Full Day School Bukan Pembodohan Selama Ada Support Penuh dari Parents
Jadi ceritanya malam ini nggak sengaja saya liat postingan di FB tentang opini seseorang akan full day school dan pembodohannya. Tulisan tersebut udah lama sih, udah dibuat sejak tahun lalu.
Kemudian di-reshare oleh salah satu teman facebook, dan seketika saya bisa membaca isi tulisannya. Yang sebenarnya intinya, mengingatkan parents untuk mengajari anak-anak skill di urutan pertama, dan sekolah di urutan kedua.
Jujur, untuk itu saya setuju sih, tapi untuk masalah tulisan 'kapan bisa belajar masak nasi, jadi tukang kayu, atau bertani, karena waktunya habis di sekolah'. Itu yang saya kurang setuju.
Masih Bergaungnya Opini Negatif Parents Terhadap Full Day School
Sebelumnya saya jadi ingin membahas tentang opini negatif banyak parents akan full day school, atau waktu anak di sekolah lebih panjang dari yang seharusnya.
Sebenarnya hal ini sudah bukan hal yang baru dalam dunia pendidikan. Kalau saya baca-baca di beebrapa artikel, di Amerika bahkan sudah menerapkan sistem ini sejak tahun 1980an.
Sementara di Indonesia, sejak tahun 1990an beberapa sekolah swasta sudah mulai menerapkannya. Lalu, di tahun 2017 silam, pertama kalinya wacana 5 hari sekolah dengan gantinya full day school mulai dicanangkan secara bertahap oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendi.
Lalu sejak saat itulah gaung opini negatif banyak parents beredar, salah satunya yang paling banyak diteriakan oleh para ayah dan ibu rumah tangga (meski enggak semuanya ya).
Berbeda dengan para ibu pekerja, mereka menyambut hal ini sebagai hal yang lebih positif, apalagi setelah ada gaung statement dari sang menteri, bahwa salah satu alasan diberlakukan full day school adalah agar anak nggak sendirian di rumah ketika pulang sekolah, sementara ayah ibunya masih bekerja di luar.
Berbagai penolakan dengan alasan lengkap dilontarkan.
Mulai dari yang kasian anak-anak kelamaan belajarnya di sekolah, nanti anak-anak gimana makannya? gimana fasilitas sekolah dll?. Sampai saling hujat di mana golongan parents yang kontra, menghujat parents yang pro, salah satunya dengan tuduhan bahwa parents melepaskan tanggung jawab hanya ke pihak sekolah.
Uwow dah.
Sampai akhirnya waktu berlalu, dan nyatanya wacana full day school dengan waktu 8 jam di sekolah dan 5 hari sekolah itu, bukanlah merupakan paksaan. Nyatanya hingga saat ini sepertinya kebanyakan sekolah negeri ya tetap di jam belajar biasanya, yang lebih pendek.
Alasan Parents Menganggap Full Day School Adalah Pembodohan
Dari banyaknya alasan parents menolak full day school, ada satu alasan yang menarik perhatian saya secara mendalam, tentunya karena saya juga sebagai seorang mom ya.
Yaitu, alasan bahwa full day school itu sama aja dengan pembodohan, karena waktu anak habis di sekolah. Katanya anak-anak masuk pukul 7 pagi dan pulang pukul 3 sore, otomatis nggak ada waktu buat bantuin orang tua. Bagaimana anak bisa belajar life skill?
Zaman dulu, anak-anak masuk pukul 7, pulang pukul 11 an (kayaknya saya dulu pulang pukul 12an deh). Jadi ketika di rumah, anak-anak masih bisa bantuin orang tuanya, dan dari situlah anak belajar life skill.
Kalau saya tarik alasan utamanya adalah, full day school bikin anak nggak punya waktu buat bantuin ortu di rumah.
Dan menurut saya, ini benar tapi juga nggak sepenuhnya benar.
Realita Full Day School Juga Positif Buat Anak dan Parents
Sebelum membahas alasan dari makna pembodohan adanya full day school, saya ingin berbagi informasi dulu tentang bagaimana sebenarnya sekolah dengan waktu lebih panjang dari sekolah biasanya itu.
Kenyataannya, meski anak masuk pukul 7, bahkan ada yang masuk pukul 06.30, dan pulang di pukul 15.00, bahkan ada yang sampai pukul 16.30an baru pulang.
