Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Apa itu Single Fighter Mom? Dan Bagaimana Ceritanya?

Konten [Tampil]

apa itu single fighter mom

Apa yang ada dibenak kita ketika mendengar single fighter mom?. Seorang janda?. Biasanya begitu ya.

Tapi, taukah kita? single fighter mom tidak melulu merupakan seorang janda atau ibu tunggal yang tidak memiliki suami.

Single fighter mom merupakan kondisi di mana seorang ibu berjuang sendiri mengasuh anak-anaknya, meskipun dia masih mempunyai seorang suami.

Istilah ini sebenarnya merupakan penamaan saya sendiri. Kalau googling, kayaknya jarang tuh yang menggunakan istilah single fighter mom. Kebanyakan menggunakan single mom, yang erat konotasinya dengan ibu tunggal atau janda.

Karena saya bukan (atau belum jadi?) janda, karenanya saya namakan diri dengan sebutan single fighter mom.

Lalu, apa bedanya dengan single mom serta single fighter?.

Single mom, seperti yang sudah saya jelaskan di atas adalah seorang ibu tunggal atau janda, yang berarti seorang ibu yang tidak mempunyai suami. Entah karena bercerai hidup atau bercerai mati.

Sedangkan single fighter bisa bermakna banyak hal. Kalau artinya sih pejuang tunggal, bisa jadi pejuang tunggal dalam pengasuhan anak sebagai ibu, pejuang tunggal dalam mendapatkan rupiah dan lainnya.

  

Cerita Menjadi Single Fighter Mom

Sebenarnya saya sudah pernah sekilas menceritakan tentang bagaimana awalnya saya menjadi single fighter mom. Bisa di baca di beberapa tulisan saya terdahulu, seperti cerita single fighter mom di bulan ramadan dan ketika single fighter mom sakit.

Tapi biar nggak bingung saya ceritakan lagi deh.

Sejujurnya nggak ada sedikitpun dalam bayangan saya akan menjalani hidup sebagai single fighter mom ini. Meski bisa dibilang saya seorang wanita yang lumayan mandiri, tapi sejujurnya saya selalu merasa kesulitan kalau melakukan sesuatu sendiri.

Saya selalu butuh seseorang untuk menemani dalam melakukan sesuatu, tentunya nggak sembarang orang ya, hanya orang yang terdekat saja.

Demikian juga ketika menjadi ibu dari anak-anak, saya tak pernah membayangkan harus mengasuh anak sendirian dan berjauhan dengan suami.

Sayangnya, ternyata di dunia ini banyak hal yang tidak selamanya bisa kita kendalikan. Salah satunya, hati manusia.

Dulu ketika menjalin hubungan dengan papinya anak-anak, saya sudah tekankan kalau tidak menerima kondisi harus hidup berjauhan atau LDM.

Apalagi, kami kan sama-sama lulusan Teknik Sipil, harusnya bisa dong cari kerjaan yang tidak perlu terpisah daerah.

Terlebih ketika sudah punya anak, saya menolak keras yang namanya jauh-jauhan sehingga anak harus diurus oleh saya seorang.

Sayangnya, ternyata menjalin hubungan sebelum menikah selama 8 tahun, ternyata tidak membuat saya bisa mengenali sifat papinya anak-anak secara detail. Semuanya berubah ketika sudah menikah, terlebih punya anak kedua.

Papinya anak-anak mulai sesukanya memutuskan apapun untuk kehidupan kami, dan sedihnya semua keputusan tersebut tanpa di-share ke saya terlebih dahulu. Termasuk keputusan hendak bekerja di luar kota.

Awalnya sih saya menolak, tapi ternyata penolakan saya hanya mempan untuk beberapa kali saja, setelah itu dia bahkan pergi begitu saja tanpa izin apalagi restu.

Gara-gara keputusan tersebut, perlahan namun pasti hubungan kami semakin renggang. Papinya anak-anak juga tidak kunjung ada usaha untuk memperbaiki. 

Dan hingga saat ini, dimulai dengan berpisah untuk bertemu 3 hari sekali, lalu meningkat jadi seminggu sekali, dua minggu sekali, sampai sebulan sekali.

Masih berkelanjutan, tak lama kemudian, pertemuan hanya terjadi selama 3 bulan sekali, hingga akhir-akhir ini bisa 4-5 bulan bahkan lebih, tidak ada pertemuan.

