Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Serba Salahnya Jadi Ibu yang Memilih Mengasuh Anak-Anak

Konten [Tampil]

serba salah jadi ibu

Serba salah ya jadi ibu itu, tau gitu ogah banget jadi ibu, apalagi jadi ibu rumah tangga.

Sekarang tuh lagi trend di beberapa platform media sosial, membahas tentang IRT yang tidak dihargai, dianggap lemah dan tak berdaya.

Sejak dulu, saya tak pernah setuju dengan anggapan kebanyakan orang, di mana IRT itu tidak berdaya, hanya karena tidak bisa menghasilkan uang seperti pekerja kantoran.

Karena menurut saya, IRT juga tetap menghasilkan uang dengan cara yang lain.

Salah satunya, IRT bikin pengeluaran akan nanny, daycare, ART (sebagian IRT sih), dan lainnya, jadi hilang atau minimal berkurang lah.

Hal-hal begini kan sama aja ya berpengaruh di financial, jika memang biasanya ibu bekerja bisa menyumbang jumlah uang untuk membayar pengeluaran yang besar. Sekarang pengeluarannya jadi kecil, meski si ibu nggak lagi menyumbang pemasukan seperti biasanya.

Terus, letak tak berdayanya di mana?.

Sayangnya, seiring waktu kayaknya saya mulai mengiyakan, kalau memang jadi ibu yang memilih mengasuh anak-anaknya sendiri sebagai ibu rumah tangga itu, memang lemah dan tak berdaya karena tak menghasilkan uang, jadinya rawan diremehkan dan diperlakukan seenaknya oleh siapa saja. Yang menyedihkan adalah, suaminya pun sering lebih banyak meremehkannya.

Seperti pengalaman saya jadi ibu rumah tangga, kalau dipikir-pikir, emang perlakuan orang lain kepada saya sangat beda, ketika menjadi ibu pekerja dan jadi IRT.

Yang menyedihkan, bahkan orang-orang terdekat juga ikut meremehkan. Bahkan sampai ditinggalkan begitu saja tanpa modal sedikitpun mengasuh anak-anak sendirian.


Sudah sering saya ceritakan, sejujurnya tidak pernah ada sedikitpun cita-cita saya harus menjadi ibu rumah tangga. Ini bisa dilihat dari sikap saya yang bahkan sampai detik ini paling nggak suka dengan kerjaan rumah, khususnya di dapur.

Tapi ternyata, hidup seringnya tak bisa selalu kita kendalikan. Ada hal-hal yang bahkan sudah direncanakan pun, tetap pupus karena kondisi.

Demikian juga saya.

Setelah punya anak, dan tidak adanya kesepakatan yang adil atau win-win solution antara saya dengan papinya anak-anak, ditambah sulitnya menghadapi segala drama jaga anak dan kesehatannya. Akhirnya saya putuskan untuk resign dan jadi ibu rumah tangga saja.   

Awalnya sih masih terkontrol, masih ada isi rekening pribadi dari hasil kerja maupun pemberian dari orang tua.

Situasi dan kondisi pun masih terkontrol, meskipun perdebatan masih mewarnai keseharian kami, apalagi masalahnya kalau bukan keputusan tempat kerja kami.

Saya menginginkan papinya anak-anak untuk mengalah dan memilih bekerja di Surabaya saja. Apapun pekerjaannya, dengan gaji berapapun, terima aja dulu. 

Insya Allah semua cukup, karena saya juga bisa bekerja mencari uang dengan kerja kantoran juga.

Sayangnya papinya anak-anak menolak, dia pengennya kerja sesuai keinginannya, di luar kota. Sementara itu, kalau di luar kota, saya tidak melihat ada peluang yang bisa untuk dilakukan. 

Alhasil, jadilah saya ibu rumah tangga tulen.


Setelah kelahiran anak kedua, keadaan semakin mulai tak terkendali. Persaingan dunia kerja semakin banyak, sehingga papinya anak-anak kesulitan untuk tetap bisa ikut ambil andil dalam dunia pekerjaan yang digelutinya.

Sementara saya, yang awalnya mengira hanya akan punya satu anak saja, sejujurnya sudah merencanakan akan balik ke dunia kerja, setelah si Kakak masuk SD. Karena itulah dulu si Kakak kami masukan ke sekolah swasta yang full day school.

