Jadi Ibu yang Adil untuk Anak, Sesuai Porsi atau Sama Rata?
Jadi ibu yang adil untuk anak itu penting, sayangnya konsep adil ini ternyata ada 2 macam. Yaitu adil kepada anak sesuai porsi, atau adik pada anak dengan cara sama rata?.
Setelah punya 2 anak, saya akhirnya menyadari, ternyata jadi ibu yang adil untuk anak yang lebih dari 1 itu sulit. Tapi kabar baiknya, dari hal inilah saya akhirnya bisa memahami dan memaafkan hal-hal yang saya rasa menyedihkan di masa kecil.
Waktu kecil dulu, saya ingat betul, konsep adil buat kedua anak perempuan beda setahun ala bapak saya adalah, dengan memberikan sesuatu dengan sama.
Bapak tuh, kalau beli sesuatu untuk anak-anaknya, selalu beli 2 yang sama persis, namun beda warna. Misal beli baju, bapak akan beli langsung 2, jadi nggak cuman saya, kakak juga harus dapat. Modelnya juga mirip, tapi warnanya wajib beda, agar nggak ketukar kata bapak.
Konsep adil pada anak ala bapak itu adalah, sama rata.
Berbeda dengan mama, yang mungkin juga baru kerasa setelah kami pindah ke Buton dan rezeki keluarga Allah titipkan melalui mama. Kala itu ekonomi keluarga sangat minim, dan karena mama yang mengelola keuangan, mama jugalah yang langsung menghadapi kebutuhan anak-anaknya.
Berbeda dengan bapak, konsep adil pada anak ala mama adalah, sesuai porsi dan kondisi.
Dan sebagai anak tengah dari 3 bersaudara, di mana kakak saya perempuan, adik saya lelaki. Sudah bisa ditebak, saya adalah anak yang selalu ada di prioritas terakhir dibandingkan adik lalu kakak.
Cerita Sulitnya Jadi Ibu yang Adil untuk Anak
Btw, tema jadi ibu yang adil untuk anak ini, terpikirkan setelah kemarin saya membaca sebuah curhatan di aplikasi Threads.
Si ybs bercerita, kalau saat itu sedang berada di rumah ibunya karena suatu hal. Dia bersama 3 anaknya, dan kebetulan di rumah itu juga ada anak-anak lain yang hampir sebaya dengan anaknya.
Mereka semua adalah cucu ibunya. Anaknya si ybs 3 orang, dan yang ada 4 anak anak adik si ybs.
Masalah muncul ketika suatu pagi, si nenek (ibu si ybs) buatin roti bakar untuk ke-8 cucunya. Masing-masing cucu mendapatkan 1 buah roti dan nggak boleh tambah, karena cuman segitu bikinnya.
Namun, anak si ybs ini yang berusia 8 tahunan dan mungkin terbiasa makan banyak, masih merasa lapar. Dia mintalah tambah, tapi ditolak oleh neneknya.
Alasannya semua anak dapat jatah 1 roti, jadi biar adil, nggak boleh ada yang dapat lebih dari 1. Tersinggunglah si ybs meski nggak terlalu diperlihatkan.
Dia menganggap ibunya terlalu kolot nggak ngerti konsep adil sesuai porsi. Lalu akhirnya dia suruh anaknya makan camilan yang dibawain temannya ke rumah ibunya sampai kenyang.
Gara-gara itu, anaknya nggak betah di rumah neneknya, karena merasa kelaparan. Dan begitulah, si ybs jadi sedih karena itu.
Saya sempat komen di postingan ybs, di mana saya mengapresiasi sikap tegas ibunya. Karena menurut saya, adil sesuai porsi ini nggak semudah itu diterapkan ke anak. Apalagi cucu.
Bisa saja si neneknya memberikan tambahan roti bakar ke cucu yang lapar itu, tapi siapa yang akan tahu hati ortu cucu-cucu lainnya melihat sang nenek melebihkan jatah cucunya tersebut.
Beda lagi kalau si nenek bisa menyajikan 2 potong roti bakar untuk semua cucunya.
Cerita tersebut mengingatkan saya akan sikap mama saya yang mengadopsi konsep adil sesuai porsi. Jujur sikap mama saya itu mengecewakan hati saya.
Rasanya bertumpuk rasa kecewa saya, sejak kecil menjadi urutan terakhir diperhatikan oleh mama.