Selama berpisah, komunikasi juga tidak sepenuhnya lancar. Masalahnya mungkin bermula dari peliknya hubungan kami. Saya yang selalu ingin kami bisa sering berkabar, setidaknya setiap hari adalah komunikasi meski lewat chat WA.

Sementara papinya anak-anak sering melupakan hal itu, bahkan kadang seharian bahkan 2 harian tidak ada komunikasi sama sekali, sementara dia masih aktif upload story di WA. 

Lama-lama saya kesal hingga terbiasa malas berkomunikasi, ditambah saya memang tidak terlalu suka mengangkat telpon, lebih suka berkomunikasi lewat chat karena memang saya suka menulis. Sementara papinya anak-anak kurang suka menulis, dan lebih suka video call.

Bukan hanya saya, anak-anak juga mulai malas meladeni papinya telpon. Sering terjadi papinya telpon, tapi si Kakak menolak menerimanya dengan halus. Bahkan jangankan menerima, terlihat di kamera HP saja dia ogah.

Paling sering, si Adik yang angkat telpon papinya, itupun kadang cuman diangkat, terus disimpan dan ditinggal main. Papinya ngomong sendiri sama lantai, kadang tembok, hahaha. 

Mungkin karena itu juga akhirnya papinya jadi malas telpon, sampai akhirnya komunikasi benar-benar asing. 

Sebenarnya anak-anak juga tidak bisa disalahkan, yang namanya anak-anak kan memang cepat bosan, apalagi kalau papinya tidak pandai menciptakan komunikasi yang menarik untuk anak.

Anak-anak juga kan biasanya lebih suka menikmati kehadiran parents secara utuh menemani mereka bermain, ketimbang hanya mengobrol di telepon. Apalagi kalau pas papinya telpon, anak-anak sedang main, yang ada mereka lebih fokus ke mainannya ketimbang meladeni papinya telpon.

Karena itu pula, lama-lama papinya jadi malas telpon, bahkan sampai seminggu dua minggu tak pernah lagi menelpon. Kadang bahkan sampai sebulanan nggak pernah berkomunikasi sama anak-anak, dan mereka pun sama sekali nggak pernah menanyakan kabar papinya.

Awal-awalnya sih si Adik yang masih peduli, meski ketika papinya telpon si Adik malah sibuk main sendiri, tapi dia selalu menantikan telpon dari papinya setiap malam.

Akan tetapi, setelah dia bosan menunggu dan papinya jarang telpon, lama-lama dia terbiasa dan tak lagi menganggap momen telpon papinya adalah hal yang penting untuk dia tunggu.

Dalam pengalaman saya, begitulah dampak LDM yang tidak dipersiapkan dengan matang. Baik secara komunikasi strategi kami sebagai parents dalam menjalani parenting LDM, maupun persiapan lainnya yang bikin anak-anak tidak merasa kehilangan salah satu parents-nya.

Dan dari sinilah momen saya menjadi single fighter mom dimulai. Di mana posisi saya, bukan semata hanya karena jadi ibu yang berjuang sendiri karena jarak yang memisahkan, tapi juga karena ketidak pedulian papinya terhadap anak-anak dan masalah mereka.

Lalu begitulah awal ceritanya, mengapa saya lebih sering menyebut diri dengan single fighter mom, karena memang peran parents yang anak-anak rasakan ya hanya dari saya seorang. Peran papinya sih masih ada ya, setidaknya sebelum dia dalam momen beberapa saat menganggur lalu melupakan semuanya tentang anak-anaknya.

Sebelumnya, papinya masih sangat meng-support keuangan buat anak-anaknya. Setidaknya, meskipun belum bisa dikatakan mencukupi semuanya, sehingga masih perlu saya tutupi dengan pemasukan dari usaha saya mengelola blog sambil mengasuh anak-anak. Tapi papinya masih bertanggung jawab membiayai pendidikan mereka, uang makan hingga tempat tinggal.

Seperti itulah cerita saya sebagai single fighter mom, dan beberapa kisah tentang pengasuhan saya terhadap anak-anak sendirian, terangkum di blog ini.

Demikianlah.


Surabaya, 09-10-2024

Post a Comment for "Apa itu Single Fighter Mom? Dan Bagaimana Ceritanya?"