Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pernikahan Tidak Bahagia Bukan Selalu Karena Salah Pilih Pasangan

Konten [Tampil]
bukan karena salah pilih pasangan

Lagi booming nih sekarang, setiap ada orang yang ingin melegakan hatinya, dengan menuliskan kegalauan hubungan pernikahannya. Dijamin akan selalu ditanggapi dengan kalimat,

"Makanya, jangan salah pilih pasangan!"

Para penganut over feminist, bahkan selalu mengumandangkan tentang hal-hal menakutkan tentang pernikahan. 

"Lebih baik telat menikah, daripada cepat menikah tapi salah memilih pasangan!"

Padahal buat saya, tak ada orang yang telat menikah, yang ada hanyalah orang yang belum waktunya berjodoh. 

Sebenarnya ini penting banget, dan tentu saja benar banget. Memilih pasangan hidup sejatinya tidak hanya berdasarkan satu hal saja, who called love, aja.

Apalagi kalau cintanya cuman sepihak, kalau keduanya saling mencintai dengan kuat sih. Saya yakin pasangan tersebut akan bisa selalu berada di garis visi dan misi mereka, meski pernikahannya penuh gelombang yang menantang.

Tapi kalau cintanya cuman sepihak, apalagi yang cinta itu hanya wanita, duh betapa menyedihkannya tuh hidupnya.


Kriteria Pasangan Hidup yang Baik Ala MamiRey

Sebagai wanita yang tumbuh dalam luka batin masa kecil yang cukup parah karena didikan keras bapak, saya termasuk orang yang sangat berhati-hati dalam memilih pasangan hidup, dulunya.

Bahkan, saya benar-benar bisa memisahkan mana hati mana logika.

Maksudnya gini, saya sering membiarkan hati saya menikmati jatuh cinta kepada siapapun yang hati saya inginkan. Tapi saya mengontrol perasaan itu agar tidak membuat saya rugi.

Ingat banget ketika saya pertama kali jatuh cinta sama kakak kelas ketika STM, dan pilihan itu jatuh ke bad boy. Tentu saja saya tidak membiarkan diri rugi berhubungan dengan bad boy tersebut.

Jadi, saya cukup puas dengan menikmati cinta sendiri dari jauh, hahaha.

Jatuh cinta kedua, sama si pacar yang akhirnya berjodoh sampai menikah, itupun berani meneruskan hubungan setelah dengan hati-hati memilah karakter lelaki tersebut.

Dalam memilih kriteria pasangan yang baik, menurut saya nggak ada hal yang mutlak, selain dia adalah manusia yang baik.

Hal lainnya akan ditentukan dari karakter dan kebutuhan tiap manusia akan pasangannya. Dan beberapa hal yang menjadi poin pertimbangan saya dalam memilih pasangan hidup, adalah: 


1. Sabar

Seperti yang saya ceritakan di postingan sebelumnya, kalau saya memang sedang berusaha keras tumbuh menjadi manusia dengan mental yang sehat. Akibat luka batin yang sempat tergores di hati dalam perjalanan tumbuh besar.

Untuk itu, saya butuh banget pasangan yang sabar dalam menghadapi sikap up and down saya. Meskipun saya tahu, bukan kewajiban pasangan untuk membuat saya jadi pribadi yang lebih baik. Tapi, setidaknya jika memang dikasih pasangan dalam perjalanan menuju jiwa yang sembuh, maka sabar adalah hal yang utama.


2. Tidak patriarki

Saya tumbuh dalam hati yang terluka akibat melihat sikap patriarki bapak yang memang didukung oleh kebiasaan dan budaya yang melekat di daerah ortu berasal.

Dan melihat banget bagaimana ketidak adilan terjadi karena patriarki tersebut.

Mama saya harus bekerja mencari uang, tapi juga harus melayani bapak yang bagaikan raja yang lumpuh ketika di rumah. Makan harus diambilin, piring harus disiapkan di depannya, bahkan nasi harus diambilkan.

