Dear Mom, Jangan Kontenin Kesalahan Ibu Lainnya!
Coba bayangkan.
Kau adalah seorang ibu yang harus mengurus anak-anak seorang diri tanpa bantuan suster/nanny ataupun keluarga lainnya.
Tanpa ART, suami sibuk mencari nafkah yang mungkin juga belum cukup memenuhi semua kebutuhan. Lalu, selain mengurus anak, rumah, kau juga terpaksa harus ikut mencari uang sambil disela-sela kesibukan mengurus semuanya.
Anak-anakmu, sedang dalam masa aktif-aktifnya, banyak tingkah, dan seperti biasa para adik kakak dengan usia yang tidak berjauhan. Kelakuan anak-anak ya, sebentar berantem, sebentar baikan, sebentar ada yang nangis dan lainnya.
Kau begitu lelah, tapi tidak bisa langsung istrahat karena pekerjaanmu. Ditambah masalah yang berat, overthinking berkecamuk di kepala.
Namun, anak-anak tak bisa mengerti perasaan dan kondisi ibunya. Seperti yang sering kita lihat, anak-anak tetaplah anak-anak. Mereka bagaikan mahluk kecil tanpa dosa, yang belum bisa benar-benar mengerti dengan kehidupan.
Lalu, suatu saat kau benar-benar lagi sangat lelah, anak-anak tetap seperti biasanya, aktif tanpa kenal waktu dan tempat. Berantem tanpa kenal waktu dan tempat.
Kau tak tahan lagi, sehingga akhirnya memarahin anak-anak di sebuah lift, memberikan kata-kata yang buruk, meski semuanya terjadi tanpa disengaja. Dan kebetulan saat itu ada orang lain di situ.
Lalu setelahnya kau merasa sedih dan bersalah banget oleh tindakanmu itu, sedih karena lepas kendali dan memarahi anak-anak. Juga sedih karena marahnya di depan orang lain.
Kau lalu meminta maaf dan memeluk anak-anakmu, dan seperti biasa, anak-anak tetaplah anak-anak, mereka memaafkanmu, bahkan seolah tak pernah terjadi sesuatupun.
Meski tanpa mereka sadari kau tetap tak bisa dengan mudah melupakan perasaan bersalahmu. Juga tak tahu harus menyalahkan siapa, ujung-ujungnya menyalahkan diri sendiri.
Sementara itu, hidup akan terus berjalan, tak peduli dengan masalah hatimu. Memaksamu untuk secepatnya berdamai dengan apa yang telah terjadi. Sekuat tenaga berjanji dan berdoa agar tak lagi mengulangi kesalahan yang memang sering terjadi.
Ketika malam tiba, iseng me-refresh lelah dengan scrol media sosial, lalu tiba-tiba pandanganmu tertuju pada sebuah postingan yang menceritakan kejadian di lift siang tadi.
"Tadi di lift aku ketemu ibu-ibu yang marahin anaknya dengan kasar. Dari ibu itu aku belajar, bahwa apa yang aku katakan ke anak, harus difilter. Karena bisa jadi ucapan tersebut, terekam di memori anak hingga 30 tahun mendatang!"
Pertanyaannya,
"Gimana, perasaanmu setelah melihat konten tersebut?"
******************
Oke, kejadian di atas bukan terjadi di diri saya ya.
Saya cuman menceritakan kembali dalam versi diri, untuk menggambarkan kemungkinan kondisi para ibu yang memarahin anaknya dengan lepas kendali hingga berkata buruk dan di depan orang lain.
Dan tulisan ini beranjak dari sebuah konten yang saya komentari di media sosial, instagram. Di mana ada konten dari seorang ibu muda, menceritakan sebuah cerita ibu-ibu yang memarahi anaknya dengan kata-kata buruk.
Menurutnya, dari ibu tersebut, dia belajar, bahwa memarahin anak jangan keterlaluan. Jangan sampai anak trauma hingga dewasa.
Dan gara-gara postingan tersebut, tumben-tumbennya saya jadi berdebat di kolom kontentar akun tersebut. Padahal ya, cuekin aja napa?. Bukannya biasanya juga begitu?. Mudah cuek?.
Entahlah, mungkin karena saya juga seorang ibu.Atau mungkin karena saya muak dengan semua kenyataan bahwa para ibu di medsos, berlomba-lomba memamerkan betapa hebatnya mereka.
Intinya saya berkomentar, bahwa betapa sedihnya liat konten seperti itu, di mana seolah semua kebaikan ibu dalam sepanjang kehidupan anaknya, jadi tak berarti, hanya karena peristiwa beberapa detik tersebut.
