Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bukan Gengsi Masuk SDIT, Tapi Masuk Sekolah Negeri Di Zaman Pak Nadiem itu Ribet!

Konten [Tampil]

bukan gengsi masuk sdit

Lagi viral nih berita tentang 3 orang anak yang terpaksa dikeluarkan dari sebuah SDIT ICMA (Insan Cedekia Mathlaul Anwar) Banten.

Hal ini memicu berbagai komentar dari para netizen, salah satunya adalah tuduhan bahwa banyak parents yang gengsi hanya mau memilih sekolah swasta, meskipun nggak mampu, ketimbang sekolah negeri.

Jujur, komentar demikian kadang sedikit menggetarkan rasa kesal di hati, karena dulu eh bahkan sekarang pun masih ada beberapa orang yang menuduh saya mengikuti kata gengsi sehingga menyekolahkan anak di sekolah swasta.


Tentang Berita Viral 3 Anak Dikeluarkan Dari SDIT Karena Menunggak Biaya Sekolah

Seperti biasanya, ketika ada berita viral, saya ogah langsung mempercayai apa yang beredar di tulisan opini beberapa orang semata.

Saya coba googling di artikel biar lebih jelas.

Dan, kalau baca-baca dari beberapa tulisan yang beredar di dunia maya, sepertinya sih ada masalah antara orang tua ke-3 anak tersebut dengan pihak sekolah, cmiiw.

Jadi ceritanya si ibu ke-3 anak tersebut, Defi Fitriani merupakan keluarga si pemilik yayasan sekolah ICMA tersebut. Karenanya dia dipekerjakan di yayasan tersebut dan ke-3 anaknya bisa bersekolah di situ dengan gratis.

Namun, entah ada masalah apa, tiba-tiba si ibu Defi keluar dari yayasan tersebut.

Pihak yayasan, menganggap kalau anak-anak mereka bisa sekolah gratis karena ibunya kerja di situ, kalau enggak kerja di situ ya masuk murid umum, jadi harus bayar.

sdit icma mengeluarkan 3 anak akibat tunggakan spp

Karena itulah, sekolah membebani semua biaya, baik SPP maupun biaya daftar ulang yaitu seragam dan lainnya, wajib dibayar lunas.

Berdalih keluarganya tidak mampu membayar biaya sekolah, akhirnya si ibu Defi membiarkan saja tagihan biaya sekolah tersebut sampai berbulan-bulan. Hingga akhirnya mencapai angka Rp. 42 juta yang meliputi SPP ke-3 anaknya, serta biaya lainnya.

Pihak sekolah geram karena tidak ada perhatian pelunasan biaya tersebut oleh ortu si anak-anak, akhirnya memulangkan ke-3 anak tersebut dengan cara yang kurang baik menurut si ibu Defi.

Ibu Defi tidak terima anaknya diperlakukan demikian, sepertinya memakai cara viral untuk melawan pihak sekolah. Lalu, oleh sekolah dibalas dengan pelaporan bahwa si ibu Defi ini dituduh melakukan penggelapan dana sekolah sebesar ratusan juta.

Ah kacau pokoknya, saya baca di beberapa artikel sudah mulai mencium aroma perseteruan keluarga yang khas banget.

Makanya saya malas ikut-ikutan, cuman kasian aja sih kalau sampai bikin anak-anak yang jadi korbannya juga.


Bukan Gengsi Masuk SDIT, Tapi Masuk Sekolah Negeri Di Zaman Pak Nadiem itu Ribet!

Malas ikut serta dalam (dugaan) perseteruan keluarga, saya hanya fokus dalam beberapa opini yang beredar di kalangan netizen, salah satunya adalah anggapan gengsi memasukan anak ke sekolah negeri, dan memaksa harus masuk swasta, khususnya sekolah Islam terpadu.

Wowww..

Saya nggak tahu ya, mungkinkah ada parents yang memang gengsi seperti itu, atau mungkin usahanya memberikan anak pendidikan terbaik dinilai memaksakan oleh orang yang tidak sekufu dengannya.

Tapi, saya lebih memilih berpikir positif akan orang-orang yang (mungkin) memaksakan anaknya masuk sekolah Islam terpadu.

Dan fokus membagikan pengalaman pribadi.