Tidak salah sih, saya pun setuju jika hal itu sebagai bakti istri kepada suami, dan jujur saya pun bercita-cita pengen bisa melakukan hal itu ke suami.

Tapi, ketika kondisi sedang tidak memungkinkan, seharusnya kan lelaki bisa lebih mandiri dalam hal itu. Bapak saya enggak seperti itu.

Bapak tidak peduli bahkan marah besar ketika mama harus lembur karena kewajibannya sebagai nakes dan kami semua mostly hidup dari gaji mama. Bahkan ketika mama sibuk banget, bapak akan marah besar kalau makanannya belum tersaji dengan baik dan lengkap di meja makan.

Hal tersebut bikin saya mendendam akan sikap patriarki, bahkan sengaja menjauh dari daerah asal ortu yang terkenal dengan patriarki-nya. Saya lalu ke Jawa dengan harapan menemukan lelaki yang bisa menganggap kalau kerjaan rumah adalah tugas bersama. Setidaknya lelaki yang bisa mandiri melayani dirinya, ketika istrinya sedang tidak bisa melayaninya dengan baik. 


3. Dari keluarga yang sekufu (sederhana, kaum menengah)

Masa kecil saya selalu berada dalam kondisi kekurangan, jangankan hal-hal yang tersier, kebutuhan utama saya pun banyak yang nggak terpenuhi.

Contohnya, ketika saya sudah mulai tumbuh dewasa dan butuh pakaian dalam khusus, mama sama sekali tidak memperhatikan hal itu dong, karena nggak punya dana.

Tahu banget rasanya bagaimana susah dan nggak enaknya berada di posisi ekonomi yang kurang banget, bikin saya nggak mau cari tantangan menikah dengan lelaki yang keluarganya di bawah ekonomi keluarga saya.

Jadi, bukan nyari lelaki yang kaya banget, tapi setidaknya lelaki yang ekonomi keluarganya tidak di bawah ekonomi keluarga kami yang juga masih sangat sederhana cenderung kurang, hahaha.

Bukan hanya itu, saya juga sangat menghindari lelaki yang ekonomi keluarganya jauh di atas keluarga saya. Bukan hanya alasan minder, tapi saya terlalu sering dibentak, dimarahin bapak. Enggak mau lagi ketambahan dimarahin, dibentak mertua atau ipar karena mereka kaya banget, hahaha. 


4. Punya pendidikan yang setara

Melihat perjuangan ortu dalam menyekolahkan saya dan kakak hingga sarjana, bukanlah sebuah hal yang mudah. Mama rela hidup sangat sederhana karenanya, beliau bahkan tak pernah memperhatikan kebutuhan pribadinya, demi bisa membayar uang sekolah anak-anaknya.

Bahkan, rumah mereka yang super sederhana nggak pernah diperbaiki karena uangnya habis buat pendidikan saya dan kakak.

Tentu saja saya nggak mau membalas semua perjuangan ortu dengan memilih pasangan yang pendidikannya tidak setara.

Memang sih keputusan ini agak salah, seharusnya saya memilih pasangan yang semangat dalam belajar, karena memilih sarjana tidak selalu mendapatkan lelaki dengan pikiran seperti sarjana yang seharusnya.


5. Mau menjalani pernikahan dengan saling bekerja sama dengan baik 

Karena saya dibesarkan dalam keluarga mama yang merupakan wanita karir, apalagi ortu sudah menyekolahkan sampai sarjana, tentu saja saya bercita-cita jadi wanita karir juga.

Jadi, saya ingin punya pasangan yang tidak masalah jika saya juga ikut kerja, dan mau bekerja sama untuk semua urusan rumah dan segalanya tentang pernikahan kami. Cari uang bareng, ngurus rumah bareng, urus anak bareng.

Intinya butuh lelaki yang bisa bekerja sama dengan baik dan selaras.


