Menjadi Ibu Rumah Tangga Tidak Selalu Karena Punya Pilihan
"Kamu mah enak, bisa memilih jadi IRT, nggak kayak aku, nggak bisa resign karena punya tanggungan!"
Demikian komentar yang saya baca di sebuah postingan media sosial, yang memuat konten tentang derita ibu bekerja.
Saya membaca beberapa komentar di antara ratusan komentar yang mampir ke postingan itu, kesemuanya adalah 'comment war' antara ibu bekerja dan ibu rumah tangga.
Biasa ya, mamak-mamak, nggak pernah bosan memperdebatkan hal-hal yang sebenarnya nggak guna itu, dan nggak akan pernah ada ujungnya.
Masalah ibu bekerja versi ibu rumah tangga, emang sejak dulu jadi salah satu hal menarik untuk diperdebatkan ibu-ibu. Sama dengan masalah ASI vs sufor, MPASI homemade dan instan.
Saya pengen meng-heran kepada para ibu yang kurang kerjaan memperdebatkan hal itu. Sampai akhirnya saya sadar, ngapain juga ikutan? hahaha.
Sebaiknya saya diam aja, tapi menarik juga untuk dibahas di blog ini, setidaknya mungkin bisa menjadi sebuah inspirasi bagi ibu lain yang membutuhkan kan ye?
Mental Ibu yang Sering Merasa Jadi Paling Ngenes
Kebanyakan ibu-ibu itu, termasuk saya sih, kadang-kadang, hahaha, agak aneh. Biasanya, nggak terima kalau diremehkan, tapi kalau dipuji juga nggak mau langsung terima.
Mental menjadi orang yang paling ngenes juga seakan menjadi sebuah hal yang paling dikejar.
Kayak komen di awal tulisan ini, di mana si ibu merasa kalau dia sebagai ibu bekerja tidak seberuntung para IRT yang dulunya seorang ibu pekerja, tapi akhirnya resign dan jadi IRT.
Menurut mereka, dengan terpaksa mereka harus tetap bekerja, meninggalkan anak, karena memang butuh uang untuk kehidupannya.
Mereka nggak bisa kayak wanita lain yang memilih jadi IRT, karena ada suami yang menanggung semua kebutuhan hidup.
Sementara mereka, nggak bisa kayak gitu, mereka nggak bisa mengandalkan pemasukan keuangan hanya dari suami saja. Apalagi mereka juga memikirkan hal tentang berjaga-jaga. Hari esok siapa yang tahu kan? Entah terjadi sesuatu kepada suami, kan kalau mereka bekerja, masih bisa punya kekuatan untuk menjalani hidup.
Meski kalau dibaca alasan yang dikatakannya sebagai hal yang ngenes itu, kok rasanya jauh dari kata ngenes ya.
Tapi, maksud mereka menulis seperti itu, untuk menunjukan betapa ngenesnya mereka, karena nggak bisa memilih seperti orang lain yang bebas resign dan jadi IRT.
Entahlah, mungkin itu hanyalah sebuah kiasan semata, tapi itulah yang terjadi, para ibu senang banget berlomba-lomba merasa paling ngenes, dengan perkataan sejenis,
"Kamu mah enak!, nggak kayak aku, bla...bla...bla...!"
Katanya, Ibu yang Memilih Jadi IRT Karena Beruntung Nggak Punya Tanggungan
Setelah puas membuat diri mereka ngenes dalam versi ibu bekerja ya. Para kaum tersebut mulai menyimpulkan kehidupan para mantan ibu bekerja yang sekarang jadi IRT, yang menurutnya beruntung.
Menurut mereka, para ibu bekerja yang bisa resign tanpa mikir itu beruntung, karena nggak punya tanggungan kayak mereka.
Di mana, menurut penilaian ibu bekerja, para ibu yang memilih jadi ibu rumah tangga itu, karena ekonomi keluarganya sudah terjamin, dan mereka bukan generasi sandwich.
Karenanya, meski memilih tidak menerima gaji bulanan kayak sebelumnya, memilih di rumah saja mengasuh dan mengurus anak-anak dengan baik. Kehidupan akan tetap berjalan dengan baik.
Ekonomi keluarga tidak tergoncang, dan tidak ada orang tua maupun keluarga yang terlantar karena nggak dikirimin duit lagi dari anaknya.
Bukankah itu beruntung, bisa dekat dengan anaknya setiap hari tanpa bingung meskipun nggak bakal ada gajian bulanan lagi.
Nggak perlu bingung ketika anak sakit sementara harus berangkat ngantor karena nggak mungkin izin terus meski alasannya anak sakit.
