Memaafkan Didikan Ayah yang Keras dan Bikin Inner Child Terluka
Kali ini saya tidak sedang ingin menuliskan pengalaman sebagai parents, tapi sebagai anak. Hal ini dikarenakan saya tersentuh oleh tulisan sendiri, ketika mengomentari status facebook seorang teman.
Di mana di tulisan tersebut, saya menceritakan sedikit betapa kerasnya didikan / karakter ayah atau yang sering saya panggil bapak, di masa kecil.
Komentar saya tersebut sejujurnya juga tertulis setelah membaca komentar orang yang menceritakan betapa bencinya dia sama bapaknya yang pernah menampar dan memukulnya di masa kecilnya.
Yang sontak bikin saya teringat kembali, bagaimana masa kecil yang bisa dibilang berwarna, meski sering terekam berwarna gelap atau menyedihkan.
Cerita Didikan dan Karakter Keras Ayah / Bapak di Masa Kecil
Tanpa mengurangi rasa hormat saya saya Bapak, semoga tulisan ini diambil makna ceritanya saja, bukan bayangan karakter Bapak yang keras semata.
Btw, bapak saya seorang yang dilahirkan oleh ibu yang lembut hatinya, tapi bapak yang super galak nggak kira-kira galaknya.
Saking galak dan kerasnya sifat kakek saya (bapak dari bapak saya), menurut cerita beberapa keluarga, nenek (mamanya Bapak) sampai nggak kuat dan menginginkan untuk pergi selamanya dari dunia.
Dan akhirnya harapan nenek terkabul, beliau meninggal ketika bapak masih kecil, kata beberapa orang beliau meninggal karena sakit dan sengaja nggak mau minum obat. Saking nggak kuat dengan sikap keras kakek.
Kakek memang super keras, bapak sering cerita, ketika kecil dia sering dihukum dengan sadis oleh bapaknya.
Pernah diikat dengan posisi terbalik, kaki di atas kepala di bawah.
Dicambuk dan ditampar serta dibentak dan dimaki, udah jadi makanan bapak setiap hari. Karena itulah bapak tumbuh jadi anak yang keras, makin bandel sehingga untuk lulus sekolah aja kakek lah yang mengusahakan, dengan datang ke rumah gurunya agar bapak diluluskan.
Dan karena itulah, suatu ketika bapak ketemu mama yang juga tumbuh dari keluarga yang menyedihkan. Bapaknya meninggal ketika mama masih kecil, sementara mamanya (nenek saya) adalah sosok wanita manja, yang semasa suaminya hidup, nenek begitu dimanjakan.
Alhasil, ketika bapaknya meninggal, kakak mamalah yang mengambil tanggung jawab semua adiknya. Karena mamanya nggak bisa diandalkan.
Dan karena kakak perempuannya harus mengambil tanggung jawab itu, tentu saja beliau (alm. tante saya) sangat keras dalam mendidik adik-adiknya.
Mama memang jadi adik yang penurut, tapi menyimpan jiwa yang tertekan. Sehingga ketika mama ketemu bapak yang bandel, lalu diajak menikah, mama ikut aja.
Lalu, terjebaklah mama yang pendiam dengan bapak yang keras dan emosian.
Dan lahirlah 3 orang anak, yang kemudian sisa 2 anak yang ikut menjadi korban dari karakter keras bapak, dan karakter pendiam tapi nyebelin mama.
Bapak yang temperamen, suka emosian, ketemu dengan mama yang pendiam, nggak punya inisiatif untuk menenangkan hati suaminya yang keras.
Dan meski demikian, bapak nggak pernah sedikitpun berani menyakiti badan mama. Sehingga ketika beliau marah, habislah semua piring, dan barang berterbangan entah dibuang, dibanting dan ditonjok sampai hancur.
Kadang setelah itupun belum cukup puas, maka kamilah anak-anaknya yang menjadi sasaran kemarahannya berikutnya.
Masih teringat banget, ketika kecil saya sering terbangun tengah malam, ketakutan mendengarkan suara bentakan bapak serta suara benda yang pecah atau hancur.
Kakak saya beruntung, setelah kelas 6 SD dia ikut tante (kakak mama), sehingga terbebas dari masa-masa ketakutan seperti yang saya dan alm. adik rasakan.
Ingat banget, pernah suatu saat ketika kami sedang tidur dengan nyenyak, lalu terbangun dan untung banget saya segera sembunyi di balik ranjang, dan ternyata adik juga sembunyi di balik kelambu. Bapak pas lagi emosi-emosinya, datang membuka kelambu (waktu itu kami selalu tidur di balik kelambu), sambil memegang parang yang tajam.