Kedua anak-anak saya, adalah generasi sekolah swasta banget, hahaha. Dan emang banget sih, itu rasanya ngos-ngosan buangeeettttt bayar biayanya.

Namun, saya tetap bersikukuh, kalau kami ngos-ngosan membayar biaya sekolah anak, bukan karena terlalu memaksakan, tapi karena kurangnya komunikasi akan perencanaan hidup yang lebih terarah.

Sebelum membahas tentang kalimat di-blod tersebut, saya ingin menceritakan alasan mengapa anak-anak masuk sekolah swasta. Meskipun sebenarnya udah sering banget saya bahas hal ini di beberapa tulisan saya.


Si Kakak Darrell Pernah Bersekolah di SDIT dan Alasannya

Anak pertama, Kakak Darrell masuk SDIT di perbatasan Sidoarjo dan Surabaya. Waktu itu memilih sekolah ini bukannya tanpa alasan.

Alasannya adalah, kami ber KTP Surabaya, sementara ketika itu tinggal di Sidoarjo. Dan aturan masuk sekolah negeri hanya boleh pakai zonasi, ya mau nggak mau pilihan sekolah negeri dicoret dari opsi kami.

Lalu mengapa masukin ke SDIT yang biayanya lumayan?

Karena ketika itu saya pikir nggak bakal punya anak kedua lagi. Udah lama berusaha punya anak ke-2, nggak juga dikasih-kasih. Akhirnya cuek aja dan menganggap anak cuman satu dan it's ok

Dan karena anak cuman satu, bisa banget dong berusaha memberikan pendidikan terbaik buat anak. Apalagi memilih sekolah yang full day school, biar saya bisa balik bekerja cari duit juga.

Eh la dalah!

Udah bayar masuk sekolah itu, tiba-tiba saya hamil lagi. Ya jadilah si Kakak sekolah di SDIT yang lumayan mahal, tapi adiknya juga nongol ke dunia, hahaha.

Gimana perjuangannya? berat beibeh!

Apalagi pas kena pandemi, saya nggak bisa kembali bekerja karena ada bayi, meanwhile bapakeh juga gagal membangun karirnya, plus suka kabur pulak nggak pernah mau diajak berkomunikasi dengan intens membahas masa depan anak-anak.

Ditambah si Kakak pakai jasa antar jemput di sekolah, ada biaya katering juga, SPP si Kakak tuh sebulan menyentuh angka di atas sejuta, dengan biaya daftar ulang yang juga nggak kalah bikin pening.

Menunggak biaya sekolah udah jadi makanan banget buat kami, hanya saja dulu papinya masih bertanggung jawab. Jadi dia yang berusaha menghadapi pihak sekolah, nggak lepas tangan gitu aja kayak sekarang.

Dengan ngos-ngosan dan stres mendekati depresi karena hujatan beberapa orang, bahkan dari keluarga sendiri. Di mana mereka menuduh kami, (lebih tepatnya saya sih yang dituduh) gengsi maunya sekolahin anak di sekolah swasta.

Akhirnya ketika si Kakak lulus SD, saya buktikan ke semua orang yang mulutnya sok tahu itu, bahwa kami nggak alergi sekolah negeri. Hanya saja alergi dan nggak punya duit buat nyogok masuk sekolah negeri

Dan begitulah, saya akhirnya kembali ke Surabaya, mengikuti alamat KTP kami untuk mencoba masuk sekolah negeri berdasarkan zonasi, karena cuman itu yang bisa ditempuh.

Bisa baca perjuangan saya di tahun kemaren, boncengin kedua anak keliling Surabaya, mulai ke SMP negeri yang masuk zonasi dekat alamat KTP kami, hingga ke kantor Dinas Pendidikan Surabaya di daerah Jagir.

Baca pengalaman saya rempong berusaha masukin si Kakak di SMP Negeri di bawah ini:

Baca : Ketentuan PPDB Surabaya  

Baca : Cara Daftar PPDB SMP Negeri Surabaya Bagi Siswa Lulusan Luar Surabaya

Baca : Tips dan Trik Lolos PPDB SMP Negeri Surabaya 

Baca : Curhat PPDB yang Mengecewakan


What i'm trying to say adalah, plis lah nggak usah sok tahu melabeli orang-orang yang menyekolahkan anaknya di sekolah swasta itu karena gengsi!