Pengalaman Memilih Pasangan Hidup Dengan Sangat Hati-Hati

Sesungguhnya dulu tuh saya nggak neko-neko dalam memilih pasangan hidup, intinya memenuhi ke-5 poin di atas.

Hal lainnya yang bersifat fisik tentunya ada, tapi nggak terlalu jadi patokan. Biasalah ya, anak muda yang jatuh cinta, pasti mandang fisik, meskipun untuk saya pribadi juga ada batasan tertentu terhadap fisik.

Misal, saya suka lelaki yang lebih tinggi dari saya, ini agak sulit sih karena saya termasuk perempuan dengan tubuh yang lumayan bongsor.

Suka sama lelaki yang nggak terlalu ganteng, karena saya bukan tipe perempuan yang mau bersaing dengan perempuan lain untuk mendapatkan atau mempertahankan seorang lelaki.

Jadi, menghindari lelaki yang ganteng banget adalah solusinya, biar nggak banyak perempuan yang menggodanya, hahaha. 

Karena itulah, ketika beranjak remaja, saya jatuh cinta sama kakak kelas yang ganteng, tapi hanya sudah puas dengan menikmati perasaan sendiri sambil sesekali mencuri pandang ke sang kakak kelas tersebut. Sedikitpun tidak terpikir ingin memiliki, bahkan ketika si kakak kelas mendekat, saya kabur.

Demikian juga ketika kuliah, sempat menyukai beberapa kakak tingkat. Btw salah satu kriteria lelaki idaman saya dulu tuh, dia harus lebih tua dari saya, dan karenanya saya selalu memilih kakak kelas atau tingkat.

Tapi, ketika melihat bagaimana gaya hidupnya, seperti apa kedekatannya dengan wanita lain, saya putuskan cuman mengagumi saja dari jauh.

Lalu, datanglah si pacar, yang awalnya sebenarnya sedikitpun tidak ada rasa untuk mau mengenal di pacar, karena penampilannya yang nggak banget buat saya.

Dia perokok, dia gondrong pulak. Sebuah penampilan yang terkesan jauh dari anak baik-baik.

Tapi seiring waktu, karena comblangan teman-teman, tiba-tiba saja kami bisa dekat, lalu jadian. Dan ternyata si pacar mau mengubah penampilannya demi saya. Untuk itu, saya pun bersedia mengubah penampilan demi si pacar.

Dasar ya manusia selalu patuh pada cinta *tsah, hahaha.

Ternyata, semakin mengenal si pacar, saya menyadari kalau dia memenuhi persyaratan tak tertulis saya dalam memilih pasangan hidup.

Dia bukan seseorang yang sangat tampan, bahkan sebenarnya dulu penampilannya jauh dari kata keren, sehingga banyak sahabat saya khususnya di Buton yang nggak setuju dengan kedekatan kami.

Si pacar ini juga menunjukan sikap yang super sabar menghadapi naik turunnya mood saya. Apapun masalah kami, si pacar selalu stay.

Dia juga seseorang yang sangat mengutamakan saya, tidak pernah kasar, selalu mengalah, di rumahnya dia selalu mengerjakan pekerjaan dapur. Baik masak, mencuci piring dan lainnya.

Si pacar juga tak pernah membiarkan saya melayaninya, contohnya dulu pernah saya maksa dia bawain baju kotornya agar saya cucikan di kos. Hanya sekali aja diturutin, setelahnya dia tolak. 

Belakangan saya baru sadar, ya iyalah ditolak, ternyata di rumahnya baju kotornya dicuciin kakaknya, hahaha.

Si pacar juga berasal dari keluarga yang ekonominya terbilang menengah lah ya. Meskipun dulunya bisa dibilang mereka orang berada, karena saat itu bapaknya masih aktif bekerja. Jadi mereka punya kendaraan lengkap. Punya rumah yang lumayan luas, meskipun nggak mewah.

