Suami Berhak Bangga Ketika Bisa Menafkahi Istri dan Anak
Tulisan ini, menjawab sebuah tulisan yang banyak di-copas sana sini dan beredar di facebook, di mana ada yang menulis tentang 'suami, jangan bangga ketika memberikan nafkah uang 3 juta atau 4 juta ke istri'.
Nggak tahu sih, siapa penulis awal tulisan tersebut, yang penting tulisan itu banyak di-copas dan di-share berulang kali.
Dan jika mengintip kolom komentar, sedikit banyak miris sih karena mostly berisi curhatan para istri. Mereka kesal karena sikap suaminya auto berlagak bossy ketika sudah memberikan nafkah uang, yang sebenarnya masih jauh dari total kebutuhan keluarga.
I know sih, bagaimana sedihnya perasaan para istri yang ada di posisi tersebut, karena been there, meski saya mungkin enggak seekstrim istri lainnya.
Maksudnya, meski papinya anak-anak selalu bikin ilfil akhir-akhir ini, tapi masalah saya bukan karena blio ngasih duit berapa, lalu lagaknya berasa ngasih hutang ke saya.
Pernah mungkin blio bersikap demikian, tapi jarang, dan nggak intens secara ekstrim.
Namun, tulisan tersebut saya pikir terlalu ekstrim juga untuk sering dibagikan. Khawatirnya mengganggu keikhlasan banyak istri lainnya, yang mungkin awalnya bersyukur saja diberi uang yang mepet dari cukup, bahkan kadang hingga sering kurangnya.
Di sisi lain, akan membuat banyak suami yang benar-benar tulus dan fokus berusaha membahagiakan istri dan anaknya, jadi patah semangat.
Suami Berhak Bangga Ketika Bisa Menafkahi Istri dan Anak
That's why, menurut saya, suami sejatinya berhak bangga ketika bisa menafkahi istri dan anaknya. Karena tentunya hal itu merupakan pencapaian baginya sebagai seorang suami, ayah dan lelaki.
Terlebih di saat sekarang, begitu banyak lelaki yang berstatus suami dan ayah, menjadi hilang ke'lelaki'annya, dengan menyerahkan kewajibannya di pundak istrinya.
Maka bersyukurlah para istri yang suaminya masih menafkahi dengan uang, meski mungkin masih berusaha lebih keras untuk mencukupi semua kebutuhan keluarga.
Ini bukan menormalisasi suami yang kehilangan ke'lelaki'an-nya ya, dan seharusnyalah lelaki malu kalau ke'lelaki'annya musnah.
Ye kan, untuk apa hidup di dunia, kalau harga diri sebagai lelaki musnah?.
Namun, maksud saya, boleh kali kita menormalisasi untuk bersyukur seberapapun nafkah uang yang diberikan suami. Dengan memberikan waktu serta tempat agar suami berbangga hati ketika bisa memberikan uang tersebut kepada istrinya.
Menyanjungnya sebagai pemimpin, merajakannya.
Oh tidak, ini bukan kebiasaan saya. Justru saya nulis ini biar bisa menginspirasi dan menyemangati diri sendiri, agar selalu bisa mensyukuri berapapun yang diberikan, dan berdoa semoga berkah dan bisa berlimpah rezeki keluarga melalui suami.
Karena (menurut saya ya), kehidupan pernikahan yang sempurna itu, adalah yang rezeki uang keluarga dititipkan Allah melalui suami.
Karena apa?.
Suami adalah lelaki, diciptakan dengan kodrat pemimpin, diberikan Allah bagian otak yang bernama hipotalamus lebih besar 2,5 kali dari wanita.
As we know, bagian otak hipotalamus ini berfungsi untuk mengatur nafsu makan, emosi, suhu tubuh, jam biologis tubuh, hingga produksi dan pelepasan hormon.
