasangan yang saya anggap toksik. Cara termudah ya dengan tidak perlu terlalu memasukan pasangan ke hati kita. Cukup fokus ke diri sendiri dan anak-anak.
Lah, untuk apa punya pasangan, kalau pasangan nggak berarti di hati kita, Rey?
Tentu saja berarti, tapi nggak perlu terlalu dibikin baper. Ya karena hidup sudah sulit, nggak perlu nambahin dengan ekspektasi kita ke orang lain, meski itu adalah pasangan hidup.
Tapi bukankah itu tidak sehat, Rey?
Mungkin, tapi insya Allah ketenangan akan menyelimuti hati kita, dan ketika hati tenang, hal-hal lain yang baik tuh, bisa dengan baik kita lakukan.
Misal, belajar respek dengan pasangan, meski mungkin pasangan tidak seperti yang kita harapkan. Belajar memaklumi dan menyadari bahwa pasangan juga manusia biasa.
Ya semua itu demi ketenangan hati sih ya.
Dan bukankah anak-anak hanya butuh ibu yang bahagia?. Dan kebahagiaan sejatinya bermula dari hati yang tenang.
Baca juga : Bukan Ibu Bahagia, Ini yang Paling Anak Butuhkan
Kesimpulan dan Penutup
Saat ini, ada banyaaaakkk banget pernikahan yang masih terjalin, meski isinya adalah pasangan suami istri yang tidak merasa bahagia. Namun, tidak semua orang, khususnya wanita punya pilihan untuk bisa keluar dari hubungan itu.
Lalu, apakah harus terus bertahan dan menderita?
Bertahan adalah pilihan saya, tapi menderita tentu saja bukan pilihan dan sama sekali tak pernah jadi pilihan saya.
Cara menyikapinya seperti yang saya tulis di atas.
Surabaya, 08 September 2023
Sumber: opini dan pengalaman pribadi
Gambar: Canva edit by Rey
Demikian artikel tentang opini saya untuk masalah pernikahan tidak bahagia namun tak punya pilihan lain selain menjalani, semoga menginspirasi.
Mbak, coba ke psikolog atau konselor pernikahan berdua sama suaminya. Semoga ada jalan terang untuk pernikahan kalian menjadi lebih baik
ReplyDeleteHarusnya gitu ya, tapi sayangnya yang bisa diajak ke konselor itu, cuman lelaki yang open minded :D
Delete