Setelah kami dewasa, lagi-lagi kakak yang diutamakan, kakak saya menghabiskan begitu banyak tanah orang tua yang dijual, lantaran bolak balik test CPNS, tentara, polisi.
Setelah akhirnya lulus PNS, kakak saya bahkan dibelikan rumah dan motor oleh mama, meskipun ada sebagian yang dibayar kakak saya.
Tapi, dibanding saya, bahkan enggak mendapatkan apapun.
Hal ini berlanjut sampai kami menikah dan punya anak. Saya nggak punya anak perempuan, cucu perempuan mama saya cuman satu dan itu anak kakak saya.
Tebak apa yang dilakukan mama?
Anak kakak saya dibelikan kalung emas yang lumayan gede dong. Mama beralasan, karena dia cucu perempuan, kalau cucu laki-laki kan nggak pakai kalung emas. Iya, tapi kan bisa aja untuk maminya anak-anak akoh.
Ini belum termasuk dengan beberapa kali mama membelikan emas buat kakak di belakang saya ya. Dan saya nggak pernah sama sekali dibelikan emas, kecuali saat saya masih kecil, itupun bapak yang beliin.
Mau bilang saya anak pungut, kok muka saya mirip mama, wakakakak.
Satu-satunya hal yang menghibur hati saya adalah, dengan berpikir bahwa ya sudahlah ya, toh mungkin mama bersikap begitu karena kakak yang ada di sana. Tanpa beliau sadari, sikap itu yang bikin saya malas pulang ke sana.
Konsep Adil untuk Anak : Sesuai Porsi (dan Kondisi)
Kalau membaca tulisan di atas, parents tentu akan bilang betapa menyedihkan saya ya. Betapa mama saya terlihat pilih kasih, atas nama adil sesuai porsi.
Tapi tunggu dulu!
Plot twist-nya adalah, you know, dengan sikap mama yang cenderung menyenangkan kakak saya itu, yang lebih mengutamakan kakak. Tahu nggak gimana reaksi kakak saya?.
Dia dong merasa nggak pernah dianggap oleh ortu, terutama mama. Dia selalu mengatakan kalau mama lebih sayang saya.
Wakakakakakaka, ngakak so hard nggak sih?
See! jadi ibu yang adil untuk anak itu nggak mudah. Mama saya udah berusaha semaksimal mungkin. Sampai-sampai saya yang harus mengalah, mundur menjauh biar kakak menjadi anak tunggal buat mama.
Tapi, semua hal yang dilakukan mama, seolah tak bisa meresap di hati kakak. Adil itu susah parents.
Sesuai porsi yang menurut saya, nggak adil buat saya. Karena apapun itu, saya kan juga anak, boleh lah dikasih juga emas, apalagi seumur-umur nggak pernah dibelikan emas.
Bolehlah belikan motor, atau bayarin uang muka rumah deh.
Sampai akhirnya saya berdamai, bahwa ya sudahlah, toh juga kalau saya mengalah, itu kakak saya, bukan orang lain. Nyatanya kakak nggak merasa kalau mama adilnya condong ke dia.
Rempong kan!
Namun, setelah punya anak, saya mulai paham konsep jadi ibu yang adil untuk anak, di mana saya lebih banyak menerapkan konsep adil 'sesuai porsi'.
Hal inilah yang membantu saya bisa berdamai memaafkan masa kecil saya yang sering dinomor terakhirkan, sampai seringnya nggak kebagian sama sekali.
Saya mulai belajar mengerti maksud mama yang dibatasi oleh kondisi, sehingga seringnya mengutamakan kakak ketimbang saya.
Pada akhirnya, setelah punya 2 anak, saya lebih sering menerapkan hal tersebut. Seringnya memutuskan sesuatu sesuai porsi dan kondisi.
Ada kalanya, saya lebih mengutamakan si Adik, ada kalanya si Kakak. Tapi kalau dipikir-pikir, memang saya lebih banyak mengutamakan si Adik dengan alasan yang kuat.
Mulai dari karena si kakak sesungguhnya jauh lebih beruntung dari adiknya. Dulu dia lahir menjadi anak tunggal selama 7 tahunan, segala hal kami berikan ke dia.