Nggak usah tanyakan bagaimana takutnya saya, gara-gara adegan seperti itu, sampai sekarang saya selalu takut dengan benda tajam.
Tapi, masalahnya adalah, ketakutan kami bukan hanya sekadar ketika mama dan bapak berantem di mana kejadiannya bisa seminggu 2-3 kali.
Ada banyak juga masa-masa kami terutama saya, mengalami hukuman yang keras dari bapak. Misal, ketika saya dan kakak atau adik berantem dan ketahuan Bapak. Momen saya mendapatkan juara 2, di mana bapak pengennya saya dapat juara 1 selalu.
Lucu kan, anak lain dapat juara 4 aja bisa dibelikan sepeda sama bapaknya, saya dong juara 2 dipukul pakai rotan di betis, huhuhu.
Atau momen saya ketahuan main, apalagi sampai membongkar mainan yang sejak saya masuk SD tuh mainan udah dibungkus dan ditaruh di loteng, nggak boleh dimainkan lagi.
Momen ketika saya malas ketika disuruh mama, dan masih banyak lagi.
Jika sudah kayak gini, siap-siap aja bentakan, makian, hingga kayu melayang ke betis saya, dan itu sakit banget. Saking sakitnya, saya sampai ngompol di celana dong.
Nggak kebayang betapa sakit hatinya saya sama bapak kala itu, dendam terasa melekat di hati. Sampai pernah saya berpikir ingin meracuni beliau.
Dulu kan ada beberapa racun tikus di gudang yang disimpan bapak, suatu hari saya ambil rokok bapak, terus saya oleskan racun di ujung tempat menghisap rokok tersebut.
Tapi nggak lama kemudian, rokok itu saya buang, karena takut kalau bapak ngeh itu diracun, terus beliau marah dan saya malah dipaksa makan racun, hehehe.
Rasa dendam saya ke bapak terus bertambah melihat sikap mama yang selalu menceritakan hal-hal buruk tentang bapak.
Belum lagi melihat mama yang setiap kali habis berantem sama bapak, beliau bakalan diam sampai berhari-hari. Bahkan kadang mama nggak mau masak, sampai saya dan Adik kelaparan sampai bapak pulang baru beliau masak.
Ketambahan dengan sikap patriarki Bapak yang memang ditunjang oleh kebiasaan orang di Buton. bapak tuh, boro-boro mau mandiri di rumah, bahkan mau makan aja, gelas yang ada di sisi meja yang nggak dijangkau tangannya, tetap nyuruh mama yang ambilin.
Hanya satu kelebihan beliau, yaitu rajin bebersih rumah dan halaman terutama menjelang lebaran.
Ada beberapa momen yang juga bikin saya mendendam kepada bapak banget, salah satunya ketika bapak menampar saya di depan teman-teman sekolah ketika SD. Saya lupa-lupa ingat, tapi kayaknya hal itu dikarenakan saya yang harus ikut kegiatan sekolah di kecamatan lain, bukannya naik angkutannya, malah muter aja nggak jelas menurut bapak.
Pernah juga, ketika ada acara malam yang biasanya banyak dihadiri orang-orang buat nonton acara tersebut, saya yang udah izin sejak siang, malah disuruh pulang ketika acara masih seru-serunya.
Rasanya malu banget, apalagi pakai dibentak di depan teman-teman.
Ah rasanya banyak banget momen-momen yang menyedihkan yang bikin saya jadi trauma dan sakit hati plus kecewa kepada bapak, ketika itu.
Tumbuh Dewasa Dalam Dendam Kepada Ayah / Bapak
Dengan sikap keras bapak tersebut, ditambah sikap mama yang cenderung cuek, bikin saya tumbuh dalam kondisi yang tidak sehat.
Merasa minder, lebih suka menyendiri, cengeng, nggak bisa menguasai emosi.
Bahkan ketika lulus SMP, saya harus ikut tinggal di rumah kakaknya mama, keadaan bukannya membaik, malah semakin parah.
Jika di rumah orang tua, selalu was-was mendapatkan hukuman berat dari Bapak. Di rumah tante dan om, saya diperlakukan bagai pekerja di rumah itu.
Makan dibatasi, setiap pagi harus bangun subuh banget karena sebelum berangkat sekolah wajib banget nyapu dan ngepel dulu. Nggak pernah sarapan sebelum ke sekolah, dan ke sekolah pun tak pernah bawah uang jajan, karena cuman dikasih uang buat biaya angkot.