Bukan berarti anak-anak di sekolah bakalan belajaaaarrr aja mulu, dari pukul 7 sampai pukul 3-5 sore secara non stop.
Enggak ya!
Anak-anak justru lebih asyik, karena waktu jeda pelajaran mereka lebih banyak. Waktu istrahat biasanya ada 2-3 kali. Biasanya di pukul 9an anak-anak istrahat sekalian shalat Dhuha, lalu di pukul 12an juga istrahat, sekalian shalat Dhuhur.
Bahkan di waktu Dhuhur, ada yang namanya istrahat tidur sejenak di kelas. Nggak lama sih, hanya sekitar 15-30 menitan, tapi lumayan lah untuk meng-cover siapa aja yang mungkin merasa ngantuk banget.
Selain itu, sepanjang masa waktu belajar hingga 8 jam itu, anak-anak juga mengisinya untuk berbagai hal lain, mulai dari kegiatan literasi, berdoa, tahfidz, bahkan kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti anak.
Jadi, bukan berarti anak-anak madep buku dan papan tulis selama 8 jam lamanya ya.
Dan tentunya, hal ini sangat menguntungkan parents, khususnya saya pribadi.
Pertama, saya jadi punya waktu untuk melakukan hal lain, entah bisa waktu berkualitas dengan adiknya di rumah, atau ketika adiknya tidur, saya bisa fokus bekerja mencari duit di era susahnyaaaa ekonomi macam sekarang ini.
Kedua, waktu saya dan juga anak, nggak habis di jalanan. Kalau anak-anak sekolah dengan waktu normal yang lebih pendek, otomatis mereka yang ikut ekskul sekolah, kudu balik lagi ke sekolah di sore hari.
Bayangkan aja berapa banyak waktu, tenaga dan uang bensin yang parents dan anak habiskan untuk kegiatan mondar mandir tersebut.
Pengalaman Anak Full Day School Dan Tetap Punya Waktu Mempelajari Life Skill
Nah, sebagai pembanding, saya jadi ingin bercerita tentang bagaimana pengalaman menyekolahkan anak di sekolah dengan sistem full day school.
Dulunya, si Kakak Darrell ketika SD, dia bersekolah di SDIT yang menerapkan sistem full day school.
Ketika kelas 1, kalau nggak salah dia pulang sekitar pukul 12 atau pukul 1 siang ya, setelah naik jenjang, waktu pulangnya semakin molor.
Sampai akhirnya di kelas 6 SD, sering banget dia nyampe rumah pas magrib, hehehe.
Masalahnya dia ikutan antar jemput sekolah, yang seringnya dia dapat giliran pertama dijemput, tapi giliran terakhir diantar pulang, hahaha.
Namun, selama 6 tahun bersekolah di FDS, eh kepotong setahunan sekolah di rumah sih gegara pandemi. Si Kakak tetap bisa mengerjakan banyak pekerjaan rumah.
Alasannya, ya memang semuanya harus di-support sama ortu, dalam hal ini, saya sebagai seorang ibu yang selalu mendampingi anak-anak.
Dan salah satu support yang paling dibutuhkan anak adalah, mengajarinya tentang manajemen dan disiplin waktu.
Jadi, sejak TK eh bahkan sejak belum sekolah sih, saya udah mengenalkan anak tentang manajemen waktu. Ada waktu main, waktu tidur, waktu belajar.
Ketika si Kakak masuk TK, meski sekolahnya cuman 2-3 jam, tapi hidupnya benar-benar teratur, apalagi setelah saya memutuskan jadi IRT kan.
Pas anak pulang, wajib banget langsung makan, abis makan siang, langsung suruh pipis trus bobo siang. Meskipun cuman sejam atau 2 jam, wajib banget tidur siang. Pukul 2.30 harus bangun, karena dia ikut pengajian di sekolah.
Pulang ngaji, langsung les kumon, abis les langsung shalat magrib di masjid. Pulang shalat magrib, langsung makan malam, karena pas adzan Isha, dia balik lagi ke masjid.
Lalu pulang dari masjid, baru deh saya ajak belajar, dan pukul 9 wajib udah tidur.
Makanya dulu tuh, sejak anak masih bayi, saya nggak pernah kumpul-kumpul tetangga, dan sering banget dinyinyirin terutama pas masih ikut paksu di Jombang, katanya sok sibuk, jadi IRT saja padahal!.