Bajunya semua baru, sepatu ganti-ganti mulu, semua mainan terbaru selalu dibelikan. Diajak jalan-jalan hampir setiap minggu. Makan apa aja diturutin.
Sementara adiknya, sudahlah dia hanya boleh puas dengan memakai kebanyakan pakaian lungsuran kakaknya. Bukan hanya faktor ekonomis ya, tapi karena setelah si Adik lahir, kebutuhan tentunya semakin banyak.
Adiknya juga harus puas memainkan mainan lungsuran kakaknya, sehingga saya selalu berusaha membolehkan mainan yang dia minta ketika kami sedang di toko mainan. Biar dia nggak merasa nyesek banget kok dapat bekas mulu.
Kakaknya jadi sering saya minta mengalah, meskipun tetap sih ada kalanya adik juga yang saya minta mengalah, meski dengan paksaan.
Yang paling penting dari sikap saya itu adalah, sounding dan berkomunikasi dengan serius ke anak-anak. Saya jelaskan, apa alasan ketika saya meminta si Kakak ngalah.
Misal, ketika mereka berantem, yang biasanya dimulai dari kakaknya godain adiknya dengan mimik muka. Trus adiknya nggak kira-kira main gebuk aja kakaknya. Eh kakaknya balas. Lalu adiknya balas sambil menjerit, kakak balas lagi, gitu aja terus nggak ada hentinya, sampa-sampai makin mengkhawatirkan.
Alhasil maminya mengaum, melarang si Kakak untuk membalas lagi, meskipun seharusnya kala itu giliran kakaknya yang balas.
Tentunya dengan risiko keduanya kena omelan.
Setelah tenang, baru deh saya jelasin ke kakak, biasanya sih malam pas mau tidur, pas momen pelukan dan minta maaf, sekalian saya jelasin mengapa maminya meminta dia yang mengalah.
Alasannya, kegaduhan itu berawal dari si Kakak juga, meski nggak pakai gebuk-gebukan. Lalu, usia si Kakak beda jauh dari adik, cara berpikir mereka juga tentunya beda.
Saya selalu mencontohkan, dengan menyandingkan mami dan si Kakak, apakah kalau kakak diminta berperilaku kayak mami, bisa dilakukan?.
Tentunya nggak bisa kan, karena mami udah dewasa, sementara si Kakak masih remaja. Begitu juga dengan dia dan adiknya yang terpaut usia 7 tahun.
Intinya, penerapan konsep ibu yang adil sesuai porsi dan kondisi yang saya lakukan, tentunya disertai penjelasan ke anak, biar mereka mengerti maksudnya.
Dan tentunya, nggak lupa meminta maaf karena anak merasa tidak adil karenanya.
Konsep Adil untuk Anak : Sama Rata
Konsep adil sama rata ini sejak kecil memang diterapkan oleh bapak saya, dan entah mengapa saya merasa cocok dengan hal ini, meskipun tetap ada ToC atau lihat kondisi.
Bapak saya tuh, memilih enggak usah memberikan sesuatu ke anak, daripada ngasihnya cuman satu-satu. Bahkan ketika saya berjauhan dari ortu, bapak masih selalu ingat sama saya.
Sejujurnya, konsep ini juga mulai diterapkan oleh mama saya, ketika dia memperlakukan cucu-cucunya.
Mama selalu menyama ratakan cucunya, meskipun ujungnya saya juga yang kalah, hahaha. Ya pegimana dong, anak kakak saya 3, sementara anak saya cuman 2.
Jadi, kalau ditotal-total, tetap kakak saya yang dapat banyak, hahaha.
Meskipun lebih terasa adil, tapi ternyata implementasinya nggak semudah itu. Apalagi untuk diterapkan ke anak-anak saya yang usianya beda 7 tahunan.
Nyatanya, Jadi Ibu Adil untuk Anak itu, Memang Sulit
Kita sering banget kan melihat konten-konten di media sosial yang membahas tentang inner child pada anak disebabkan oleh perlakuan parents yang nggak adil terhadap anak-anaknya.
Seperti cerita saya, dulunya sih saya merasa kecewa juga, bahkan memutuskan mengalah dan menjauh aja, biar nggak sakit hati dan bersaing dengan kakak sendiri.
Sampai akhirnya saya punya anak sendiri, dan merasakan kalau sebenarnya enggak ada parents atau ibu yang pilih kasih ke anaknya.