Secara umum ekonomi keluarganya berada di atas ekonomi keluarga kami, tapi secara keseluruhan sebenarnya hampir sama sih. Alasannya anak bapaknya banyak dan mereka masih pada kuliah, butuh dana banyak.

Sementara anak ortu saya, cuman 2 dan kakak udah mulai magang sambil nunggu beberapa test CPNS.

Dalam hal pendidikan juga, mindset keluarganya mirip dengan keluarga saya. Yaitu sama-sama memandang bahwa pendidikan itu penting banget.

Dan yang paling penting adalah, si pacar ini merupakan seseorang yang selalu open minded, selalu membicarakan apapun itu, bahkan sebelum menikahpun, ketika dia sudah mulai magang di proyek, semua gajinya diserahkan ke saya.

Dengan kenyataan tersebut, yang kami jalankan selama 8 tahun masa pacaran, sudah cukup membuat saya sangat yakin kalau si pacar inilah pasangan yang terbaik untuk saya.

Karena itulah saya selalu memasukan doa agar berjodoh dengan si pacar di urutan pertama. Bahkan kalau dipikir-pikir, itu semacam doa maksa kepada Tuhan, hehehe. 


Realita Menjalani Pernikahan Meskipun Telah Pilih Pasangan Dengan Hati-Hati

Dengan semua penerapan kriteria pasangan yang baik ala saya, dan juga perjalanan menemukan pasangan yang sesuai dengan kriteria tersebut. Seharusnya kehidupan pernikahan akan berjalan dengan baik kan ya.

bukan salah pilih pasangan

Toh, saya tidak asal memilih pasangan, saya bisa menyimpulkan kalau saya nggak salah pilih pasangan. Dan seharusnya jika merujuk dari syarat pernikahan bahagia ala orang zaman now, pernikahan saya tentunya akan berjalan dengan baik.

Apakah iya?

Nyatanya tidak, hahaha.

Si pacar yang telah berubah jadi suami bahkan mulai berani membentak saya ketika sebulan menikah. Meskipun akhirnya kami bisa baikan karena si paksu ini masih selalu kembali dan meminta maaf. 

Kami melewati 5 tahun pertama pernikahan dengan adaptasi yang meski penuh guncangan, tapi tetap bisa diselesaikan dengan baik.

Karena memang sebelumnya kami udah menjalani hubungan hingga 8 tahun lamanya. Dan selama itu, kami selalu bersama, bisa dibilang hanya terpisah karena kerja dan tidur aja.

Jika nggak kerja dan dan belum larut malam, kami pasti akan bertemu, entah ngobrol di kos, atau keliling kota Surabaya sambil ngobrolin banyak hal.

Intinya, untuk adaptasi hidup bersama tuh sebenarnya masih bisa dihadapi dengan baik, meski ada tantangan juga sih.

Hubungan kami justru malah mulai semakin jauh setelah memasuki usia pernikahan ke-5. Mulai dari pertama kalinya paksu berani membawa masalah orang ketiga dalam hubungan kami.

FYI, selama berhubungan selama 8 tahun lamanya, kami nggak pernah mengalami masalah adanya orang ketiga, selain sandungan masalah mantan pacarnya yang belum move on dan sering menelponnya. Serta masalah beberapa lelaki yang pernah mengejar saya.

Tapi semua itu bukanlah masalah besar, karena kami berdua sama-sama tidak tertarik membuat hal itu jadi besar dengan terus mempersoalkannya.

Masalah terus bertambah, setelah akhirnya si paksu suka pergi ketika kami ada masalah. Dari yang dia pergi cuman sejam dua jam untuk menenangkan diri, sampai akhirnya keterusan pergi sampai semalam, dua malam, bahkan hingga seminggu.

Kehidupan pernikahan jadi lebih berpolemik setelah anak kedua lahir, sikap suka kabur paksu makin menjadi-jadi. Ditambah sikap sabarnya menghilang entah ke mana, sensitif, nggak bisa sabaran.

