Ibu yang Kompetitif, Begini Kondisi Mentalnya dan Penyebabnya
Ibu yang kompetitif dalam memperlakukan anaknya memang kadang bikin gemas ya, gemas untuk dihujat. Tapi, memahami kondisi mentalnya juga wajib kita lakukan.
Khususnya bagi kita yang juga seorang ibu, atau yang bukan ibu juga sih. Hal ini penting karena kadang reaksi orang lain jadi sangat berlebihan, khususnya ketika melihat sikap seorang ibu yang terlihat kurang baik terhadap anaknya.
Dan pemikiran ini muncul, ketika saya menonton sebuah serial lawas di Disney Hotstar berjudul, 'Desperate housewives', tentang sosok seorang Gabrielle Solis.
Ada yang pernah nonton serial ini?. Saya sih sudah berulang kali, saking suka banget sama ceritanya. Diulang-ulang juga karena suka banget percakapan bahasa Inggrisnya yang mudah dimengerti, serta jadi mengenang kehidupan di era tahun 2000an silam, hehehe.
Dari beberapa karakter pemain drama serial Amerika ini, adalah sosok Gabrielle Solis atau yang biasa dipanggil Gaby dan diperankan secara apik oleh Eva Longoria.
Dia adalah seorang ibu rumah tangga dengan 2 anak perempuan yang cantik dan aktif. Sosok wanita yang suka tampil sesuai apa yang ada di pikirannya. Terkesan blak-blakan, tapi punya hati yang hangat dan baik terhadap orang lain, khususnya para tetangganya.
Sebelum jadi seorang ibu rumah tangga, dia adalah mantan model yang sangat sukses di Amerika. Bahkan sebelumnya wajahnya selalu menghiasi cover berbagai majalah terkenal.
Perjalanan hidupnya membawanya bertemu dengan seorang Carlos Solis, seorang pengusaha sukses yang selalu membanjirinya dengan hadiah-hadiah mahal seperti kesukaannya.
Setelah menikah, dia tidak serta merta mau punya anak, bahkan menentang keinginan suaminya, sampai akhirnya sedikit demi sedikit membuka hatinya karena melihat cinta suaminya.
Mulai dari setuju mencari anak adopsi yang berakhir gagal karena pemilik bayi tersebut mengambil kembali bayinya.
Lalu Gaby dan Carlos mencoba ikhtiar surrogate mother yaitu meminjam rahim wanita lain untuk mengandung dan melahirkan 'bibit' keduanya. Kenyataannya berakhir dengan kesalahan klinik yang salah menanamkan bibit keduanya dengan orang lain.
Bertahun kemudian, di tengah kehidupan mereka yang diuji masalah ekonomi karena Carlos yang kehilangan penglihatannya. Tuhan lalu memberikan mereka 2 orang putri yang cantik-cantik.
Dan perjuangannya melewati hari-hari sebagai ibupun dimulai.
Dengan karakternya yang memang selalu ingin tampil yang lebih baik, pernah merasakan kesuksesan di masa lalu, membuatnya jadi ibu yang kompetitif untuk anaknya.
Tentang Ibu yang Kompetitif Dalam Memperlakukan Anaknya
Dalam keseharian, rasanya ada begitu banyak ibu yang terlihat sangat ambisius dan kompetitif dalam memperlakukan anak-anaknya.
Sejak bayi, anaknya harus lebih cepat dalam tumbuh kembangnya. Banyak ibu yang senang banget kalau anaknya bisa lebih cepat tengkurap, cepat merangkak, apalagi cepat jalan.
Anak lebih cepat berbicara, dan semacamnya juga menjadi sebuah ambisius dari ibu-ibu yang selalu kompetitif.
Ketika anaknya masuk usia sekolah, sikap kompetitif ibu ini semakin terlihat. Anaknya harus lebih pintar, dan juara kelas atau juara apa saja kegiatan yang diikuti anak itu, adalah sebuah hal yang wajib.
Saya sering banget melihat ibu-ibu seperti ini, bahkan melihat dari lebih dekat, karena beberapa ibu tersebut masih ada hubungan keluarga atau teman dengan saya.
Tak hanya tinggal diam dan mengharuskan anaknya untuk selalu juara dan terdepan, sang ibu rela melakukan apapun demi anaknya bisa juara. Sebagai bayaran atas dirinya, tak jarang ibu begini selalu pamer nilai raport anaknya.
Mulai dari mewajibkan anak ikut les ini itu, hingga sang ibu sendiri yang turun tangan mengajari anaknya yang biasa dengan lebih tegas dari ibu lainnya.
Tidak heran, jika anak-anak dari ibu yang punya sikap dan karakter kompetitif ini selalu jadi juara untuk satu hingga beberapa hal.
Di beberapa ibu dengan tingkat kompetitif yang lebih, bahkan rela berbohong untuk memamerkan anaknya terlihat hebat di mata siapapun.
Ya kayak si Gaby Solis di atas, yang rela melakukan apapun demi anaknya jadi juara dan terdepan di bidang apa saja.