Menurut pakar neuro parenting, dokter Aisah Dahlan, bagian otak hipotalamus lelaki ini, menjadi pusat rasa aman bagi lelaki. Dan bagian ini akan aman selama mereka merasa dijadikan pahlawan bagi keluarganya.
Inilah yang menjelaskan, mengapa lelaki merasa bangga ketika bisa memberikan nafkah khususnya uang kepada istrinya. Karena dia merasa dirinya lebih berharga, bermanfaat, jadi seorang pahlawan.
Ketika istri dan anaknya menyambut perasaannya, menjadikannya bak sosok pahlawan, bagian otak ini akan selalu terjaga, dan implementasinya, lelaki akan lebih semangat dan bertanggung jawab ke anak istrinya.
Dan itu pula yang menjelaskan, mengapa banyak suami yang jadi cuek, ketika punya istri yang mandiri, karena mereka tidak merasa dirinya sebagai seorang hero. Lama-lama bagian otak hipotalamus-nya mengecil, dan muncullah lelaki-lelaki yang malas dan nggak punya malu, karena lupa kewajibannya.
Btw, teori ini sudah saya buktikan sendiri, dan juga lihat buktinya sendiri di orang tua saya.
Ketika masih kecil, ortu saya tinggal di Minahasa, ketika itu mama saya hanyalah ibu rumah tangga. Jadi, semua kebutuhan dipenuhi oleh bapak.
Saya masih ingat, betapa bapak yang meski tetap pemarah, tapi beliau sangat bertanggung jawab menafkahi kami.
Saya ingat betul, betapa banyak harta mereka saat masih di Minahasa, emas mama banyak, saya dan kakak juga mengenakan emas atau punya emas, dibelikan Bapak.
Ketika pindah ke Buton, bapak kesulitan mencari nafkah, semua yang bisa dia lakukan tidak seberhasil ketika di Minahasa.
Lalu kemudian, mama bisa diangkat jadi PNS, sejak saat itu bapak makin cuek terhadap nafkah uang keluarga, semua kebutuhan bergantung pada mama. Hilang sudah semangat bapak mencari uang, seperti yang dia lakukan saat masih di Minahasa.
Di sisi lain, bapak menua dengan sikap yang makin arogan, suka ngamuk, nggak betah di rumah, sering tersinggung jika mama keluar kerja tapi nggak izin.
Lalu kemudian saya menikah, ada masa ketika saya menggantungkan nafkah keluarga kepada paksu. Dan terbukti bertahun-tahun beliau sangat semangat dalam membahagiakan saya dan anaknya.
Sayangnya, ketika ego lelakinya berkembang, dan salah perhitungan terjebaklah dia dalam kondisi yang makin kesulitan keuangan.
Bukan hanya itu, pengaruhnya luar biasa, mulai dari berani marah di depan saya, bahkan berakhir dengan suka kabur tanpa berita.
Namun, ketika akhirnya dia bisa mencari uang untuk anak istrinya, kelakuannya jadi manis banget.
Bahkan, jika akhirnya dia bisa mengirimkan uang, dan kemudian saya jawab dengan doa dan terima kasih, duh sikap manisnya auto muncul, hahaha.
Akan tetapi, ini kondisi saya ya, dengan karakter suami yang memang saya pilih, karena pada dasarnya kekurangan pasangan dulu, masih bisa saya tolerir.
Beliau emang suka bantuin kerjaan rumah, bahkan jauh sebelum menikah, dia suka banget bantuin ibunya masak di dapur, cuci piring, beberes.
Jadi, cara merajakan suami jadi lebih mudah. Cukup dipuji, masakin makanan kesukaannya sendiri, biar kata mau asin kek ikan asin super asin, mau rasanya ancur, melihat muka saya yang kacau balau bercampur keringat demi masakin dia. Blio udah bahagia banget.