Pada Akhirnya si Kakak Dan juga si Adik Tetap Masuk Sekolah Islam Swasta

Dan begitulah, setelah drama panjang usaha masuk sekolah negeri gagal, akhirnya saya bangkit dan mencari sekolah swasta (lagi). Dan berjodoh dengan sekolah swasta Islam meski bukan sekolah Islam Terpadu.

masuk sekolah negeri itu ribet

Tapi nyatanya ya biayanya juga sama aja mahal (kalau enggak ada duitnya, hahaha). Sekilas aja terlihat murah, karena biayanya dipecah-pecah.

Biaya SPP si Kakak tuh 330ribu sebulan, jauh di bawah SPP pas dia sekolah SDIT. Sementara adiknya bersekolah di yayasan yang sama, SPP bulanannya 275 ribuan.

Kalau ditotal-total keduanya habis 605ribuan untuk SPP, masih jauh banget di bawah SPP si kakak sendiri ketika di SDIT yang mencapai sejuta lebih.

Tapi, kalau memang masalahnya duit semata, kenapa kok meski udah pilih sekolah dengan SPP yang lebih murah, tetap aja bermasalah?.

Ya karena memang masalahnya bukan hanya duit, tapi komunikasi saya dan papinya yang sangat buruk. Jadi, bukan semata masalah nggak mampu tapi memaksakan diri.

Saya rasa, jika pun anak-anak bisa masuk sekolah negeri, selama komunikasi tetap buruk, pasti masalah keuangan ini akan terus ada.

Jadi, sikap mana yang menjelaskan kami, khususnya saya memaksakan diri karena gengsi anak harus masuk sekolah swasta?.


Sementara, dalam masalah eksternal keluarga kami, aturan masuk sekolah negeri ini lah yang bikin penghalang mau masuk sekolah negeri.

Zonasi yang mengharuskan anak wajib bersekolah di alamat KK adalah sebuah aturan yang nggak masuk akal untuk diberlakukan di Indonesia, khususnya.

Karena tahu sendiri kan, tidak semua orang bisa punya rumah atau tempat tinggal tetap saat ini. Banyak yang juga masih mengandalkan tempat tinggal kontrak.

Lalu, bagaimana nasib kebanyakan orang yang masih kontrak itu?

Andai bisa memilih sekolah sesuai nilai, jika sekolah yang dekat rumah nggak keterima, kan bisa memilih sekolah negeri yang lain sebagai rujukan bisa masuk negeri.

Kayak papinya anak-anak, dulu dia masuk sekolah negeri ketika SMA, itupun hanya bisa diterima di sekolah yang berjarak jauh dari rumahnya.

Karena rumahnya memang berada di dekat sekolah favorit, dan nilai raportnya tidak memenuhi, setidaknya masih ada sekolah negeri lain yang menampungnya.

Sekarang?

Kalau udah nggak keterima di satu sekolah, ya terpaksa pilihan masuk sekolah swasta lah yang ditempuh.


Lalu, seenaknya mulut atau tangan orang berucap.

"Kenapa memaksakan diri masuk swasta sih, kan bisa masuk sekolah negeri lebih terjangkau!"

Saya yang tahun lalu jungkir balik berasa anak masuk test CPNS padahal cuman SMP aja bilaik,  

"YOUR EYES!"

Dalam logat Suroboyoan tapi, wakakakaka.


Jadi gitu ya, sebelum menghujat orang yang ngos-ngosan sekolah di swasta, sono hujat si pak Nadiem tuh!


Surabaya, 28 Oktober 2024

Referensi:

  • https://tangerangkota.pikiran-rakyat.com/banten/pr-3478717842/3-kakak-beradik-dipulangkan-dari-sekolah-karena-tunggakan-ini-cerita-orang-tuanya
  • https://belitung.tribunnews.com/2024/10/28/terkuak-alasan-3-siswa-sd-kakak-beradik-dipaksa-pulang-guru-sdit-icma-banten-tak-cuma-spp-rp42-juta

Post a Comment for "Bukan Gengsi Masuk SDIT, Tapi Masuk Sekolah Negeri Di Zaman Pak Nadiem itu Ribet!"