Di sisi lain, sebenarnya ada hal positif yang terbentuk pada anak yang memiliki ibu yang kompetitif ini. Salah satunya, anak juga jadi lebih kompetitif dan selalu bersemangat melakukan yang terbaik.
Meskipun tentunya sisi buruknya juga ada, salah satunya bisa bikin anak stres, dan dalam jangka panjang bisa bikin anak jadi malas dan cepat bosan.
Kayak si Mami Rey ini, yang sejak SD dipaksa oleh Bapak untuk selalu jadi juara 1. Kalau nggak juara, dijamin betis bakalan biru-biru kena sabetan rotan oleh Bapak, hiks.
Semua Ibu Punya Alasan Menjadi Ibu yang Kompetitif
Meski menjadi seorang ibu yang kompetitif selalu punya efek yang buruk untuk anak maupun ibunya, tapi sesungguhnya semua ibu yang demikian selalu punya alasan hingga kondisi mental tertentu.
Gaby Solis misalnya, di satu adegan dia mengatakan,
"Aku tidak punya karir lagi seperti kalian, saat ini karir saya adalah menjadi seorang ibu, sehingga anak-anak yang tumbuh baik dan hebat itu termasuk dalam pencapaian saya!"
Gaby juga mengatakan, semua teman tetangganya punya karir yang cemerlang hingga saat itu. Ada Lynette Scavo yang masih bisa jadi wanita karir dan berprestasi meski sudah berusia di atas 50an.
Ada Bree Van de Kamp yang bahkan bisa membangun perusahaannya sendiri sesuai passion-nya, dan bisa sukses.
Juga Susan Mayer yang menjadi guru di sebuah sekolah bergengsi.
Sementara Gaby, yang sebelumnya bisa dibilang wanita paling sukses dan cantik serta kaya. Akhirnya menjadi ibu rumah tangga, dengan pencapaian yang dibanggakan ya anaknya.
Dalam dunia nyata, saya juga mendengarkan curhat ibu-ibu yang kompetitif seperti ini. Salah satunya seorang adik ipar saya, yang punya satu anak, dan sebelumnya dia adalah mantan wanita karir.
Seiring waktu pandemi menyerang, perusahaan banyak merumahkan pegawainya, menjadikan dia sebagai seorang ibu rumah tangga, yang bergantung semata kepada penghasilan suaminya.
"Aku sekarang di rumah aja Mbak, nggak bisa lagi cari uang, nggak ada pemasukan. Kalau anak juga nggak bisa lebih baik, bagaimana aku bisa bertanggung jawab ke suamiku?"
Padahal, kalau dilihat-lihat, suaminya tidak pernah menuntutnya macam-macam. Tapi dia sendiri yang punya pikiran seperti itu.
Mungkin karena kisahnya sedikit banyak sama kayak Gaby Solis kali ya, di mana sebelumnya dia pernah merasakan jadi wanita yang berpenghasilan. Lalu tiba-tiba menjadi ibu rumah tangga yang nggak punya gaji lagi, rasanya ada hal yang kurang dan bikin insecure di hatinya.
Karakter kompetitif si Adik ipar ini memang tidak separah Gaby ya, dia hanya terlalu serius menyikapi anak sekolah. Jadi begitu ketat mengajari anaknya agar bisa lebih pintar dan hebat dari teman-temannya.
Meskipun ada hal lain yang kadang saya kasian melihatnya, di mana dia akan merasa sangat tertekan, kalau nilai teman anaknya lebih tinggi dari anaknya.
Pertanyaan-pertanyaan riuh memenuhi kepalanya,
"Anaknya si itu kok bisa sih, anakku kok nggak bisa sih?"
Hampir serupa juga, adik ipar saya lainnya pun demikian. Obsesi untuk mempunyai anak yang harus lebih baik dalam banyak hal selalu memenuhi kepalanya.
Meskipun salah satu usahanya adalah, dengan memberikan les atau tambahan pelajaran dari guru privat lainnya. Tak masalah pengeluaran nambah, asalkan anaknya bisa jadi lebih baik, akan dilakukan.
Mungkin di mata beberapa orang awam, akan menghakimi mereka sebagai ibu yang kompetitif dan nggak mau kalah. Lalu akan dibanjiri dengan kata-kata negatif,
"Hati-hati loh, anak bisa stres karena diforsir belajar terus!"
"Awas loh, anak bisa gitu, bisa gini!"
Tapi, kalau kita mau mendengarkan tanpa menghakimi, kita bisa tahu apa alasan mereka bisa jadi ibu yang mengutamakan hal kompetitif terhadap anaknya.
Dan menyadari, seperti apa kondisi mental mereka, sehingga percaya saja, mereka punya cara mengatasi depresi masing-masing.
Pendapat dan Pengalaman Saya terhadap Ibu yang Kompetitif
Nggak lengkap rasanya, kalau hanya menceritakan pengalaman dari cerita orang, tanpa merasakan sendiri.