Jadilah saya remaja yang tumbuh dengan rasa minder, sulit mendapatkan kepercayaan diri, selalu dendam sama kehidupan. Kadang saya berhayal, andai bukan mereka yang jadi mama dan bapak saya.
Iri dengan kehidupan teman-teman yang meski hidup sederhana, tapi orang tuanya peduli akan kebutuhan fisik dan mental mereka.
Sungguh itu bukan hal yang mudah bagi si Rey remaja.
Sampai akhirnya doa-doa saya ketika kecil terkabulkan, saya diperbolehkan main ke Surabaya, dan bahkan boleh kuliah di Surabaya.
Meski semakin jauh dari orang tua, bukan berarti saya jadi lebih baik. Nyatanya mati-matian saya berjuang menyesuaikan karakter buruk yang disebabkan oleh mental yang terluka selama bertahun-tahun sejak kecil.
Saya tumbuh jadi manusia yang 'YES Girl' banget, dan sukses dimanfaatkan oleh banyak teman-teman. Pun juga saya kesulitan untuk bisa toleransi dengan teman kos.
Sementara itu, meski sudah terpisah ribuan KM dengan bapak dan mama, tapi ketidak pedulian mereka akan nasib saya di negeri orang, sukses bikin saya menjadi manusia dengan karakter yang menyebalkan.
Suatu waktu, ketika libur lebaran mudik ke Buton, bapak menyambut saya dengan gembira, bahkan menggendong saya yang udah gede. Sayangnya hal ini nggak bertahan lama.
Beberapa hari kemudian, bapak mulai marah-marah lagi dengan mama, dan kejadian itu ternyata memicu emosi saya, sehingga berakhir dengan bapak dibawa ke sel tahanan Polsek di sana.
Besoknya, saudara-saudara mama datang membebaskan bapak, kemudian habislah saya kena omelan. Saya cuman diam, dan kebetulan juga besoknya saya udah harus pulang.
Tapi hal ini semakin memicu rasa benci saya kepada bapak, sekaligus kepada mama yang sejak puluhan tahun mengeluh tentang bapak, tapi nggak berani ninggalin bapak.
Sejak kecil, mama beralasan kalau beliau nggak mau kami putus sekolah kalau mama sampai cerai dengan bapak. Bener sih, kalau mama beneran cerai, mungkin mama dan bapak bakalan nikah lagi, punya keluarga sendiri, dan saya bakalan terlupakan.
Setelah kami lulus kuliah, dan udah kerja, mama beralasan kalau sayang ninggalin kerjanya. Jadi nunggu sampai pensiun dulu.
Eh pas pensiun pun, tetap aja banyak alasan, yang sukses bikin saya semakin kesal sama mama, dan semakin benci sama bapak.
Karena dendam kepada bapaklah yang bikin saya nggak mau pulang ke Buton (meskipun bukan mutlak karena alasan itu ya). Tapi bapak sukses bikin saya trauma dekat dengan lelaki Buton manapun, takut dapat yang patriarki.
Karena bapak juga, saya tumbuh jadi wanita yang selalu hati-hati dalam menentukan pasangan. Harus benar-benar yang sabar dan berlawanan dengan bapak.
Akhirnya nemu juga lelaki seperti itu, dan ternyata setelah bertahun menikah, saya menyadari, saya beruntung punya bapak yang galak dan keras kayak bapak saya.
Titik Balik Memaafkan Ayah / Bapak
Ada banyak momen yang menjadi titik balik saya bisa memaafkan bapak, tapi yang paling berkesan adalah momen setelah menjalani bertahun pernikahan. Dan mengetahui kalau ternyata lelaki yang saya pilih dengan sangat hati-hati itu, tidak seperti yang saya harapkan selama ini.
Mulai dari saya sering berantem dengan pak suami, di mana saya akhirnya mengerti mengapa bapak selalu temperamen sama mama.
Mama, sedikit banyak punya karakter sama dengan paksu, diam tapi nggak ada tindakan sama sekali.
Saya jadi merasa jadi Bapak, sementara paksu jadi mama yang menyebalkan.
Jadi ingat, dulu kalau bapak marah, mama cuman diam aja, kadang juga menjawab dikit-dikit yang intinya meremehkan bapak.
Bapak sering harus ngomong panjang lebar, sementara mama diam aja, kadang bahkan sambil terkantuk-kantuk.
Persis kayak paksu yang ketika ada masalah, dia diam saja, nggak pernah bisa ada komunikasi untuk menyelesaikan.