Nah, kalau yang punya suami pada dasarnya enggak familier pada pekerjaan rumah, mungkin beda lagi cara merajakan suami. Selain memuji dan bersyukur atas rezekinya, tetap hormat dan terima nasib kalau paksu nggak bisa bantuin kerjaan rumah dengan baik.
Setidaknya, doakan agar suami sukses, biar bisa beli perlengkapan yang bisa membantu pekerjaan rumah biar lebih mudah.
Intinya, biarkan suami bangga ketika bisa menafkahi istri dan anaknya. Agar kelelakiannya jadi tersanjung dan bisa dengan mudah mencuri hatinya.
Selain alasan, bahwa suami emang berhak bangga, karena kewajibannya bisa dilakukan, ketimbang suami lain yang cuek dengan kewajibannya? iya nggak?.
Suami Boleh Bangga Ketika Bisa Menafkahi Istri dan Anak, Tapi...
Iyaaaa, para suami. Kalian boleh banget bangga ketika bisa memberikan uang yang halal ke istrimu untuk kebutuhan rumah.
Tapi, cobalah untuk ikut campur dalam masalah keuangan rumah tangga.
Sebenarnya, maksud tulisan yang banyak beredar di medsos ini juga sama kayak ini kali ya. Hanya saja pembahasannya agak sedikit beda.
Di mana tulisan sana melarang suami untuk bangga. Kalau saya membolehkan, dan menyarankan istri untuk memuji, bersyukur dan berterimakasih serta mendoakan.
Akan tetapi, ditambah embel-embel agar suami mau ikut campur keuangan rumah tangga.
Alasannya?
Agar tidak ada perasaan kesal di hati, di mana udah merasa cari uang itu susahnyaaa minta ampun, tapi kok istri nggak bisa berhemat?.
Padahal, bisa jadi bukan karena istri nggak hemat, emang harga kebutuhan sekarang sudah naik pesat, tidak berbanding dengan pemasukan masyarakat, huhuhu.
Jika merasa tidak punya waktu untuk ikut campur, bisa dengan sama-sama menyusun anggaran belanja rumah tangga. Sehingga bisa sama-sama memutuskan, mana yang urgent dan butuh, mana yang urgent tapi masih bisa ditunda. Mana yang boleh ditunda karena bersifat keinginan.
Dan sesekali, antarkan istri berbelanja bersama, agar tahu berapa sih harga-harga yang ada di pasaran. Jadi kan masalah asumsi bahwa istri itu boros, lalu dibalas dengan pemikiran, bahwa suami itu pelit dan nggak mau tahu, bisa diuraikan.
Selain itu, suami yang ikut campur keuangan rumah tangga, jadi tahu target utamanya dalam mencari uang itu, berapa?. Dan dari target itu, dia bisa menyusun rencana, seperti apa untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Bukankah itu indah, jika kita sebagai istri bisa memberikan kesempatan pada suami untuk berbangga hati ketika bisa memberikan nafkah uang. Berapapun itu, diterima dengan rasa syukur dan terimakasih serta doa oleh istri, adalah perasaan luar biasa untuk suami, tentunya.
Dan jika hati suami membaik, bagian otak hipotalamusnya berfungsi dengan baik, menjadikan dorongan kepadanya untuk jadi lelaki yang baik.
Membentuknya jadi suami yang baik, dan memahami seperti apa masalah istri dalam mengatur keuangan, serta tahu persis berapa target yang harus didapatkannya dalam memenuhi kebutuha keluarga.
Ah, intinya pernikahan yang bahagia itu memang bermula dari komunikasi dengan suami dan kerja sama yang baik ya. Dengan bahan bakar cinta, untuk mengisi kekurangan yang ada.
Itu sih menurut saya, bagaimana menurut kalian, parents?.
Surabaya, 26 April 2024
Parenting By Rey - Reyne Raea
Referensi: opini dan pengalaman pribadi
Gambar: Canva edit by Rey
Post a Comment for "Suami Berhak Bangga Ketika Bisa Menafkahi Istri dan Anak"
Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)