Rencana itu buyar ketika ternyata si Adik lahir, rencana saya balik ke dunia kerja, tergantikan dengan menjadi blogger yang menghasilkan uang dari rumah.

Tapi, yang namanya freelance apalagi dikerjakan di sisa waktu mengurus anak, tentu saja hasilnya tidak bisa sebanyak dan sestabil ketika bekerja kantoran.

Dan begitulah, hingga saat ini saya hanya menjalani semua usaha semaksimal mungkin, agar tetap berpenghasilan meski tentu saja tak bisa atau belum bisa menandingi penghasilan para pekerja kantoran.

Untuk menyikapi harapan pemasukan utama dari papinya anak-anak, banyak hal yang saya lakukan. Salah satunya mengalah untuk membiarkan beliau bekerja di luar kota atau di manapun yang dia inginkan atau butuhkan.

Mengalah dan berdamai dengan kondisi semua-semua harus saya kerjakan sendiri. Ya urus anak, mulai dari keseharian mereka, sampai urus-urus masuk sekolah, cari sekolah, kegiatan sekolah.

Bahkan saya sampai menamai diri sendiri dengan sebutan single fighter mom, saking harus mengurus semuanya seorang diri.


Dengan kondisi jadi ibu rumah tangga yang mengasuh kedua anak dan segalanya sendiri, semakin sulit juga buat saya untuk bisa benar-benar fokus mencari uang dari rumah.

Karena, apapun yang orientasinya duit, maka fokus dan konsisten itu sangat dibutuhkan. Hasil duitnya tentu saja mengikuti dari usaha yang fokus dan konsisten itu. Setidaknya, begitulah pengalaman yang saya rasakan dalam berusaha mencari uang dari rumah sambil mengasuh anak selama bertahun-tahun.


What i'm trying to say adalah ibu yang memilih mengasuh anak-anak sendiri dan menjadi IRT itu. Pada akhirnya memang harus menerima, kalau mereka tak bisa menghasilkan uang yang sama dengan para ibu pekerja kantoran. 

Seharusnya sih hal ini nggak masalah ya, seorang ibu yang mengasuh anaknya itu wajib loh hukumnya. Emangnya kalau bukan ibu, siapa lagi yang diharapkan untuk bisa mengurus anak-anak?.

Tapi sayangnya, tidak semua ibu rumah tangga bisa menjalani kehidupan dengan hanya harus berhubungan dengan rasa 'bosan' sebagai ujiannya.

Ada juga, bahkan banyak ibu rumah tangga yang harus menghadapi masalah keuangan, ketika memilih jadi IRT. Dan dari sinilah label IRT sebagai wanita yang tidak berdaya mulai menyeruak.


Apalagi, ketika ujiannya meningkat seperti saya, di mana saat ini saya menghadapi ujian berat ditinggal suami begitu saja tanpa nafkah sepeser pun.

Nggak punya tempat tinggal, karena selama ini memang keuangan hanya pas untuk biaya hidup makan dan uang sekolah anak. 

Lalu, setelah seperti ini, hanya bengong dan panik yang bisa saya lakukan.

Berandai-andai..

Jika dulu saya mau lebih egois, nggak mau ngalah dari papinya anak-anak tentang karir.

Jika dulu saya cuek aja, ketika papinya anak-anak bilang saya maunya bersaing mulu dengan dia.

Jika dulu saya singkirkan dulu hati nurani, anak sakit ya udahlah ya... 

Mungkin saat ini saya nggak akan sesulit ini menjalani hidup gegara ditinggal kabur oleh seseorang yang seharusnya menjadi tulang punggung kami.


Namun, jika semua jika di atas saya lakukan, sepertinya saat ini saya mungkin akan stres juga dengan hujatan sejuta umat terutama orang terdekat, tentang menjadi ibu yang egois.


Ya begitulah, serba salahnya jadi seorang perempuan.

Jadi ibu.

Jadi ibu yang memilih jadi IRT untuk mengasuh anak-anaknya.

How about you, parents?  


Surabaya, 14 Oktober 2024

Post a Comment for "Serba Salahnya Jadi Ibu yang Memilih Mengasuh Anak-Anak"