Juga tak perlu stres, jika anak terpaksa dijaga eyangnya, lalu dibiasakan pola asuh yang sangat bertolak belakang dengan pengasuhan yang kita adopsi.
Intinya, di mata para ibu bekerja, betapa beruntungnya para IRT tersebut.
Kenyataannya? Hmmmm.... sepertinya mereka nggak menyadari satu hal, bahwa tidak semua ibu bekerja lalu akhirnya menjadi IRT, hanya karena bisa memilih.
Menjadi Ibu Rumah Tangga Tidak Selalu Karena Punya Pilihan
Tanpa bermaksud mendebat para ibu bekerja yang menganggap diri mereka ngenes karena nggak punya pilihan. Saya jadi ingin berbagi pengalaman diri dari yang dulunya sebagai ibu pekerja kantoran, berubah jadi ibu rumah tangga.
Apakah karena saya punya pilihan, seperti yang dipikirkan para ibu bekerja tersebut?
Jawabannya adalah tentu tidak!
Justru, saya menjadi IRT lantaran karena nggak punya pilihan!
Bagaimana bisa ada yang menganggap, para ibu yang memutuskan di rumah saja itu karena mereka bisa memilih, karena mereka nggak punya tanggungan?
Kenyataannya, saya dan mungkin beberapa ibu lainnya yang sekarang jadi IRT, berani resign tanpa mikir, karena nggak ada pilihan.
Justru kalau punya pilihan mah, banyak IRT yang menolak jadi IRT. Mereka akan selalu tetap bekerja kantoran, biar tetap punya gaji.
Dan terlebih, mau berapapun gaji ibu bekerja, kedudukannya di mata masyarakat jauh lebih hebat. Masyarakat, termasuk keluarga suami atau ipar-ipar dan mertuanya, juga akan lebih menghargai jika si wanita bekerja dan punya gaji.
Sayangnya, saya dan beberapa ibu seperti saya, tak punya pilihan lain, selain berani resign.
Alasan terbesarnya ya, karena anak.
Para IRT justru tak punya pilihan mendapatkan ART atau nanny yang baik, untuk dipercaya menjaga anak-anaknya.
Dan seringnya hal tersebut meluluh lantakan ketergantungan keluarga lain kepada dirinya.
Saya misalnya, menjadi IRT, bukan karena ortu saya nggak butuh bantuan dari anaknya ini. Tentu saja butuh, banget malah. Tapi saya memang tak punya pilihan lain untuk bisa bekerja di luar rumah.
Jadi mau nggak mau saya harus memilih anak-anak, dan 'mengabaikan' keluarga atau ortu. Kenyataannya, rezeki ortu saya memang bukan ditanggung oleh saya, tapi oleh Allah, jadinya kehidupan masih terus berjalan.
Kenyataannya, gaji dari suami juga memang belum mencukupi, apalagi suami tak punya pekerjaan tetap kayak orang lainnya.
Tapi apa mau dikata, emang nggak ada pilihan lain, selain menjadi ibu rumah tangga, karena sudah dicoba juga opsi menjadi ibu pekerja dengan menitipkan anak ke mertua, ke daycare atau semacamnya juga udah. Dan berakhir nggak baik.
Jadi, kata siapa semua ibu pekerja yang memilih jadi IRT itu beruntung karena bisa memilih?. Nggak semuanya ya, kebanyakan sih justru jadi IRT karena emang nggak ada pilihan.
Tapi, apapun itu, sebagai apapun kita, para ibu sekarang. Menjadi seorang ibu pekerja kantoran yang sering sedih ketika meninggalkan anak terlebih kalau anak sakit.
Atau menjadi ibu rumah tangga yang sering sedih ketika keluarga butuh, jadi nggak punya kebebasan seperti sebelumnya dalam membantu mereka.
Saya rasa, kita semua para ibu adalah luar biasa.
Kita, adalah ibu yang terbaik bagi anak-anak kita. Dan tetap menjadi ibu yang luar biasa buat mereka.
Jadi, alih-alih saling berdebat antara ibu bekerja dan ibu rumah tangga, mengapa tidak kita sibukan diri dengan saling menyemangati?
Iya nggak?
Surabaya, 29 Februari 2024
Sumber: opini dan pengalaman pribadi
Gambar: Canva edit by Rey
Aku jadi IRT karena emang gak tega ninggal.anak (ada inner child juga tentang ditinggal pas my mom dulu berangkat kerja). Lagian Saladin bener2 gak bisa dihandle orang lain soalnya dia kan aktif banget heheheh.
ReplyDeleteNah iyaaa, diriku juga keknya, karena waktu kecil, mama sibuk kerja, sering banget kelaparan sepulang sekolah
Delete