Saya jadi mengerti, mengapa bapak dulu sampai emosi dan temperamen terhadap mama, sayapun selalu kesal melihat sikap manusia yang ketika ada masalah, diam aja.
Dari situlah, saya mulai belajar mengerti kalau ternyata semua sikap manusia itu ada alasannya. Dan tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.
Ketika mulai belajar memahami alasan bapak yang sering temperamen dan bikin trauma di masa kecil. Akhirnya sedikit demi sedikit nilai positif Bapak muncul di ingatan.
Saya lalu menyadari, ternyata apa yang bapak lakukan tidak sepenuhnya buruk semua. Semua itu hanya karena Bapak nggak mau saya tumbuh jadi manusia yang salah jalan dan lembek akan kehidupan.
Kenyataannya, meski bapak temperamen, suka menghukum saya dengan tindakan yang bikin inner child terluka. Kenyataannya bapak juga merupakan sosok yang luar biasa, yang mana saya beruntung memiliki beliau, dibanding orang lain.
Salah satunya, bapak adalah sosok yang sangat menghormati kebebasan anaknya dalam menentukan masa depannya.
Seumur-umur, saya nggak pernah merasakan dipaksa bapak harus sekolah di sini, ambil jurusan ini.
Tidak!
Bapak yang galak itu, justru sering banget ngajak saya ngobrol dari hati, biasanya dilakukan ketika kami sedang makan.
Beliau sering bertanya tentang cita-cita saya, dan berjanji akan mengusahakan apapun pilihan masa depan anaknya.
Ini dibuktikan dengan bapak merelakan menjual banyak tanah warisan dari ortunya, dan tidak marah ketika kakak saya harus berulang kali test CPNS, tentara, polisi dan nggak lulus-lulus.
Bukan hanya tidak pernah mendikte pilihan pendidikan anaknya, bahkan mendukung penuh apapun pilihan pendidikan anaknya. Bapak juga sangat menghormati pilihan jodoh anaknya.
Meskipun dengan catatan, saya harus sudah selesai kuliah dan kerja baru boleh pacaran. Tapi Bapak tak pernah mengatur, saya harus menikah sama siapa? dan larangan dengan siapa?.
Bapak bahkan bilang, bahwa kami anak perempuannya, bebas mau milih jodoh siapapun. Mau orang kaya kek, biasa kek. Orang berpendidikan kek, agama Kristen kek, bule kek, siapapun!.
Beliau janji untuk akan mencampuri pilihan anak-anaknya, selama kami sudah lulus kuliah dan kerja.
Jujur, bahkan untuk kebebasan seperti ini, baru saya rasakan perbedaannya setelah mendengarkan cerita teman-teman, yang meskipun mereka dibesarkan dalam keluarga yang harmonis, tapi ortunya selalu mendikte semua pilihan anaknya.
Dan hasilnya bisa terlihat betapa banyak teman-teman yang seolah nggak puas dengan hidupnya. Padahal kalau saya lihat, kehidupan mereka tuh jauh lebih baik dari saya yang sudah usia segini, tapi hidupnya masih luntang lantung bisa dibilang masa depannya buram banget.
Sementara teman-teman yang seolah hidupnya terjamin banget, tapi entah mengapa seolah merasa kurang puas, seolah hidupnya belum lengkap. Dan cenderung menyesali banyak hal dalam hidupnya.
Meanwhile, saya andai bisa saya tuliskan di sini, tapi udah malas nulisnya, hahaha. Sejujurnya sesulit apapun hidup saya, in the end of the day, saya tak henti bersyukur, karena merasa nggak ada yang perlu disesali, hidup saya udah sangat baik hingga saat ini. Setidaknya udah berubah lebih baik, meski PRnya sekarang adalah bagaimana agar anak-anak bisa mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya.
Btw, tulisan ini sudah terlalu panjang, tentang bagaimana cara saya belajar memaafkan didikan ayah / bapak yang keras dan bikin inner child saya terluka, bakal di tulis di postingan lain aja ya.
Termasuk lesson learned dari bagaimana menjadi orang tua yang lebih baik, meski dulu masa kecilnya penuh luka batin.
Surabaya, 08-08-2024
Sumber: pengalaman pribadi
Gambar: canva edit by Rey
Post a Comment for "Memaafkan Didikan Ayah yang Keras dan Bikin Inner Child Terluka"
Link profil komen saya matikan ya Temans.
Agar pembaca lain tetap bisa berkunjung ke blog masing-masing, gunakan alamat blog di kolom nama profil, terima kasih :)