Dan makin egois, nggak pernah ada inisiatif diri, selalu menunggu, dan paling parah mulai santai menghadapi kebutuhan anaknya yang urgent. Intinya kalau dia bisa ya dipenuhi, kalau enggak ya anaknya disuruh diam dan nunggu sampai dia bisa penuhi.

Ini bukan hanya masalah kebutuhan yang tidak terlalu penting. Bahkan untuk kebutuhan urgent seperti makan, anaknya tetap disuruh diam dan menunggu.

Sungguh sangat berlawanan dan melenceng jauh dari sikap dan karakternya ketika 8 tahun pacaran dulu.

Dari pengalaman inilah yang membuat saya menyimpulkan, bahwa sejatinya ketidak harmonisan hingga kegagalan rumah tangga tidak melulu disebabkan karena salah pilih pasangan.

Karena banyak juga loh yang udah hati-hati banget memilih pasangan, menilai pasangan dengan logika. Meminta petunjuk kepada yang Maha Mengetahui. Nyatanya setelah menikah, justru gagal mempertahankan keharmonisan seperti masa sebelum menikah.

Sejatinya memang banyak hal yang bikin pernikahan tidak bahagia dan berakhir saling menyakiti dengan mempertahankan ego masing-masing. Salah satunya dikarenakan salah satu atau kedua pasangan yang berubah sikap setelah menjalani biduk rumah tangga.

Untuk POV saya, mungkin saja masalahnya berasal di perubahan paksu yang tidak kuat menghadapi beban rumah tangga. Meskipun mungkin dalam POV suami, dia yang mungkin menilai saya berubah.

Bisa juga dikarenakan beban setelah punya anak yang tidak kuat dia hadapi, karena kalau ngomongin tantangan ya, sejak sebelum menikah, rasanya kami sudah kenyang makan pengalaman beragam tantangan.

Dari yang kehabisan duit sama sekali, nyari kerja yang susahnya minta ampun, tantangan menyatukan kami dalam ikatan pernikahan. Kesemuanya itu kami lewati dengan penuh ujian, dan nyatanya bisa terlewatkan.

Tapi sekarang, setiap kali ada masalah, paksu selalu kabur, dan membiarkan saya sendirian menghadapi semua kebutuhan anak-anak.

Hal ini sangat menyakitkan buat saya, berulang kali mencoba berdamai, ketika dia minta maaf, saya maafkan. Berulang kali pula ketika ada masalah dia kabur dan membiarkan saya sendirian mengatasinya.

Jujur lelah banget, tapi memang tak ada jalan lain selain dihadapi.

Begitulah, bahwasanya pengalaman saya mengatakan pernikahan yang terasa tidak membahagiakan itu, bukan semata karena salah pilih pasangan. Karena nyatanya, sebelum menikah, saya benar-benar memilih pasangan yang paling pas dan terbaik untuk saya sendiri.

Nyatanya, setelah menikah, semuanya berubah. 


Kesimpulan dan Penutup

Pernikahan yang tidak bahagia tidak selalu disebabkan oleh salah memilih pasangan. Meskipun pasangan telah dipilih dengan sangat hati-hati dan memenuhi semua kriteria yang dianggap penting, pernikahan masih dapat menghadapi tantangan besar yang mempengaruhi kebahagiaan. 

Masalah yang muncul dalam pernikahan sering kali disebabkan oleh perubahan sikap dan perilaku salah satu atau kedua pasangan setelah menikah, yang tidak bisa diantisipasi sebelumnya. 

Jadi, ketidakbahagiaan dalam pernikahan bukan hanya karena salah pilih pasangan, tetapi juga karena berbagai faktor lain yang muncul seiring berjalannya waktu.


Surabaya, 09-08-2024

Sumber: opini dan pengalaman

Gambar: canva edit by Rey

Post a Comment for "Pernikahan Tidak Bahagia Bukan Selalu Karena Salah Pilih Pasangan"