Sebagai seorang ibu, bohong banget kalau saya mengatakan nggak peduli dengan anak-anak yang berprestasi.
Pengennya sih anak bisa kayak mami papinya ketika sekolah dulu, bisa jadi juara kelas. Bisa selalu punya nilai yang bagus. Bisa melakukan hal-hal tambahan tanpa membebani orang tua lagi.
Dan bohong banget, kalau saya nggak iri melihat teman-teman anak saya yang punya prestasi, baik dalam pelajaran di sekolah, maupun untuk hal di luar sekolah.
Namun, saya memaksa diri untuk kembali ke masa lalu, mengajak inner child untuk melihat kondisi saya di masa kecil.
Iya sih, saya dulu tuh sering juara kelas, bisa ngaji karena rajin belajar ngaji di rumah tetangga, meskipun harus sembunyi-sembunyi karena Bapak melarang kami keluar rumah selain ke sekolah.
Tapi jujur, saya lelah banget mengingat kondisi tersebut. Karena sejatinya saya jadi juara kelas karena dipaksa Bapak, di mana penuh ancaman, kalau nggak dapat juara 1 ya bakal nggak dibolehin sekolah plus dipukul betisnya sampai biru-biru.
Karena ancaman itulah, saya memaksa diri untuk selalu punya prestasi dan hebat di sekolah. Yang ternyata dampaknya bikin saya alergi banget sama yang namanya sekolah dan belajar di masa sekarang.
Masih teringat jelas, betapa bahagianya saya setelah lulus sidang skripsi, karena itu berarti bebaslah saya dari kegiatan belajar yang begitu membosankan.
Sampai-sampai ketika mama menawarkan untuk lanjut S2, saya ogah. Meskipun sekarang kalau ingat sih, saya jadi sedikit menyesal, hahaha.
Mungkin karena itulah, saya jadi ibu yang tidak terlalu mempermasalahkan anak berprestasi atau tidak. Meskipun tetap mendorongnya untuk rajin belajar dan semacamnya, tapi kalau nggak jadi juara juga ya udah, nggak masalah buat saya.
Namun, bukan berarti saya nggak punya harapan dan target apapun yang 'dipaksakan' kepada anak-anak ya. Ada dong, di antaranya saya terobsesi banget untuk punya anak yang mencintai Allah dan Rasulnya serta anak yang mandiri.
Karenanya, saya mungkin akan mengatakan,
"Nggak apa-apa, Nak. Nanti usaha lagi pas ujian berikutnya"
Ketika anak dengan takut-takut meminta maaf karena nilainya nggak terlalu bagus, atau karena nggak bisa jadi juara kayak teman-temannya.
Tapi akan sangat galak kalau anak-anak, khususnya yang kakak, masih juga harus diingatkan tentang shalat dan wudhu yang khusyu' di usianya menjelang 13 tahun sekarang.
Demikian juga, saya kadang terbawa kesal dan memberikan hukuman menghafal Alquran lebih banyak, ketika si Kakak hanya menunggu saya suruh untuk rajin mengaji atau menghafal Alquran setiap malamnya.
Demikian juga, saya juga akan selalu galak, kalau anak-anak masih belum mandiri, termasuk hal-hal yang mungkin bukan tugas utama mereka. Seperti, wajib cuci piring sendiri setiap selesai makan atau memakai piring atau semacamnya.
Punya tugas di rumah seperti menyapu, mengepel, membuang sampah dan lainnya.
Karena punya anak yang mandiri, buat saya itu penting. Karena saya nggak mungkin bisa sepanjang hidupnya mendampingi dan melayani anak-anak terus kan.
Lagi pula, buat saya, anak adalah investasi akhirat, dan saya bahagia dengan itu.
Iya, anak adalah achievement buat saya!
Kesimpulan dan Penutup
Ibu yang kompetitif, yang ingin anaknya selalu nomor satu dalam hal apapun, sering kita lihat di mana-mana, khususnya di sekolah.
Tapi, alih-alih menghakimi ibu seperti itu dengan berbagai penghakiman dan ancaman. Akan lebih baik jika kita bisa mengerti kondisi mental dan penyebab dari ibu-ibu yang menjadi seseorang yang kompetitif, sehingga memaksa anaknya untuk selalu nomor satu dalam hal apapun.
Karena semua ibu ingin hidup anaknya jadi lebih baik, sayangnya karena kondisi mentalnya yang berbeda, membuat banyak ibu yang salah memaknai kehidupan anak-anaknya, dan terpaksa memaksa anaknya ikut berkompetitif dengan keras.
Surabaya, 11 Oktober 2023
Sumber:
- Serial Desperate Wousewives
- Pengalaman dan opini pribadi
Gambar: Canva edit by Rey dan Google
Demikian artikel tentang penyebab dan kondisi mental ibu yang kompetitif, semoga menginspirasi.
Post a Comment for "Ibu yang Kompetitif, Begini Kondisi Mentalnya dan Penyebabnya"
Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)