Mereka nggak tahu aja, kalau saya jadi IRT, tapi sangat mendisiplinkan anak sejak kecil.
Makanya, ketika si Kakak masuk sekolah full day, nggak terlalu sulit untuk bisa meng-support-nya agar bisa memaksimalkan waktu dengan baik.
Ketika si Kakak duduk di kelas 3 atau 4 SD ya, dia udah mulai kebagian tugas di rumah. Mulai dari menyapu rumah setiap sore, mengepel, nyapu halaman, buang sampah, angkat jemuran, lipat jemuran.
Setelah kelas 5 dan 6, tugasnya bertambah lagi dengan urus adiknya juga. Mulai dari mandiin adiknya, pakein baju, sampai cebokin adiknya dan gosokin gigi adiknya, dia bisa.
Si Kakak juga bisa masak nasi, goreng telur dan lainnya, karena selain dari saya, di sekolahpun mereka diharuskan mengenal life skill, dengan dikasih PR mengerjakan life skill setiap minggu.
Jadi, sangatlah tidak benar jika ada anggapan kalau anak sekolah sampai sore, nggak punya waktu buat mengerjakan hal lain. Nyatanya ada ya, dan itulah tugas kita sebagai parents untuk menyertai anak lebih menghargai waktu yang ada.
Dan kalau ditarik kesimpulan sementara, sebenarnya anak yang nggak bisa kenal life skill sekarang tuh, bukan semata karena masalah life skill, tapi kurang kuatnya kemauan parents dalam meng-support anaknya bisa manajemen waktu dengan baik.
Mengapa saya bilang harus kuat? karena ini berat!
Anak kan manusia ya, nggak bisa kita program begitu saja untuk mengikuti semua jadwal yang kami susun bersama. Karenanya, wajib juga memperhatikan mood anak, wajib banget membuat anak lebih happy dalam mengerjakan banyak hal.
Salah satunya, memastikan kondisi tubuhnya fit, tidur cukup, istrahat cukup, makan makanan sehat dan bernutrisi dengan cukup, dan kebutuhan akan psikologisnya juga terpenuhi.
Dan percayalah, itu nggak mudah, apalagi di era ekonomi sedang tak baik-baik saja kayak sekarang, di mana kebanyakan parents sibuk berjuang nyari duit, eh anak-anak juga butuh perhatian lebih. Rasanya luar biasa.
Tapi ya begitulah hidup.
Kesimpulan dan Penutup
Full day school tidak sepenuhnya buruk atau memiskinkan waktu anak untuk belajar life skill. Justru, dengan manajemen waktu yang baik dan dukungan penuh dari parents, anak tetap bisa mempelajari keterampilan hidup meski menjalani sekolah dengan durasi lebih panjang.
Dan full day school tidak hanya fokus pada belajar akademik semata, namun juga memberikan ruang bagi anak untuk istirahat, berdoa, dan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler.
Pada akhirnya, pendidikan bukan hanya tentang waktu yang dihabiskan di sekolah, melainkan bagaimana parents dan sekolah bersama-sama membentuk anak menjadi individu yang terampil, disiplin, dan memiliki kemampuan manajemen waktu yang baik.
Tantangan ini memang berat, namun dengan perhatian dan bimbingan yang tepat, full day school bisa menjadi solusi yang positif baik untuk anak maupun parents.
Surabaya, 16-09-2024
Sumber:
- Opini dan pengalaman pribadi
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170706153847-20-226122/mendikbud-full-day-school-diawali-dari-yang-mau diakses 16-09-2024
Gambar: Canva edit by Rey
Alasan kami nge-full day-in anak kurang lebih karena di sekolah mereka melihat hal-hal yang insyaa Allah menjadi contoh baik. Karena kalau di rumah, emaknya belum bisa memberi contoh yang baik.
ReplyDeleteSeperti Ibunda sahabat Rasulullah sholallahu 'alaihi wa salam juga mendorong anak-anak mereka menuntut ilmu yang kelak akan menjadi Imam Besar pewaris ilmu. Bukan karena agar mereka menjadi lebih mulia, tetapi juga lebih memahami adab.
Tapi jangan lupa bahwa nge full day-in anak, orangtuanya juga dituntut untuk menuntut ilmu. Agar sama-sama selaras seimbang antara di rumah dan sekolah.