Saya membayangkan, jika ibu yang dia maksud itu benar-benar melihat konten tersebut, apakah si ibu nggak sakit hati? atau bahkan merasa sangat tidak berguna karena selalu gagal menjadi ibu yang baik?.
Maksud saya gini, tak bisakah kita menjaga perasaan sesama ibu, karena kita tahu betapa menjadi ibu itu sangat tidak mudah. Karenanya, selalu jaga maklum hatimu terhadap apa yang dilihat di depan mata. Kecuali memang terlihat membahayakan dirinya dan anaknya.
Itupun, menurut saya, sangat tidak bijak kita menegur ibu lain yang terlihat buruk di mata kita, dengan cara yang frontal, termasuk membicarakannya di belakangnya (termasuk dijadikan konten).
Coba deh taruh posisi kita di posisi ibu tersebut, saya yakin belum tentu kita bisa menjadi ibu yang baik seperti bayangan kita, dibandingkan dengan ibu tersebut.
Salah satu alasan nyata mengapa Tuhan kasih kita beban yang lebih ringan, bukan berarti kita hebat, tapi memang kemampuan kita jauh di bawah ibu lain yang ketangguhannya luput dari mata dan perhatian kita. Namun kesalahannya 3 detik berbanding kebaikannya sedunia bahkan isinya, sellau membekas di ingatan kita, sampai-sampai dijadikan konten.
Meski tanpa rekaman wajah ataupun nama, tapi saya yakin si ibu yang berada di posisi marahin anaknya itu sedih jika membaca kesimpulan orang terhadap tandakannya yang memang merupakan efek dari rasa lelahnya teramat sangat.
That's why, tak baik kita menilai ibu lainnya, apalagi sampai dijadikan konten yang isinya menyalahkan si ibu tersebut.
Berbagilah ilmu parenting dalam POV masing-masing yang memang kita kuasasi. Tak perlu memaksakan dengan ilmu yang nggak bisa fit di kondisi kita.
Karena, jika suatu saat kondisi kita mengikuti kondisi orang yang kita hujat dengan diam-diam itu. Belum pasti kita mampu.
Begitulah.
Surabaya, 25 April 2024
Parenting By Rey - Reyne Raea
Iya, nggak sopan juga klo kontenin orang tanpa izin, apalagi sampai di posting di sosial media
ReplyDeleteNggak semua yang tampak luar bisa menggambarkan keadaan yang sebenarnya ya mbak
Ibu yang marah ke anak pasti ada banyak faktornya
Semua Ibu pasti pernah merasakan momen-momen seperti ini.
ReplyDeleteAku gak menormalisasi, tapi semoga menjadi bahan muhasabah bahwa sejatinya Ibu juga seorang manusia biasa yang bisa marah, sedih bahkan depresi karena sesuatu hal, karena inner child atau karena masalah lain yang belum terselesaikan.
Aku pribadi karena pernah melewati masa-masa seperti ini memilih untuk ga sotoy ((bahasa kasarnya)) dan menjadikan konten meski di akhir diberi "hikmah" dari sebuah kejadian.
Gak ada manusia yang sempurna sih..
Itu aja. Tapi yakin, semua masalah membawa kita ke 1 muara, pendewasaan.
Mengambil konten tanpa izin dimana orang lain ditampilkan tanpa persetujuan sudah melanggar norma. Apalagi ketika kontennya merugikan orang tersebut sebaiknya kita buat konten yang positif dan juga bermanfaat buat banyak orang karena tidak semua hal harus di konten-kan
ReplyDeleteSetiap ibu pasti punya masalahnya masing-masing. Demikian pula dengan cara menghadapi masalah tersebut. Makanya memang tidak perlu membanding-bandingkan dengan kondisi orang lain, apalagi sampai di kontenin Dan di share di medsos.
ReplyDeleteCukuplah berdo Dan bersyukurndalam hati atas semua pengalaman yang pernah dialami.
sekarang mah orang-orang asal ada yang menarik langsung deh dikontenin tanpa minta izin yang bersangkutan. mbok ya kalau mau bikin konten itu pakai video sendiri bukan ngevideo orang lain kayak yang sekarang lagi viral itu hedeh
ReplyDeleteaku bacanya langsung sedih deh mbak. Alih-alih mau ambil pelajaran tapi fakta baahwa si "ibu" yang di video tentu tak berharap demikian. aku seneng dengan kalimat mending kita pakai diri kita sendiri sebagai media belajar ya untuk urusan yang " belajar dr kesalahan". Tapi kalo best practice mungkin agak berbeda. terima kaish remindernya mbak dian
ReplyDelete