Semua yang ibu lakukan itu, pasti ada alasannya.
Misal, mama saya yang lebih mengutamakan kakak saya, dulunya karena mama berharap kakak dulu yang 'jadi orang' dan kakak bisa membantu saya, adiknya.
Pikiran parents zaman dahulu kan gitu ya, tapi daripada memaksakan adil pada keduanya, tapi akhirnya mereka nggak sanggup. Akhirnya baik saya maupun kakak, nggak ada yang bisa 'jadi orang'.
Atau, ketika kami sudah menikahpun, mama lebih mengutamakan anak kakak saya, ketimbang anak-anak saya. Meski kecewa banget, tapi saya ngerti kok alasannya.
Karena memang selama ini saya jauh dari mama, cucu-cucunya dari kakak lah yang sering mengunjungi mama. Dan kakaklah yang paling sering mengunjungi mama dibanding saya yang bahkan bertahun-tahun, belum tentu bisa mudik.
Dan, bahkan ketika ortu sudah bertindak adil sesuai porsi dengan mengutamakan kakak saya. Bisa-bisanya kakak saya masih saja mengatakan kalau mama lebih mengutamakan anak yang bahkan tidak pernah lagi dibalas chat apalagi telponnya ini, hahaha.
Emang sulit dah jadi ibu yang adil untuk anak.
Kesimpulan dan Penutup
Jadi ibu yang adil untuk anak ternyata tidaklah mudah. Ada dua konsep adil ke anak yang dapat diterapkan, yaitu adil sama rata dan adil sesuai porsi.
Sama rata berarti memberikan hal yang sama kepada setiap anak, sedangkan sesuai porsi mempertimbangkan kebutuhan dan kondisi masing-masing anak.
Pengalaman saya menunjukkan bahwa setiap ibu berusaha adil dengan caranya sendiri, meskipun hal ini tidak selalu diterima atau dipahami oleh anak-anaknya.
Seiring waktu dan setelah memiliki anak sendiri, saya akhirnya mulai memahami dan memaafkan perlakuan ibunya di masa kecil.
Dan jadi tahu betapa ternyata jadi ibu yang adil untuk anak itu, sulit.
Surabaya, 11 Juli 2024
Parenting By Rey - Reyne Raea
Sumber: opini dan pengalaman pribadi
Gambar : canva edit by Rey
Well, I only have a son and the reason is: takut gak bisa adil kalo punya 2-3 anak (dan masalah kesehatan juga sih, punya 1 anak aja udah syukur banget).
ReplyDeleteAdil yg sesuai itu pernah kubaca juga di sebuah majalah dan emang adil gak melulu harus sama. Misalnya kalau anak suka menulis maka dibelikan buku tulis sedangkan saudaranya yg suka menggambar dibelikan buku gambar.
Kenyataannya kebanyakan anak merasa diperlakukan nggak adil, padahal ortunya udah berusaha adil sesuai porsi dan kondisi :')
DeleteAdil sama rata atau sesuai porsi, sepertinya memang kita harus bisa mengaplikasikan keduanya di waktu yang pas. Agar anak tidak merasa diperlakukan tidak adil. Tapi yang paling penting, adalah kecukupan rasa sayang dan cinta dari orangtua agar anak tidak merasa saling iri. Begitu bukan ya, Mb?
ReplyDeleteAdil dalam pikiran satu orang, belum tentu sama dengan yang lain. Kecuali posisinya one by one. Lah kalo dalam keluarga, tentunya bakal lebih kompleks ya. Apakah mungkin seharusnya dibicarakan dari hati ke hati?
ReplyDelete"Ibu/Ayah begini ke kakak/adik karena... " dan "kok aku sebagai adik/kakak/anak tengah dapat porsinya segini... " De el el.
Maminya mengaummm....
ReplyDeletehahaha gue banget itu mah, khususnya karena anak saya yang nomor 2 usil banget
Dia gemar ngusilin adiknya atau kakaknya
Sekarang kalo inget, saya sering menyesal
Karena ada kemungkinan, sebagai anak kejepit (seperti saya, #toss Mbak Rey, kita anak kedua), dia ngerasa ortunya pilih kasih
Adil sebagai orang tua, kalau aku tuh memberikan apa yang mereka butuhkan. Dengan cara bertanya dulu.
ReplyDelete